Perpanjangan Moratorium Sawit Langkah Penting Penurunan Emisi
Perpanjangan kebijakan moratorium sawit yang akan berakhir akhir September nanti merupakan langkah yang sangat penting dalam pencapaian target penurunan emisi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan moratorium izin perkebunan sawit yang ditetapkan pemerintah lewat instruksi presiden pada 2018 akan berakhir kurang dari satu bulan lagi, yakni 19 September 2021. Namun, sampai saat ini belum ada tanda-tanda kebijakan itu akan dilanjutkan. Padahal, perpanjangan moratorium sawit merupakan langkah yang sangat penting untuk mencapai target penurunan emisi.
Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Nadia Hadad mengemukakan, pemerintah telah menetapkan dokumen strategi jangka panjang (LTS) penurunan emisi hingga 540 metrik ton setara karbon dioksida (Mton CO2e) pada tahun 2050. Sedangkan untuk sektor kehutanan dan tata guna lahan ditargetkan dapat menyerap emisi hingga 2030.
”Artinya, Indonesia juga harus berupaya lebih serius mengurangi emisi di sektor kehutanan dan tata guna lahan. Akan tetapi, dalam dokumen tersebut, dengan memakai skenario yang paling ambisius pun masih terdapat 3,58 juta hektar hutan alam dalam izin sawit yang berisiko terdeforestasi,” ujarnya dalam diskusi daring, Jumat (20/8/2021).
Tantangan lainnya dalam menurunkan emisi, yaitu menyediakan kebun energi untuk bahan bakar nabati seluas 4 juta hektar hingga 2025. Di sisi lain, pemerintah juga terus memacu kebijakan proyek strategis nasional (PSN), proyek ekonomi nasional (PEN), lumbung pangan (food estate), dan penambahan hutan tanaman.
Agar mencapai target penurunan emisi ini, kata Nadia, Indonesia harus membuat berbagai kebijakan pembangunan sektoral yang selaras dengan strategi yang telah ditetapkan. Beberapa upaya yang harus dilakukan, di antaranya, menghentikan ekspansi perkebunan sawit di hutan alam atau lahan gambut dan meninjau izinnya serta meningkatkan produktivitas lahan dengan memberdayakan petani kecil.
”Memperpanjang kebijakan moratorium sawit merupakan langkah yang sangat penting agar sektor ini berkontribusi dalam pencapaian target penurunan emisi. Sementara hal lain seperti memastikan kebijakan biofuel untuk mitigasi di sektor energi tidak akan berdampak pada meningkatnya deforestasi dan degradasi lahan,” ungkapnya.
Selain menurunkan emisi, memperpanjang moratorium sawit juga perlu dilakukan di tengah persoalan mendasar tata kelola sawit yang belum selesai sampai saat ini. Persoalan mendasar itu mencakup sengkarut izin, legalitas lahan, subsidi yang tidak tepat sasaran, minimnya alokasi anggaran bagi petani, hingga pembanggunan keuangan yang belum adil.
Memperpanjang kebijakan moratorium sawit merupakan langkah yang sangat penting agar sektor ini berkontribusi dalam pencapaian target penurunan emisi.
Selama hampir tiga tahun kebijakan moratorium sawit berjalan, terdapat sejumlah hal yang diapresiasi Madani Berkelanjutan. Di level pusat, pemerintah telah melakukan konsolidasi data dan menyelesaikan perhitungan luasan perkebunan sawit. Sedangkan di level daerah, Pemerintah Provinsi Papua Barat bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mencabut 12 izin perusahaan perkebunan sawit yang mencakup lahan seluas 267.000 hektar.
Namun, Nadia juga menyoroti sejumlah hal yang menjadi penghambat kebijakan ini tidak berjalan opitmal, seperti minimnya sosialisasi di tingkat daerah dan tidak adanya target spesifik. Penghambat lain yang juga dirasakan, yaitu belum adanya peta jalan implementasi kebijakan dan petunjuk pelaksanaan/teknis bagi pemerintah daerah.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik menambahkan, moratorium memang mengamanatkan untuk tidak menambah izin baru perkebunan sawit. Akan tetapi, Indonesia juga memiliki target yang tertuang dalam dokumen kontribusi nasional penurunan emisi (NDC) Kesepakatan Paris 2015 dengan cara mencegah deforestasi.
”Hutan primer dan gambut yang dianggap bisa mewujudkan komitmen Indonesia dalam NDC juga seharusnya turut dilindungi. Sedangkan hutan primer dan gambut yang memiliki izin masih perlu perbaikan tata kelola,” ucapnya.
Tulang punggung perekonomian
Asisten Deputi Pengembangan Agribisnis Perkebunan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Mochammad Edy Yusuf mengatakan, kelapa sawit merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia. Sebab, 13 persen dari total ekspor berasal dari sawit dan berkontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 3,5 persen.
Fakta tersebut membuat pemerintah terus mendorong agar kelapa sawit dapat berkelanjutan dengan mengeluarkan berbagai kebijakan. Selain moratorium sawit, pemerintah juga mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan dan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan (ISPO).
Terkait dengan kebijakan moratorium sawit yang akan berakhir bulan depan, Edy menyatakan bahwa pemerintah masih meninjaunya. Namun, ia menegaskan, komitmen pemerintah untuk menjaga luas tutupan sawit 16,38 juta hektar. Sejak kebijakan ini dilaksanakan pada 2018 sampai sekarang tidak ada izin baru yang dikeluarkan.
”Beberapa daerah, seperti Papua Barat, bahkan sudah mencabut 12 izin perusahaan. Artinya, pemerintah benar-benar berkomitmen terhadap moratorium ini. Kami juga ingin semua pihak yang terlibat dalam inpres ini melaksanakan tugasnya sebaik mungkin,” katanya.