Mengapa Orang Merekam Hubungan Seksual Mereka?
Kasus tersebarnya video hubungan seks berulangkali terjadi. Namun, orang tetap tidak jera merekam hubungan intim mereka.
Kasus tersebarnya video pribadi yang berisi hubungan seksual seseorang terus berulang terjadi. Hubungan intim yang seharusnya bersifat sangat pribadi akhirnya menjadi konsumsi publik. Persoalan ini tidak hanya membuat pelakunya berurusan dengan hukum, tetapi juga harus menanggung malu diri dan keluarga serta kehilangan kesempatan ekonomi.
Kasus terakhir video hubungan pribadi yang tersebar ke khalayak ramai adalah video AD (24), anak mantan vokalis grup band Naif, David Bayu. Pemeran laki-laki, perekam dan penyebar video tersebut adalah AP (27), mantan pacar AD. AP menyebarkan video itu karena sakit hati hubungan mereka berakhir dan ingin berbagi fantasi dengan orang lain saat berhubungan seksual dengan AD.
Baca juga: Sakit Hati Diputus Anak Musisi, AP Sebarkan Video Asusila di Media Sosial
Beredarnya video hubungan seksual artis, selebgram, atau keluarga mereka hanyalah puncak gunung es. Video hubungan seksual seseorang banyak beredar di masyarakat. Beredarnya video pribadi itu umumnya merupakan bentuk revenge porn alias pornografi balas dendam akibat salah satu pemeran atau orang lain yang tahu tentang video tersebut menyebarkannya tanpa persetujuan atau konsensual pemeran yang lain. Penyebaran video ini umumnya untuk mendapatkan keuntungan dari korban, baik ekonomi maupun seksual.
Persoalan perekaman video pribadi memang kompleks. Meski demikian, dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya, Margaretha, Jumat (16/8/2024), menilai perekaman video hubungan seksual yang sejatinya bersifat sangat rahasia itu sangat dipengaruhi oleh dinamika relasi antarpasangan dalam sebuah relasi asmara.
Video hubungan intim bisa terwujud karena adanya ketimpangan alias ketidaksetaraan kuasa antaranggota pasangan. Salah satu anggota pasangan umumnya terlalu dominan sehingga bisa meminta dan menyuruh anggota pasangan yang lain untuk melakukan sesuai keinginannya dan anggota pasangan lainnya terbiasa patuh atau sulit mengungkapkan pendapatnya.
Ada pula video seksual yang diperoleh karena adanya paksaan, pengaruh penggunaan zat-zat tertentu yang disengaja atau tidak sengaja dikonsumsi, hingga dilakukan pada kelompok dengan kerentanan tertentu, seperti anak di bawah umur, orang cacat, dan perempuan dengan kondisi psikologis tertentu. Rekaman adegan intim ini sering kali menjadi alat eksploitasi seseorang untuk mendapat keuntungan seksual lain atau finansial.
Sebagian video adegan seksual dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tanpa ada konsensual alias kesepakatan kedua belah pihak. Namun, ada pula video seksual itu dilakukan atas kemauan dan kesadaran kedua belah pihak. Masalahnya, mereka yang merekam hubungan intim atas dasar konsensual bersama itu sering kali tidak memberi perhatian terhadap pengelolaan rekaman video tersebut.
”Kebiasaan sebagian orang merekam aktivitas yang seharusnya sangat rahasia itu sejatinya sama dengan kegiatan perekaman hal lain. Saat melihat keindahan alam, sesuatu yang menarik, unik, atau membahagiakan, orang zaman sekarang cenderung menyimpan momen tersebut dalam gawai dan perangkat digital lain, tidak cukup hanya dalam ingatan atau memori,” kata Margaretha.
Keamanan digital
Masalahnya, untuk perekaman hal-hal yang bersifat sangat pribadi, termasuk merekam adegan hubungan seksual, seseorang seharusnya mampu berpikir kritis: mengapa perekaman perlu dilakukan atau apa untungnya merekam adegan tersebut?
Kalaupun akhirnya rekaman dilakukan atas kemauan bersama, umumnya tidak ada kejelasan bagaimana video rahasia itu harus dikelola? Siapa yang akan menyimpan video tersebut, siapa saja yang berhak mengakses rekaman itu, disimpan di mana, hingga berapa lama video itu disimpan. Bahkan, jika hubungan asmara mereka berakhir, apa yang harus dilakukan terhadap video tersebut?
Di sisi lain, dalam sejumlah kasus, video hubungan seksual itu dilakukan oleh pasangan yang masih termasuk usia remaja atau menginjak dewasa. Dalam fase perkembangan ini, mereka umumnya belum mampu berpikir matang. Cara pikir mereka cenderung impulsif, belum mampu berpikir panjang, hingga belum mampu memikirkan konsekuensi atas tindakan yang mereka lakukan.
