UU ITE kerap digunakan untuk mengkriminalisasi jurnalis, tetapi juga dibutuhkan untuk menyaring kebenaran informasi.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE yang disahkan Januari 2024 lalu dinilai tetap mengancam kebebasan pers. Di sisi lain, aturan ini tetap dibutuhkan untuk menyaring kebenaran informasi yang beredar di masyarakat.
Ketua Dewan Pengawas Perkumpulan Pembela Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet) Damar Juniarto mengatakan, UU ITE tidak banyak berubah setelah direvisi. Pasal-pasalnya masih mengandung pasal karet yang bisa digunakan untuk meredam suara-suara kritis. Catatan SAFEnet, sudah lebih dari 400 orang, termasuk jurnalis, dipidanakan dengan menggunakan UU ITE.
Situasi sekarang semakin memburuk dengan adanya Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang penyelenggaraan sistem elektronik lingkup privat. Aturan ini, kata Damar, berpotensi melanggar kebebasan pers dan hak asasi manusia karena memungkinkan pemerintah menutup akses media terhadap pemberitaannya (censorship).
”Jadi, UU ITE ini semua bisa kena. Makanya, dorongan revisi tetap harus dilakukan walaupun sudah dua kali revisi, mungkin nanti peluangnya di tahun 2026 ketika memang ada perubahan baru dari revisi ini dan kita perlu pastikan UU ITE tidak menjadi UU yang represif,” kata Damar dalam diskusi Festival Jurnalis Warga di Jakarta, Selasa (20/8/2024).
Menurut Damar, revisi UU ITE yang beberapa pasalnya sudah dianggap baik pun belum bisa diimplementasikan di lapangan. Masih banyak aparat penegak hukum yang belum memahami perubahan aturan ini. Beberapa pelaporan dengan UU ITE tetap terjadi kepada orang-orang yang bersuara.
Terakhir, pelaporan dengan pasal karet UU ITE terjadi pada Daniel Frits Maurits Tangkilisan (50), aktivis lingkungan yang gencar memprotes pencemaran limbah tambak udang di perairan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Protesnya di Facebook dianggap sebagai ujaran kebencian.
Masyarakat digital yang sehat dengan literasi digital menjadi kunci.
Damar menambahkan, ancaman kebebasan pers yang dihadapi jurnalis dan jurnalis warga bukan hanya melalui instrumen UU ITE. Pada 2023, pemerintah menerbitkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nomor 1 Tahun 2023 yang memuat sebelas kluster dan 17 pasal terkait ancaman terhadap pers.
”Pasal yang dianggap bermasalah disesuaikan. Tapi apakah itu membuat media dapat lebih bebas, itu yang saya sangsikan. Kita boleh bergembira (atas revisi), tapi hanya untuk sementara,” ujar Damar.
Di sisi lain, Pemimpin Redaksi Harian Kompas/Kompas.id, Sutta Dharmasaputra, menilai, penyensoran tetap dibutuhkan oleh dunia jurnalistik di tengah tsunami informasi di ranah digital. Sebab, literasi masyarakat untuk menyaring informasi masih rendah sehingga media massa berperan mencerahkan informasi.
”Saya setuju semua informasi yang tidak benar itu diperkarakan. Cuma, yang jadi persoalan di aparat penegak hukumnya, kenapa yang dipersoalkan itu informasi yang sebenarnya tidak masalah, yang masalah justru dibiarkan,” kata Sutta.
Selain itu, lanjut Sutta, kasus-kasus UU ITE juga selalu menyasar masyarakat atau jurnalis yang tidak berdaya secara hukum, sementara platform digital tidak pernah dipersoalkan. Padahal, platform digital juga memiliki tanggung jawab untuk menyediakan informasi yang benar kepada masyarakat di Indonesia.
”Seharusnya platform itu dipersoalkan, jadi berapa banyak informasi (bermasalah) yang tersebar akibat platform itu, dengan sendiri platform juga harus mengutamakan konten-konten yang baik,” ucapnya.
Direktur Eksekutif Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) Fransisca Ria Susanti melihat tantangan yang dihadapi media dan jurnalis akan semakin berat pada masa pemerintahan baru mendatang. Terlebih, iklim industri media juga tidak berjalan dengan baik.
Oleh karena itu, media dan jurnalis tidak perlu menggantungkan demokrasi, terutama terkait kebebasan berekspresi dan kebebasan pers, kepada pemerintahan baru. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah membangun kekuatan masyarakat sipil, termasuk jurnalis warga sehingga memiliki kapasitas dan keberanian untuk memperjuangkan hak-hak demokrasi mereka.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Nezar Patria menyatakan bahwa industri media massa saat ini masih bergantung pada platform digital, tidak hanya di Indonesia, tetapi global. Ini membuat media kehilangan kontrol terhadap audiensnya dan masyarakat pun menjadi ketergantungan dengan platform digital tersebut.
Nezar menilai, menciptakan masyarakat digital yang sehat dengan literasi digital yang masif menjadi kunci untuk mengatasi candu algoritma dari platform digital. Media massa dan jurnalisme warga bisa menjadi jalan pencerah untuk mengatasinya.
”Literasi digital menjadi kunci, pemahaman memakai saluran digital mengekspresikan pendapat itu harus bisa dilakukan dengan kesadaran etis sebagai warga digital. Jurnalisme warga juga akan mendapatkan kesempatan yang baik dari masyarakat digital yang kuat,” kata Nezar.