Peran Tokoh Agama Sangat Penting Cegah Perkawinan Anak
Pernikahan anak rentan terhadap kesehatan reproduksi, kematangan psikologis, kemapanan ekonomi, sosial, dan spiritual. Peran tokoh agama sangat diperlukan untuk mencegahnya.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peran tokoh agama sangat penting dalam upaya pencegahan perkawinan anak. Oleh karena itu, tokoh agama harus dapat mencarikan solusi atas persoalan umatnya untuk mendapatkan kebaikan dan kemaslahatan secara komprehensif.
Hal ini penting, sebab fatwa agama banyak digunakan rujukan oleh umatnya. Tokoh agama juga harus memastikan bahwa fatwa tidak membawa keresahan umat, merumuskan fikih perlindungan anak, pemahaman progresif, serta mengampanyekan pencegahan pernikahan anak.
Pada prinsipnya agama itu dapat menghindarkan akibat buruk. Perkawinan anak jelas berakibat buruk pada keluarga muda ini. (Alimatul Qibtiyah)
”Pada prinsipnya agama itu dapat menghindarkan akibat buruk. Perkawinan anak jelas berakibat buruk pada keluarga muda ini. Masak anak melahirkan anak, nanti main kelereng bareng, rebutan boneka dan balon,” ujar Alimatul Qibtiyah, Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan Perempuan (Komnas) Perempuan, Kamis (4/6/2021), pada webinar ”Penghapusan Praktik Perkawinan Anak di Indonesia dari aspek Sosial, Agama dan Hukum Pascapengesahan UU Perkawinan No 16 Tahun 2019”.
Pada webinar yang digelar Yayasan Jurnal Perempuan bersama Yayasan Plan Internasional Indonesia (YPII), Alimatul yang juga Ketua LPPA Pimpinan Pusat Aisyiyah menyatakan, pernikahan adalah perjanjian yang sakral dan bukan hanya untuk pelampiasan seksual serta mendekati perzinahan.
Pernikahan dalam Islam adalah untuk meningkatkan kualitas pasangan suami-istri dan untuk mendapatkan kesakinahan, kerahmatan dan kemawadahan (samawa). Sementara pernikahan anak rentan terhadap kesehatan reproduksi, kematangan psikologis, kemapanan ekonomi, sosial, dan spiritual. ”Pernikahan anak berdampak pada ketidakbahagiaan keluarga,” ujar Alimatul.
Oleh karena itu, pendidikan seksualitas yang komprehensif merupakan bagian dari upaya pencegahan perkawinan anak. Memberikan pemaparan informasi pendidikan seksualitas yang komprehensif mencakup pengetahuan dasar fungsi organ reproduksi dan komunikasi asertif.
”Orang dulu masa menunggu untuk menikah itu tidak lama, karena jarak masa pubertas dengan masa menikah tidak lama. Sementara saat ini masa pubertas semakin muda waktu menikah semakin tua. Namun, bukan berarti solusinya menikah usia muda supaya masa menunggu seksual aktifnya tidak lama,” ujarnya.
Sebab, pernikahan anak terbukti rentan dengan persoalan sosial dan juga psikologis. Karena itu, dibutuhkan untuk pendidikan pengelolaan masa seksual aktif itu dengan baik.
Direktur Eksekutif Yayasan Plan International Indonesia Dini Widiastuti dalam materi berjudul ”Penyebab Perkawinan Anak: Tinjauan Norma Sosial, Budaya, Agama dan Hukum” mengungkapkan, pasca-pengesahan dan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 sebagai revisi UU Perkawinan, penurunan angka perkawinan anak belum terlihat secara signifikan.
Permohonan dispensasi meningkat tajam di empat tahun terakhir. Adapun permohonan dispensasi mayoritas yang dikabulkan di atas 90 persen. ”Dispensasi bisa menjadi celah kanalisasi dan legalisasi perkawinan anak jika tidak benar-benar diperketat hanya untuk keadaan sangat darurat dengan syarat yang ketat yakni disertai bukti pendukung dan perhatiankedua calon pengantin,” ujar Dini.