Menurut Margaretha, dalam kondisi tertentu, perekaman aktivitas seksual itu dapat dilakukan oleh pasangan suami istri dalam rangka menyegarkan hubungan yang sudah dirasa hambar. Upaya ini bisa menjadi bagian dari intervensi psikoseksual untuk memperbaiki atau menyelamatkan biduk perkawinan. Merekam aktivitas seksual bisa menjadi salah satu cara membangkitkan kembali gairah seksual dengan pasangan sahnya dengan melakukan hal-hal yang tidak biasa atau belum pernah dicoba.
”Namun, tetap perlu dipikirkan secara kritis, apakah upaya menyegarkan hubungan suami-istri itu hanya bisa dilakukan dengan merekam hubungan intim mereka? Jika hanya ingin menyimpan kenangan indah, seharusnya bisa dilakukan dengan cara yang lebih aman, bukan berupa video atau audio, seperti dituliskan sebagai catatan harian, puisi, hingga digubah dalam bentuk lagu,” tambahnya.
Karena itu, mereka yang merekam aktivitas seksual belum tentu mengalami gangguan eksibisionisme. Eksibisionisme adalah gangguan parafilia atau penyimpangan seksual yang membuat seseorang hanya bisa meraih kepuasan seksual saat menampilkan bagian intim tubuhnya atau melakukan hubungan seksual dengan dilihat orang lain.
”Aktivitas seksual itu sifatnya sangat pribadi dan unik pada masing-masing relasi sehingga tidak bisa disamaratakan,” kata Margaretha.
Saat video tersebut sudah ada di internet, video tersebut akan menjadi jejak digital yang akan tetap ada di dunia maya seumur hidup. Siapa pun, termasuk anak-cucu dan orangtua mereka, bisa menyaksikan video tersebut.
Meski dilakukan oleh pasangan sah, berpikir kritis dan kehati-hatian tetap diperlukan. Sebagai produk digital, meski disimpan secara baik, potensi video pribadi tersebut terunggah ke internet tetap ada, baik disengaja maupun tidak disengaja. Bisa saja rekaman video tersebut hilang, dicuri, atau dilupakan keberadaannya.
Saat video tersebut sudah ada di internet, video tersebut akan menjadi jejak digital yang akan tetap ada di dunia maya seumur hidup. Siapa pun, termasuk anak-cucu dan orangtua mereka, bisa menyaksikan video tersebut.
Selain sulit berpikir kritis, pengetahuan dan kesadaran masyarakat Indonesia terkait keamanan digital, pengelolaan identitas di dunia digital hingga literasi digital masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Sebagian besar pengguna gawai di Indonesia hanya tahu cara menggunakan gawai tersebut, tetapi tidak memahami karakter, manfaat, dan ancaman bahaya yang mengintai, termasuk bagaimana memitigasi risiko yang ada.
Baca juga: Literasi Digital Masih Hadapi Tantangan
Bukan hanya sistem dan kebijakan pemerintah yang lemah, melainkan kesadaran pribadi untuk menjaga privasi, menentukan mana yang perlu diunggah di dunia maya atau tidak perlu diunggap, masih sangat lemah. Banyak orang tidak sadar bahwa foto mereka di dunia maya dengan baju lengkap pun bisa dimanfaatkan orang tidak bertanggung jawab menjadi video adegan seksual dengan bantuan kecerdasan artifisial (AI).
Karena itu, butuh pemikiran serius dan tanggung jawab besar jika pasangan sah ingin merekam adegan seksual mereka. Jika tidak siap menanggung risikonya, masih banyak cara lain yang bisa diambil demi menjaga harmoni dan keberlangsungan perkawinan.
Masyarakat berisiko
Sementara itu, sosiolog kesehatan yang juga dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta, Argyo Demartoto, mengatakan, tidak jeranya sebagian masyarakat untuk merekam aktivitas seksual mereka meski sudah banyak kasus yang terbongkar merupakan imbas dari transisi masyarakat dari masyarakat era industri menuju era posmodern.
Di masa transisi ini, pemanfaatan teknologi informasi makin mengakar ke berbagai aspek kehidupan. Teknologi memang membuat hidup manusia semakin mudah, tetapi risikonya juga tidak mudah, baik risiko sosial, ekonomi, hukum, maupun kesehatan. ”Di era ini, masyarakat sejatinya sudah paham risiko yang dihadapi, tetapi tindakan yang dilakukan sering kali justru menjadi bumerang bagi mereka,” katanya.
