Perubahan UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dibahas Lagi
Perubahan UU Nomor 5 tahun 1990 kembali masuk dalam program legislasi nasional. Pemerintah dan DPR diminta serius membahas dan mengesahkan UU Konservasi ini untuk melindungi keanekaragaman hayati Indonesia.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya masuk ke dalam Program Legislasi Nasional prioritas 2021. Pembahasan RUU ini agar diikuti pengesahan mengingat maraknya perburuan dan perdagangan satwa liar di Indonesia.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL) Raynaldo Sembiring menyampaikan, Undang-Undang No 5 tahun 1990 tersebut mendesak direvisi. Disebutkannya, ketentuan dalam undang-undang yang telah berusia 30 tahun tersebut tak lagi relevan digunakan saat ini.
Revisi yang tidak kunjung dilakukan akan semakin melemahkan perlindungan biodiversitas spesies, termasuk genetika dan habitatnya. “Norma-norma dalam UU Konservasi masih tidak update dengan perkembangan sekarang terutama kalau bicara terkait dengan perdagangan satwa secara elektronik," kata dia, Jumat (15/1/2021) di Jakarta.
Baca juga: Revisi Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Digulirkan Lagi
Padahal, saat ini banyak kasus perdagangan melalui digital atau media sosial. Sanksi pidana dalam UU 5 Tahun 1990 tak maksimal mengatur hal itu.
UU Konservasi yang banyak digunakan untuk menjerat kejahatan satwa liar pun dinilai belum memuat hukuman pidana yang memberikan efek jera bagi pelaku. Dalam UU Konservasi, pelaku kejahatan tumbuhan dan satwa liar hanya dipidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp 100 juta.
Undang-Undang itu pun tak bisa menjerat pada korporasi atau lembaga. Ini karena UU tersebut tidak mengatur tindak pidana untuk korporasi.
Di sisi lain, kasus perburuan dan penyelundupan satwa liar untuk diperdagangkan sampai saat ini masih tinggi. Sepanjang 2020, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan pihak lainnya menyita lebih dari 1.700 satwa liar dilindungi hasil selundupan. Namun, sebagian satwa tersebut mati saat pengangkutan dan ketika tiba di balai konservasi.
“Masuknya perubahan UU 5/1990 ke dalam prolegnas (program legislasi nasional) prioritas merupakan sinyal positif bagi pembaharuan hukum keanekaragaman hayati di Indonesia. Mengingat urgensinya, sudah selayaknya pembahasan perubahan UU ini diselesaikan dengan tuntas dan tidak berhenti seperti periode sebelumnya,” tutur Raynaldo.
Pada laman DPR, Jumat, perubahan UU Konservasi merupakan satu dari 33 RUU yang masuk dalam prolegnas prioritas 2021. Badan Legislasi DPR mengesahkan perubahan RUU Konservasi masuk dalam prolegnas yang diusulkan DPR saat rapat kerja bersama perwakilan DPD dan pemerintah, Kamis.
Ketentuan yang ada bukan diringankan tetapi diperberat agar hutan-hutan konservasi, satwa liar, dan tumbuhan tidak terancam. Ini menjadi kewajiban pemerintah untuk melindungi. (Darori Wonodipuro)
Perubahan UU Konservasi sebelumnya juga sudah pernah diajukan DPR untuk direvisi pada 2003, tetapi tidak masuk dalam prolegnas. Pada 2018, DPR mengusulkan kembali hingga RUU Konservasi menjadi Prolegnas saat itu.
Namun, saat proses pembahasan pada 2019, pemerintah memutuskan untuk menunda penyusunannya dengan alasan UU Konservasi masih relevan. Pemerintah juga menilai pengesahan RUU Konservasi butuh banyak peraturan pemerintah dalam penerapannya (Kompas, 5 April 2018). Pada 2020, RUU Konservasi tak masuk prolegnas.
Tumpang tindih
Anggota Komisi IV DPR, Darori Wonodipuro mengatakan, masuknya kembali RUU Konservasi dalam Prolegnas 2021 karena ketentuan dalam UU 5/1990 tumpang tindih dengan UU 45/2009 tentang Perikanan mengenai konservasi laut. Agar tidak terjadi dualisme aturan, maka perlu adanya penyempurnaan ketentuan khususnya terkait pembagian kewenangan masing-masing kementerian.
Darori menyatakan, nantinya akan diatur bahwa kewenangan untuk hasil laut tidak dilindungi diserahkan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sedangkan segala hal yang berkaitan dengan program dari Badan Konservasi Dunia (IUCN) dan Konvensi tentang Perdagangan Internasional Satwa dan Tumbuhan (CITES) tetap dipegang oleh KLHK.
Terkait penetapan zona dalam kawasan taman nasional juga akan diatur dalam RUU Konservasi. Sebab, menurut Darori, selama ini penetapan zona yang menggunakan batas imajinasi peta di lapangan tidak bisa dilihat langsung dan menimbulkan kerancuan. Karenanya, perlu batas zonasi menggunakan patok atau koordinat sehingga secara fisik, batas setiap zona dapat terlihat.
Selain itu, RUU Konservasi juga akan mengatur pidana yang lebih berat untuk para pelaku kejahatan lingkungan dan satwa. Hal ini perlu diatur karena hukuman yang ringan tidak akan membuat para perlaku jera.
Sebaliknya, terus berulangnya kasus perburuan dan penyelundupan satwa akan membuat negara-negara di dunia menyoroti ketidaksanggupan Indonesia dalam melindungi satwa dilindungi. “Undang-undang yang sudah berusia 30 tahun ini perlu disempurnakan. Ketentuan yang ada bukan diringankan tetapi diperberat agar hutan-hutan konservasi, satwa liar, dan tumbuhan tidak terancam. Ini menjadi kewajiban pemerintah untuk melindungi,” ungkapnya.