Media Melemah Saat Dibutuhkan Hadapi Disrupsi Informasi dan Kecerdasan Buatan
Media massa yang diharapkan bisa memverifikasi informasi semakin melemah, menyebabkan masa depan demokrasi terancam.
Oleh
AHMAD ARIF DARI MANILA, FILIPINA
·3 menit baca
MANILA, KOMPAS — Keandalan informasi dan demokrasi semakin terancam saat kecerdasan buatan semakin banyak digunakan oleh politisi untuk membiaskan informasi demi kepentingan politik elektroral. Namun, media arus utama dan jurnalisme yang diharapkan bisa memverifikasi informasi terus melemah, menyebabkan masa depan demokrasi juga terancam.
Relasi antara kecerdasan buatan, politik, dan masa depan jurnalisme ini didiskusikan pada hari pertama International Media Conference, yang diselenggarakan East-West Center di Manila, Filipina, Senin (24/6/2024).
Syed Nazakat, jurnalis dan pendiri perusahaan media DataLEADS dari India, mengatakan, masa depan jurnalisme ke depan mungkin bakal berbeda dengan cepatnya pertumbuhan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dalam memproduksi informasi. ”Kerja media ke depan mungkin bukan lagi mengumpulkan data dan informasi karena informasi sudah terlalu banyak beredar, terutama dengan perkembangan AI sekarang,” ucapnya.
Menurut dia, kerja media arus utama dan jurnalisme ke depan adalah untuk memastikan apakah informasi yang beredar di masyarakat benar atau tidak, terutama dalam pemilihan umum. ”Selama pemilu di berbagai negara, kami melihat tantangan besar. Banyak konten dibuat politisi selama kampanye, seperti nyanyian, gambar, dan video, dengan menggunakan AI. Ini bisa dilihat dalam pemilu di banyak negara di Asia, termasuk India,” katanya.
Nazakat melihat keterkaitan pertumbuhan AI ini dengan meningkatnya manipulasi informasi dan manipulasi kesadaran di masyarakat selama pemilu sehingga menurunkan kualitas demokrasi. ”Masyarakat sudah menghadapi banyak tantangan, termasuk krisis iklim, tetapi manipulasi isu semakin meningkat dan AI menambah risiko ini. Ini juga terjadi di Eropa, yang mengalami kemunduran demokrasi dengan menguatnya penolakan imigran dan antiglobalisasi karena masyarakat dimanipulasi kesadarannya,” tuturnya.
Don Kevin Hapal dari Rappler, Filipina, mengatakan, saat ini semakin banyak politisi yang menggunakan AI untuk kampanye dalam politik. ”Ini telah memicu bencana dalam pemilu, seperti terjadi di Filipina dan India, dan banyak negara lain,” ucapnya.
Nikki Usher, ahli komunikasi dari University of San Diego, menambahkan, bias akan selalu jadi bagian dari AI. ”AI bukan realitas sesungguhnya. Namun, masalahnya, bagaimana kalau bias ini diterima sebagai seolah menjadi kebenaran oleh masyarakat luas,” ujarnya.
Menurut Karol Ilagan, jurnalis dan akademisi dari University of the Philippines Diliman, informasi sesat dengan menggunakan AI banyak beredar di Filipina selama pemilu. ”Tantangan ke depan adalah bagaimana AI bisa akuntabel. Maka, regulasi sangat penting kalau bicara pemilu, misalnya aturan mengenai keuangan kampanye dan larangan menggunakan AI untuk manipulasi,” katanya.
Doc Ligot, pendiri CirroLytix, perusahaan yang fokus pada etik dan keamaan data, menyampaikan, regulasi tidak akan cukup dalam mengatur perkembangan AI. Hal ini karena regulasi kerap dipakai oleh pihak yang berkuasa demi kepentingan politik.
”Uni Eropa sudah memiliki AI Act, yang mengatur tentang kecerdasan buatan. Filipina juga punya aturan yang melarang penggunaan deepfake dalam kampanye pemilu. Secara normatif itu mungkin berguna, tetapi itu ternyata tidak bisa mencegah disrupsi yang terjadi akibat AI. Kalau pemerintah serius mau melawan masalah AI, cukup hentikan perusahaan yang mendapat untung besar dari itu. Namun, hal itu tidak mudah, kan?” tuturnya.
Menurut Nazakat, saat ini politik di banyak negara semakin banyak dipegang oleh penguasa yang antidemokrasi. ”Bagaimana kita bisa berharap otoritas melindungi masyarakat? Di sisi lain, juga media tidak berkembang dan terlambat mengantisipasi perkembangan. Inovasinya tertinggal dibandingkan perkembangan teknologi,” ucapnya.
Kerja media ke depan mungkin bukan lagi mengumpulkan data dan informasi karena informasi sudah terlalu banyak beredar, terutama dengan perkembangan AI sekarang.
Khalil A Cassimally dari The Conversation, Australia, mengatakan, media arus utama sangat dibutuhkan untuk melawan disrupsi informasi di tengah tekanan sosial media dan AI. ”Pada dasarnya teknologi, termasuk AI, hanya mengamplifikasi informasi. Jika kita melakukan kerja baik di news room, AI akan mengamplifikasinya. Dan, sebaliknya,” kata Cassimally.
Doc sepakat bahwa jurnalisme yang baik seharusnya memiliki otoritas untuk menunjukkan fakta dan kebenaran kepada publik. Akan tetapi, kondisi jurnalis dan media arus utama saat ini tidak mudah.
Saat ini, banyak media juga semakin tergantung pada algoritma pembaca, sebagaimana terjadi di media sosial. Padahal, menurut Nikki Usher, algoritma sepenuhnya matematika, tidak peduli pada nilai-nilai benar dan salah.
”Menjadi penting publik memahami mana yang benar dan salah dalam dunia yang semakin dipenuhi informasi. Akan tetapi, jika acuannya hanya algoritma, maka algoritma hanya matematika,” ucapnya.