Penghapusan Jurusan di SMA Harus Dibarengi Kesiapan Sekolah
Sejumlah pihak menyambut baik penghapusan jurusan di SMA. Sekolah harus bersiap memfasilitasi minat siswa yang beragam.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penghapusan penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA membuat siswa menjadi lebih leluasa mendalami pelajaran sesuai dengan minat dan proyeksi studinya di jenjang kuliah. Namun, kebijakan ini harus dibarengi dengan kesiapan sekolah dalam menyiapkan tenaga pendidik dan fasilitas pendukung.
Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia Cecep Darmawan menilai, kebijakan pemerintah menghapus penjurusan di SMA sudah tepat. Sebab, SMA merupakan satuan pendidikan yang bersifat umum. Hal ini berbeda dengan SMK yang spesifik mempelajari bidang keahlian tertentu.
Akan tetapi, sekolah tetap perlu memetakan peminatan siswa. Dengan begitu, potensi siswa bisa dioptimalkan sehingga mereka memiliki gambaran terkait dengan jurusan yang akan dipilih saat melanjutkan ke pendidikan tinggi.
Dengan penghapusan penjurusan di SMA, peminatan siswa menjadi sangat beragam. Hal ini melahirkan tantangan bagi sekolah untuk mengakomodasi kebutuhan tersebut, mulai dari dukungan fasilitas pendidikan hingga tenaga pendidik yang memadai.
”Kita menyambut baik upaya ini, tapi harus dibarengi dengan kesiapan sekolah. Pemerintah jangan hanya memutuskan tanpa menyiapkan peranti lainnya, seperti manajemen, anggaran, dan peta jalan,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (18/7/2024).
Menurut Cecep, dibutuhkan masa transisi hingga kebijakan penghapusan jurusan itu bisa diterapkan seutuhnya. Ia mencontohkan, dengan peminatan yang sangat beragam, kebutuhan terhadap guru bidang mata pelajaran berpotensi bertambah.
Untuk mengoptimalkan peminatan itu, sekolah juga memerlukan dukungan fasilitas tambahan, seperti laboratorium dan tempat praktik belajar lainnya. Jika sekolah tidak siap, tujuan penghapusan penjurusan agar siswa menjadi lebih leluasa mendalami pelajaran sesuai dengan minatnya akan sulit tercapai.
”Itulah pentingnya membuat peta jalan. Misalnya, dalam lima tahun pelaksanaan, standar apa saja yang harus diwujudkan. Pemerintah daerah juga harus dilibatkan karena sumber dayanya ada di sana,” ujarnya.
Tanpa dukungan fasilitas dan kesiapan, sekolah bisa keteteran memfasilitasi minat siswa yang beragam. Namun, sekolah dapat berkolaborasi untuk saling memenuhi kebutuhan siswanya.
Cecep menuturkan, sebelum penghapusan jurusan diterapkan menyeluruh, pemerintah melalui dinas pendidikan sebaiknya terlebih dahulu memetakan potensi dan kompetensi guru. Dengan begitu, sekolah memiliki gambaran mengenai hal-hal apa saja harus dibenahi untuk mendukung peminatan siswa tersebut.
Sekolah, misalnya, bisa merekrut guru sesuai dengan kebutuhan peserta didiknya. ”Kalau ada banyak siswa yang senang bahasa asing, berarti sekolah perlu menyiapkan gurunya. Ini lebih ke persoalan mendukung hard skill (keterampilan teknis) dan soft skill (kemampuan nonteknis) siswa,” ucapnya.
Kolaborasi sekolah
Tanpa dukungan fasilitas dan kesiapan, sekolah bisa keteteran memfasilitasi minat siswa yang beragam. Namun, sekolah dapat berkolaborasi untuk saling memenuhi kebutuhan siswanya.
”Bentuknya mungkin berbasis regional. Jika sekolah kekurangan guru yang sesuai dengan minat siswa, bisa mendatangkan guru dari sekolah lain. Kerja sama ini sangat penting karena belum tentu setiap sekolah bisa mengakomodir kebutuhan minat seluruh siswa,” ujarnya.
Cecep menambahkan, penghapusan jurusan di SMA juga akan menghilangkan stigmatisasi. Sebab, masih ada anggapan siswa jurusan IPA seolah lebih unggul dibandingkan dengan siswa jurusan lainnya.
Sejumlah siswa menyambut baik kebijakan penghapusan jurusan di SMA. Sebab, tidak sedikit siswa yang memiliki ketertarikan di luar dari jurusan IPA, IPS, dan Bahasa.
Anisa (16), siswa salah satu SMA negeri di Jakarta Pusat, misalnya, lebih tertarik mendalami seni. Ia hobi melukis sejak SD. Setelah tamat SMA, ia berencana mengambil jurusan seni di perguruan tinggi.
”Pelajaran IPA, IPS, dan Bahasa juga penting. Hanya saja porsi pelajarannya perlu diatur karena saya lebih tertarik mendalami bidang seni. Jadi, kalau bisa diseriusi sejak SMA akan lebih baik,” katanya.
Kebijakan menghapus sistem penjurusan di SMA merupakan bagian dari implementasi Kurikulum Merdeka. Kepala Badan Standar Nasional Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek Anindito Aditomo menyampaikan, kebijakan itu sudah diterapkan secara bertahap sejak tahun 2021.
”Pada kelas XI dan XII SMA, murid yang sekolahnya menggunakan Kurikulum Merdeka dapat memilih mata pelajaran secara lebih leluasa sesuai minat, bakat, kemampuan, dan aspirasi studi lanjut atau kariernya,” katanya.