Peluang dan Bahaya Kecerdasan Buatan bagi Media serta Demokrasi
Kerja jurnalisme ke depan terutama dibutuhkan untuk memverifikasi informasi yang kini bisa diproduksi mesin.
Bisakah jurnalisme bertahan dari kecerdasan buatan (AI)? Jawabannya akan bergantung pada apakah jurnalisme dapat menyesuaikan model bisnisnya dengan era AI yang tak bisa dibendung lagi.
Ketika perusahaan teknologi yang mengembangkan kecerdasan buatan tumbuh semakin pesat dan bisa menghasilkan konten secara otomatis, industri media semakin terpuruk dan kehilangan jurnalis serta pembacanya. Pergeseran peran sebagai penyampai pesan dan informasi ke publik bukan hanya mengancam masa depan jurnalisme, tetapi juga demokrasi.
Beberapa tahun terakhir kita telah menyaksikan semakin banyak konsumen memilih mendapatkan berita mereka secara daring dan gratis. Hal ini menyebabkan sirkulasi media cetak dan pendapatan iklan anjlok. Di sisi lain, model langganan tidak bisa memberi kompensasi.
Laporan Reuters Institute dalam Digital News Reports 2024 menjelaskan suramnya kondisi media. Proporsi masyarakat yang mau berlangganan dan membayar berita daring menunjukkan tanda-tanda penurunan.
Baca juga: Masa Depan Media dengan Model Bisnis Berlangganan
Baca juga : Mengapa Harus Membayar Berita Daring?
Sebanyak 17 persen masyarakat di sejumlah negara kaya membayar untuk berita daring dan banyak di antara mereka yang membayar dengan potongan harga besar. Sementara itu, lebih dari setengah masyarakat menyatakan, mereka tidak akan membayar apa pun untuk berita daring.
Salah satu penyebab suramnya industri media karena organisasi berita saat ini semakin bergantung pada platform media sosial yang tidak mereka miliki, dengan pendapatan yang tidak dapat mereka peroleh. Laporan State of Local News Report Tahun 2023 yang dirilis Medill School of Journalism, Media, Integrated Marketing Communications menyimpulkan, pada akhir tahun 2024, Amerika Serikat akan kehilangan sepertiga surat kabar dan hampir dua pertiga jurnalis dibandingkan tahun 2005.
Menurut laporan ini, runtuhnya model finansial media arus utama tidak hanya berdampak pada jurnalis, tetapi juga dapat menjadi ancaman terhadap demokrasi dan memberi peluang bagi pihak-pihak yang mempunyai niat buruk untuk mengisi kekosongan tersebut dengan misinformasi dan disinformasi.
Media arus utama sangat dibutuhkan untuk melawan disrupsi informasi di tengah tekanan sosial media dan AI.
Kemunculan AI
Di tengah kondisi yang suram ini, industri media kini harus berhadapan dengan revolusi berbasis teknologi berikutnya, yaitu AI. Pada 30 November 2022, Open AI telah meluncurkan ChatGPT (Chat Generative Pre-Trained Transformer), yakni chatbot berbasis model bahasa yang dapat membuat konten berdasarkan perintah yang dimasukkan ke dalamnya.
Lebih dari 100 juta pengguna masuk ke ChatGPT dalam dua bulan pertama peluncurannya di pasar, menjadikan aplikasi perangkat lunak ini memiliki pertumbuhan tercepat dalam sejarah.
Dengan kemampuannya membuat konten dengan sedikit keterlibatan manusia, AI bisa menjadi paku terakhir dalam peti mati industri media. Mengingat bagaimana beberapa pemilik jaringan bisnis lebih memprioritaskan pemotongan biaya dan keuntungan dibandingkan kualitas jurnalistik yang berkelanjutan, tidak ada yang dapat menghentikan mereka untuk mengganti lebih banyak reporter dan editor dengan robot.
Baca juga: Media Melemah Saat Dibutuhkan Hadapi Disrupsi Informasi dan Kecerdasan Buatan
Peluang dan ancaman dari perkembangan AI ini menjadi salah satu topik yang dieksplorasi dalam Konferensi Media Internasional dua tahunan East-West West Center di Manila, Filipina, pekan lalu. Para pembicara mayoritas jurnalis, pelaku bisnis media, dan akademisi.
Peluang AI
Sebagian pembicara berpendapat, AI bisa menjadi peluang baik bagi media, di tengah melemahnya industri ini. Don Kevin Hapal, yang mengepalai data dan inovasi di Rappler, sebuah surat kabar daring yang berbasis di Manila, termasuk yang optimistis dengan keberadaan AI bagi industri media.
Menurut Hapal, perusahaan media sudah merasakan keuntungan menggunakan AI, baik untuk pencarian digital atau membedah data. Fungsi pencarian gambar yang dihasilkan oleh AI dari Associated Press, misalnya, dapat dengan cepat menyaring jutaan gambar dan video. AI juga sangat berguna dalam analisis data.
