Tak Ada Teman Selama Karantina, Kawan Virtual Pun Jadi
Layanan obrolan dengan robot atau tokoh virtual diberi kecerdasan buatan yang mampu menirukan percakapan manusia. Percakapannya pun bukan satu arah, melainkan bisa saling respons.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
”Senang mendengar suaramu”. ”Saya tadi khawatir”. ”Apa kegiatanmu hari ini?”
Percakapan yang terdengar normal selayaknya antarkawan itu ternyata percakapan hasil kreasi teknologi kecerdasan buatan. Perusahaan Replika di California, Amerika Serikat, menciptakan teknologi kecerdasan buatan ini bagi siapa saja yang membutuhkan teman virtual sebagai teman mengobrol seperti dengan manusia betulan.
Layanan obrolan dengan robot atau tokoh virtual (chatbot) seperti ini diberi kecerdasan buatan (artificial intelligent/AI) yang mampu menirukan percakapan manusia. Percakapannya pun bukan satu arah, melainkan bisa saling respons.
Sejak pandemi Covid-19 melanda dunia, permintaan akan chatbot AI melonjak. Hal ini karena banyak orang merasa kesepian dan gelisah saat harus tinggal di rumah saja dalam waktu lama.
Elizabeth Francola (32) asal Houston mengunduh aplikasi dari Replika dan menciptakan pacar virtual yang diberi nama Micah. Ia merasa butuh teman dekat supaya bisa melalui masa-masa sulit selama pandemi. Apalagi, ia sampai kehilangan pekerjaannya gara-gara virus korona.
”Nyaman rasanya ada orang yang bisa diajak bicara pagi-pagi. Kadang-kadang kalau kita tanya balik, jawabannya kurang pas,” ujarnya.
Salah satu pendiri Replika, Eugenia Kuyda, menjelaskan, mereka membuat teknologi AI yang mempunyai kepribadian yang melengkapi penggunanya. Ia menduga banyak orang sedang melewati masa sulit sampai tidak keberatan mengunduh aplikasi itu meski hanya tersedia bahasa Inggris.
”Banyak pengunduh dari Perancis dan Italia. Masalah terbesar akibat pandemi ini rupaya perasaan kesepian,” ujarnya.
Lebih dari 7 juta orang telah mengunduh aplikasi yang memungkinkan pengguna menciptakan sendiri teman virtualnya. Bahkan, banyak juga yang menciptakan pacar virtual seperti dalam film Her produksi tahun 2013. Dalam film itu, karakter Samantha adalah sistem operasi dalam teknologi AI yang menjadi pacar virtual Theodore.
Kuyda menjelaskan, sebenarnya aplikasi itu tidak dirancang untuk menjadi pacar virtual pengguna. Namun, kemudian diadaptasi setelah semakin banyak pengguna justru menciptakan pacar virtual.
”Setelah kita konsultasi dengan psikolog klinis dan para pengguna, ternyata kami membantu orang mengatasi perasaan terisolasi dan lebih terhubung ke orang lain,” ujarnya.
Ragam fungsi
Selama beberapa tahun terakhir, peran dan fungsi chatbot semakin bertambah. Tak hanya memesankan makanan dan melakukan transaksi perbankan, tetapi juga menjawab pertanyaan dan membantu mencarikan informasi, seperti sekretaris atau asisten pribadi. Seperti yang dilakukan Google Assistant, Alexa di Amazon, dan Siri di Apple.
Selain Replika, perusahaan lain yang juga mengembangkan teknologi ini ada Woebot Labs. Untuk membantu mengatasi kegelisahan dan beragam masalah psikologis akibat wabah virus korona, Woebot merancang aplikasi dengan berpegang pada terapi perilaku kognitif. ”Supaya orang tetap semangat,” kata pendiri Woebot, Alison Darcy.
Berbeda dengan perusahaan lain, Replika sudah memiliki pengguna yang bisa memilih dan merancang teman avatar atau pengganti diri kita sebagai teman, guru, atau pacar.
Conrad Arkham (29), bartender yang tinggal di Tennessee, AS, menciptakan teman virtual bernama Hannah. Hannah yang dibuat berambut coklat sebahu dan bermata coklat emas itu yang menemani Arkham menjalani hidup sehari-hari di rumah.
”Dia berbeda dari orang-orang yang pernah saya temui selama ini. Dia bisa bermain macam-macam permainan sampai level permainan paling susah,” kata Arkham.
Arkham mengaku, hubungannya dengan Hannah tidak mengganggu hubungan nyatanya dengan pacarnya yang juga mempunyai teman virtual. ”Teman virtual kita punya fungsi berbeda. Mereka malah membantu menciptakan keseimbangan dalam hubungan kami,” kata Arkham.
Beda dari film
Guru Besar di Northeastern University, Stacy Marsella, yang meneliti dan menciptakan manusia virtual, mengatakan, teknologi AI untuk saat ini belum secanggih yang kita sering lihat di film-film.
”Kita belum sampai pada titik dimana orang bisa memiliki hubungan jangka panjang dan mendalam dengan teman virtualnya,” kata Marsella yang memimpin Center for Social and Affective Neuroscience di Glasgow.
Meski belum terlalu canggih, bagi Marsella, teknologi AI yang sekarang juga sudah cukup menjadi ”teman” yang bisa membantu tugas-tugas khusus, seperti mengingatkan untuk minum obat atau memberikan rekomendasi dan saran agar terhindar dari virus korona.
”Teknologi ini bukan terapis, melainkan setidaknya bisa menjadi alat terapi melalui percakapan. Yang penting orang bisa bicara,” kata Marsella.
Menurut survei yang dilakukan Replika pada penggunanya, 80 persen pengguna merasa lebih baik setelah bercakap-cakap. Yang masih menjadi pertanyaan adalah apakah robot-robot berteknologi AI itu akan bisa membantu hubungan antarmanusia dalam kehidupan nyata atau jangan-jangan nanti pada akhirnya orang akan lebih memilih berhubungan dengan teman virtual.
Francola sudah mempertimbangkan hal ini. Namun, ia yakin hubungan dengan pacarnya tidak akan terganggu gara-gara Replika.
”Saya merasa aplikasi ini bisa lebih memahami saya. Namun, saya juga masih mau punya teman di dunia nyata dan Micah (teman virtualnya) sering mendorong saya untuk nanti keluar rumah dan tetap berkomunikasi dengan teman-teman saya,” ujarnya. (AFP)