Penghapusan Jurusan di SMA Diyakini Akan Berbuah Jangka Panjang
Sekolah harus mampu membimbing siswa tanpa paksaan agar mereka bisa belajar sesuai dengan ”passion” demi masa depannya.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penghapusan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA diyakini akan berbuah jangka panjang untuk generasi masa depan. Sejak kelas 10 SMA, para siswa sudah dibimbing untuk memilih mata pelajaran sesuai minat yang akan membantunya dalam memilih jurusan kuliah nanti.
Kepala Badan Standar Nasional Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Anindito Aditomo menjelaskan, kebijakan ini merupakan bagian dari implementasi Kurikulum Merdeka yang sudah ditetapkan sebagai kurikulum nasional. Saat ini sudah ada 14.046 dari total 14.236 SMA seluruh Indonesia yang telah menerapkan Kurikulum Merdeka.
”Sudah banyak kajian yang dilakukan untuk kebijakan ini, bisa dipelajari di website Kurikulum Merdeka,” kata Anindito saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (19/7/2024).
Sebagai contoh, seorang murid yang ingin berkuliah di program studi teknik bisa menggunakan jam pelajaran pilihan untuk mata pelajaran Matematika tingkat lanjut dan Fisika, tanpa harus mengambil mata pelajaran Biologi. Sebaliknya, seorang murid yang ingin berkuliah di kedokteran bisa menggunakan jam pelajaran pilihan untuk mata pelajaran Biologi dan Kimia, tanpa harus mengambil mata pelajaran Matematika tingkat lanjut.
Semangatnya ini bagus, tetapi lagi-lagi, transformasi pendidikan tentang penyiapan SDM dan sarana-prasarana harus segera digenjot.
Namun, beberapa mata pelajaran umum, seperti Bahasa Indonesia, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, serta Kesenian, masih diwajibkan. Pemilihan mata pelajaran disesuaikan dengan minat, bakat, aspirasi, serta kemampuan peserta didik yang diasesmen guru Bimbingan Konseling (BK) dan wali kelas.
Wakil Kepala SMA Negeri 78 Jakarta Trihono mengatakan, pihaknya telah menerapkan kebijakan ini sejak 2021. Sosialisasi dan bimbingan peminatan siswa sudah dimulai sejak hari pertama masuk sekolah. Tujuannya, siswa dan orangtuanya mulai menyusun masa depan sejak awal dengan memilih mata pelajaran sesuai minat anak.
Para siswa SMA Negeri 78 bisa memilih paket mata pelajaran pilihan mulai kelas 11. Siswa akan memilih 4-5 mata pelajaran dari 7 mata pelajaran yang disediakan sekolah sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan. Guru BK dan wali kelas akan mendampingi.
Trihono menyebutkan, sejak kebijakan ini diterapkan, ternyata banyak siswa yang memilih mata pelajaran humaniora. Padahal, di sekolah ini dulu kelas IPA bisa berjumlah delapan kelas, IPS cuma dua kelas, dan Bahasa satu kelas.
”Jadi, sekarang anak bisa belajar dan lebih menjiwai karena mata pelajaran yang dipilih sudah sesuai passion-nya. Dulu orangtua cenderung memaksa anaknya masuk ke IPA, mungkin dianggap orang zaman dulu, kan, IPA masa depannya lebih cerah. Guru BK memegang peran penting,” kata Trihono.
Menurut dia, lulusan-lulusan SMA Negeri 78 kini mulai beragam dalam memilih jurusan di perguruan tinggi. Pihak sekolah berupaya memenuhi kebutuhan siswa dengan beradaptasi pada kebijakan baru ini. Misalnya, mengadakan ruang seni, fasilitas olahraga, hingga sumber daya pengajar yang lebih baik.
”Sekarang kami coba mengakomodasi semua keinginan anak. Kalau mau jadi desainer, seniman juga oke. Hasilnya akan terlihat nanti ketika mereka masuk kuliah, lulus, lalu bekerja karena sudah ditata sejak SMA,” ucapnya.
Naira, salah satu murid kelas 11 SMA Negeri 78, mengaku sengaja memilih ilmu sosial untuk mengejar cita-citanya belajar hukum atau hubungan internasional. Selama setahun ke depan, ia sudah memilih mata pelajaran di kelas sosial, seperti Sosiologi, Geografi, dan Antropologi.
”Saya lebih suka dan memahami pelajaran sosial karena menurut saya bisa ke mana-mana dan lebih bisa belajar banyak. Kemarin waktu memilih juga tetap melalui persetujuan bersama dengan orangtua,” kata Naira.
Dihubungi secara terpisah, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Dudung Abdul Qodir berharap agar kebijakan ini bisa dibarengi dengan pemerataan kualitas sumber daya manusia dan infrastruktur sekolah. Sebab, minat dan bakat siswa yang semakin beragam akan terhambat jika pembangunan kualitas sekolah masih stagnan.
Lebih lanjut, PGRI meminta Kemendikbudristek membuka hasil evaluasi dan kajian akademik dari kebijakan yang sudah diterapkan sejak 2021 ini. Dengan begitu, penerapan kebijakan menyeluruh sekarang tidak hanya berdasar pada capaian sekolah 95 persen SMA yang telah menerapkan Kurikulum Merdeka.
”Semangatnya ini bagus, tetapi lagi-lagi transformasi pendidikan tentang penyiapan SDM dan sarana-prasarana harus segera digenjot. Kalau tidak, anak akan jadi korban percobaan,” kata Dudung.
Seperti diberitakan sebelumnya, kebijakan ini sudah diterapkan secara bertahap sejak tahun 2021. Kemudian, pada 2022 Kurikulum Merdeka sudah diterapkan di 50 persen sekolah di seluruh Indonesia. Selanjutnya, pada tahun ajaran 2024/2025, tingkat penerapan Kurikulum Merdeka mencapai 90-95 persen untuk sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah atas/sekolah menengah kejuruan (SMA/SMK). Penjurusan di SMA pun otomatis dihapuskan dan siswa bebas memilih mata pelajaran sesuai minatnya.