Esensi Pertanahan Kian Menjauh dari Undang-Undang Pokok Agraria
Esensi pengaturan pertanahan yang dirumuskan dalam RUU Cipta Kerja dinilai menjauh dari semangat keadilan pengelolaan agraria yang diamanatkan UU Pokok Agraria.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah substansi yang mengatur tentang pertanahan didorong untuk dikeluarkan dari Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atau omnibus law. Hal ini karena banyak substansi terkait yang tidak jelas landasannya dan tak selaras dengan semangat keadilan dalam UU Pokok Agraria.
Pernyataan tersebut disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Maria SW Sumardjono, dalam diskusi daring bertajuk ”Pengaturan Pertanahan dalam RUU Cipta Kerja: Penyederhanaan Regulasi atau Perubahan Konsepsi?” yang diselenggarakan Fakultas Hukum UGM, Sabtu (20/6/2020).
Turut hadir sebagai pembicara dalam diskusi Andi Tenrisau (Staf Ahli Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Bidang Landreform dan Hak Masyarakat atas Tanah), Supratman Andi Agtas (Ketua Panja RUU Cipta Kerja DPR), dan Nurhasan Ismail (Guru Besar FH UGM).
Maria menjelaskan, substansi yang mengatur tentang pertanahan antara lain terkait dengan pengadaan tanah (Pasal 120 dan 121), aturan bank tanah (Pasal 123-127), penguatan hak pengelolaan atau HPL (Pasal 130-134), satuan rumah susun (sarusun) untuk orang asing (Pasal 129 dan Pasal 136-138), serta pemberian HPL pada ruang atas dan dan ruang bawah tanah (Pasal 139).
Salah satu contoh, substansi di Pasal 120 mengatur perluasan jenis kegiatan untuk kepentingan umum yang pro-investasi, tetapi mengabaikan reforma agraria sebagai jalan menuju keadilan agraria. ”Padahal, baru saja presiden mengatakan untuk percepatan pelaksanaan reforma agraria,” ujarnya.
Substansi yang bermasalah juga ditunjukkan dalam aturan bank tanah pada Pasal 123-127 karena tidak ada acuan perundangan. Dengan kata lain, penyusunan pasal tersebut tidak ada atau tidak memiliki landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis.
Hal ini sebagai penyelundupan substansi RUU Pertanahan yang sudah ditunda pembahasannya karena bermasalah.
Dari beberapa contoh tersebut, Maria menarik kesimpulan bahwa substansi tentang bank tanah, pemuatan HPL, dan sarusun pada hakikatnya bukan merupakan penyederhanaan regulasi yang menjadi tujuan penyusunan RUU Cipta Kerja. Namun, ia memandang hal ini sebagai penyelundupan substansi RUU Pertanahan yang sudah ditunda pembahasannya karena bermasalah dan menuai penolakan masyarakat.
Hal senada juga diungkapkan Nurhasan Ismail. Menurut dia, substansi tentang pertanahan dalam RUU Cipta Kerja akan membuat kebijakan pertanahan semakin menjauh dari prinsip dan tujuan Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA).
Dengan kebijakan pertanahan yang kapitalistik, semangat UUPA untuk menyerasikan antara tujuan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan melalui reforma agraria akan semakin sulit diwujudkan. Sebab, pada hakikatnya di antara keduanya mengandung semangat saling bertentangan.
Pelurusan konsepsi
Maria menegaskan perlu pelurusan konsepsi sesuai dengan prinsip dasar UUPA dan tidak melanggar konstitusi apabila ingin mengatur substansi tersebut. Wadah pengaturan tersebut dapat tertuang dalam RUU Pertanahan baru yang disiapkan bersama masyarakat sipil, seperti akademisi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
”Untuk pengaturan tentang pengadaan tanah karena perizinannya tidak jelas, jadi perlu disederhanakan dengan mengatur pokok-pokoknya saja. Mengenai substansi pengaturan selanjutnya secara detail itu dikembalikan ke undang-undang asalnya,” ujarnya.
Supratman Andi Agtas mengatakan, pada prinsipnya RUU Cipta Kerja mengatur sejumlah aspek pada RUU Pertanahan sebelumnya. Bahkan, dalam RUU Cipta Kerja aspek tersebut mengalami perubahan, penghapusan, atau penambahan norma baru.
”Di RUU Cipta Kerja harus diakui ini sebenarnya duplikasi dari RUU Pertanahan yang gagal disahkan DPR pada periode lalu. Materi muatan yang paling menonjol adalah soal hak pengelolaan bisa diberikan hak guna usaha (selama 90 tahun),” ungkap Supratman Andi Agtas.
Andi Tenrisau mengatakan, pada dasarnya pengaturan pertanahan dalam RUU Cipta Kerja disusun untuk mempercepat proses pengadaan tanah bagi kemakmuran masyarakat. Tujuan ini, menurutnya, juga bagian dari pelaksanaan sesuai dengan konsep UUPA.
Selain itu, esensi aturan pengadaan tanah juga mengubah beberapa pasal dalam yang tertuang dalam UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Namun, dalam paparannya, Andi menegaskan bahwa substansi dalam RUU Cipta Kerja relatif sama dengan aturan sebelumnya.
”Ada beberapa perluasan mengenai jenis kepentingan umum. Kontennya adalah bagaimana mempercepat proses pengadaan tanah sehingga hal-hal terkait kepentingan umum bisa dilaksanakan,” katanya.