Baca juga: Mudahnya Mengakses Video Porno Anak-anak di Media Sosial
Dengan merekam adegan seksual, masyarakat sejatinya paham bahwa tindakan itu bisa mempermalukan diri dan keluarga jika rekaman itu tersebar luas. Tak hanya itu, dalam kasus video hubungan seksual dilakukan oleh pasangan yang tidak terikat perkawinan, maka risiko patah hati, putus pacaran atau putus selingkuh, hamil, dan tertular penyakit menular seksual, akan senantiasa ada. Namun, karena ingin merasakan kepuasan, sensasi, atau kesenangan saja, sering kali risiko itu dilanggar.
Tak hanya hubungan intim, sebagian masyarakat juga dengan mudah mengunggah video yang menampilkan sensualitas tubuh dan erotisme ke media sosial. Demi mendapat like, komentar, ataupun menjadi viral, sebagian orang rela melakukan hal yang dianggap tidak patut oleh norma sosial. Semakin seseorang terbiasa menampilkan konten yang mengandung sensualitas dan erotisme di media sosial, maka potensi mereka merekam adegan seksualnya pun makin besar.
Meski demikian, sanksi bagi pelaku dan penyebar video hubungan intim sebenarnya cukup kuat di Indonesia. Dalam budaya Indonesia, cibiran atau pengucilan dari pergaulan sebagai sanksi sosial itu tidak hanya berlaku bagi pelaku ataupun penyebar konten dewasa tersebut, tetapi juga bagi keluarga besar mereka yang sejatinya tidak terlibat langsung dalam aktivitas yang dianggap memalukan tersebut.
Tak hanya sanksi sosial, sanksi ekonomi pun umumnya juga diberikan kepada pelaku dan penyebar video dewasa. Mereka yang terlibat umumnya akan lebih sulit mendapatkan peluang kerja atau memperoleh sumber pendapatan dalam jangka waktu tertentu. Sanksi sosial dan ekonomi ini pun juga berlaku di negara-negara yang sering dipersepsikan sebagai negara dengan pergaulan bebas.
Sementara sanksi hukum yang bisa menjerat pelaku dan penyebar video adegan dewasa di Indonesia juga cukup banyak, mulai dari Undang-Undang (UU) tentang Pornografi, UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang telah diperbarui, hingga Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Hukuman yang diberikan pun banyak, mulai dari denda hingga penjara.
Baca juga: AD Mengakui sebagai Pemeran Video Asusila, Penyidik Kantongi Bukti Baru
Namun semua sanksi itu, nyatanya tidak membuat masyarakat serta-merta menjadi jera. Peminat konten yang mengandung sensualitas dan erotisme di media sosial ataupun penyuka tontonan pornografi di Indonesia sangat tinggi. Belum lagi, sebagian konten video yang mengandung hiburan dewasa itu juga mendatangkan keuntungan ekonomi. Situasi ini membuat upaya memutus penyebaran video konten yang mengandung sensualitas, erotisme, ataupun adegan seksual sulit diputus.
”Kita masih dalam masa transisi menuju masyarakat postmodern,” kata Argyo.
Dalam masa transisi ini, perubahan berlangsung sangat cepat. Saat satu perubahan yang berusaha diserap masyarakat sudah muncul perubahan lain yang lebih baru. Situasi ini membuat batas antara hal yang benar dan salah, asli atau palsu, hingga fiksi atau nyata menjadi samar dan sulit dibedakan.
Menghadapi situasi ini, Argyo menekankan pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas untuk anak dan remaja. Penelitian yang dilakukannya menunjukkan banyak anak remaja sudah mengenal banyak istilah terkait kesehatan reproduksi dan seksualitas, termasuk proses transisi mereka dari remaja ke dewasa hingga gaya pacaran dan hubungan intim sekalipun. Semua itu, mereka kenal melalui media sosial.
”Memang ada pelajaran biologi di sekolah. Namun. mereka lebih banyak mempelajari dengan leluasa, cepat, mudah dan efektif melalui media sosial dan internet,” tambahnya.
Selain itu, pendidikan orangtua di rumah menjadi kunci. Orangtua tidak perlu tabu memperkenalkan masalah kesehatan reproduksi dan seksualitas kepada anak sesuai umur mereka. Justru pendidikan orangtualah yang akan menjadi benteng dan pelindung bagi anak agar mereka tidak melanggar norma, mampu membangun relasi dengan lawan jenis yang sehat dan berdasarkan penghormatan dan penghargaan, serta membangun literasi digital.
Bagaimanapun, teknologi hanyalah alat yang bisa menjadi pisau bermata dua. Agar bisa memanfaatkan teknologi dengan benar, maka literasi digital menjadi penting. Keterampilan berpikir kritis dan kesadaran akan pentingnya keamanan dan pengelolaan identitas pribadi juga mutlak diperlukan agar hadirnya teknologi benar-benar bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bukan malah menjadi sumber masalah baru kehidupan.