Menurut Hapal, Rappler telah memanfaatkan AI untuk ”melibatkan masyarakat sedapat mungkin,” sambil memastikan untuk mengungkapkan konten yang didukung AI kepada pembacanya. Misalnya, pada pemilu Filipina tahun 2022, Rappler menggunakan ChatGPT untuk membuat profil bagi 50.000 kandidat yang mencalonkan diri untuk jabatan publik.
Tugas-tugas seperti inilah yang bisa dilimpahkan ke teknologi untuk memberikan waktu luang bagi wartawan untuk mengerjakan hal-hal penting lainnya. ”Kami percaya bahwa pemikiran kritis dan kreativitas manusia adalah yang tertinggi,” kata Hapal. “Tidak ada sesuatu pun yang keluar tanpa ditinjau oleh manusia.”
Menurut Khalil A Cassimally, dari The Conversation Australia, kecerdasan buatan generatif juga memungkinkan redaksi bekerja lebih efektif. Dia mencontohkan, Tim editorial The Conversation baru-baru ini menggunakan AI untuk mengubah tulisan reporter untuk membuat ”situs mikro” yang berisi informasi tentang pemilu Indonesia baru-baru ini untuk audiens yang lebih muda.
Bahaya AI
Sebagian panelis mengingatkan agar lebih berhati-hati. Para panelis juga menyuarakan keprihatinan mengenai peran perusahaan teknologi dalam melanggengkan disinformasi dan berita palsu yang berorientasi pada keuntungan.
Irene Jay Liu dari International Fund for Public Interest Media di Singapura, yang pernah menjadi Kepala Google News Lab untuk wilayah tersebut, mengaku sangat khawatir terhadap penggunaan AI oleh manusia sebagai alat untuk menyebarkan informasi sesat. ”Saya cenderung lebih skeptis dibandingkan orang lain (menyikapi AI),” katanya.
Baca juga: Menavigasi Arah Kebijakan Redaksi di Era Kecerdasan Buatan
Syed Nazakat, pendiri dan CEO DataLEADS di New Delhi, India, juga melihat AI sebagai ancaman besar terhadap demokrasi karena kemampuannya memicu disinformasi dan propaganda. Namun, Nazakat juga menyoroti peran ganda AI, baik sebagai alat disinformasi dalam pemilu politik, maupun sebagai sarana untuk memeranginya.
Dia mencontohkan, selama pemilihan presiden India baru-baru ini, sekitar 300 editor, jurnalis, dan pemeriksa fakta berkolaborasi selama empat bulan melakukan pengecekan fakta yang disebut ”Proyek Shakti” untuk memastikan berita mereka faktual dan melawan mesin disinformasi. Mereka menggunakan kode sistem peringatan dini untuk menandai konten yang bisa menjadi viral.
Menurut Nazakat, masa depan jurnalisme ke depan bakal berbeda dengan cepatnya pertumbuhan AI memproduksi informasi. "Kerja media ke depan mungkin bukan lagi mengumpulkan data dan informasi, karena informasi sudah terlalu banyak beredar, terutama dengan perkembangan AI sekarang,” tuturnya.
Menurut dia, kerja media arus utama dan jurnalisme ke depan adalah untuk memastikan apakah informasi yang beredar di masyarakat benar atau tidak. ”Selama pemilu di berbagai negara kami melihat tantangan besar. Banyak konten dibuat politisi selama kampanye, seperti nyanyian, gambar, dan video dengan menggunakan AI.”
Beberapa pemilu baru-baru ini, termasuk di India, Filipina, dan Indonesia, menunjukkan bahwa perkembangan AI telah menyuburkan manipulasi informasi dan manipulasi kesadaran di masyarakat sehingga menurunkan kualitas demokrasi. ”Masyarakat sudah menghadapi banyak tantangan, termasuk krisis iklim, tetapi manipulasi isu semakin meningkat dan AI menambah risiko ini,” kata Nazakat.
Khalil A. Cassimally mengatakan, media arus utama sangat dibutuhkan untuk melawan disrupsi informasi di tengah tekanan sosial media dan AI. ”Pada dasarnya teknologi, termasuk AI, hanya mengamplifikasi informasi. Jika kita melakukan kerja baik di ruang redaksi, AI akan mengamplifikasinya. Dan sebaliknya,” katanya.
Menurut Nikki Usher, ahli komunikasi dari University of San Diego, algoritma sepenuhnya matematika, tidak peduli pada nilai-nilai benar dan salah. Menjadi penting publik memahami mana yang benar dan salah dalam dunia yang semakin dipenuhi informasi.
Namun, dengan kecenderungan sebagian media saat ini hanya mengikuti algoritma, hal itu justru akan mempercepat bunuh diri jurnalisme. Padahal, robohnya jurnalisme berarti juga menjadi ancaman bagi kualitas demokrasi.