PRT Berharap DPR Sahkan UU Perlindungan PRT Sebelum Akhiri Masa Kerja
Peringatan Hari PRT Internasional 2024, menjadi momentum untuk mendesak pengesahan UU PPRT.
Penghargaan terhadap pekerja rumah tangga di Indonesia masih sangat rendah. Selain minim perlindungan dan rentan mengalami diskriminasi, profesi pekerja rumah tangga masih belum mendapat pengakuan dari negara.
Padahal, semenjak 13 tahun yang lalu, tepatnya 16 Juni 2011, dunia telah mengakui keberadaan pekerja rumah tangga (PRT) melalui pengesahan Konvensi ILO No. 189 untuk pekerjaan yang layak bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT), serta menetapkan hukum perburuhan internasional untuk PRT.
Sejak saat itulah, PRT di dunia setiap tanggal 16 Juni memperingatinya sebagai Hari PRT Internasional (International Domestic Workers Day). Peringatan Hari PRT Internasional diharapkan semakin membangun kesadaran negara-negara di dunia untuk menghargai kerja-kerja perawatan yang selama ini dilakukan para PRT.
Di Indonesia, Peringatan Hari PRT Internasional 2024, menjadi momentum untuk mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU Perlindungan PRT).
“RUU PPRT sudah diperjuangkan selama 20 tahun. Namun, DPR masih tidak mau mengakui PRT sebagai pekerja dan mengesahkan RUU PPRT menjadi UU. Padahal, para PRT mengalami pelanggaran atas hak-haknya baik sebagai manusia, pekerja, dan warga negara,” ujar Lita Anggraini, Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), Minggu (16/6/2024).
Pemetaan JALA PRT di tahun 2024 menunjukkan, PRT di Indonesia yang saat ini jumlahnya diperkirakan sekitar lima juta orang, masih mengalami empat jenis kekerasan yakni, bekerja dalam situasi perbudakan, hidup dalam situasi pelecehan, hidup dalam situasi kemiskinan karena dieksklusikan dalam perlindungan sosial, dan rentan menjadi korban perdagangan orang.
Bahkan, dalam hal pengupahan, selama ini upah yang diterima PRT masih jauh sekali dari upah minimum yang berlaku di kota-kota besar di Indonesia seperti di Medan, Lampung, DKI Jakarta, Semarang, Yogyakarta, dan Makassar. Umumnya, PRT menerima upah sekitar 20-30 persen dari upah minimum provinsi atau kabupaten di tempatnya bekerja.
“Mayoritas PRT hidup dalam garis kemiskinan dan bahkan tidak bisa mengakses perlindungan sosial dan mendapatkan hak dasar ketenagakerjaan,” papar Lita yang bersama JALA PRT menggelar Peringatan Hari PRT Internasional di depan gerbang kompleks parlemen Senayan, Minggu pagi.
Bagi PRT, perlindungan negara masih jauh dari harapan. Buktinya, RUU Perlindungan PRT tak kunjung dibahas dan disahkan DPR sebagai UU. Hingga menjelang berakhirnya DPR periode 2019-2024, belum ada tanda-tanda DPR akan melanjutkan proses legislasi dari RUU tersebut.
Baca juga : DPR Didesak Berhenti Menyandera RUU Perlindungan PRT
Karena itulah, bertepatan dengan Hari PRT Internasional, JALA PRT kembali menuntut DPR untuk mengesahkan RUU Perlindungan PRT. Selain itu, mendesak pemerintah mengambil langkah-langkah secara institusional, administratif, dan juga langkah hukum pada DPR agar segera mengesahkan RUU Perlindungan PRT.
“Ini bisa dilihat dari banyaknya persoalan yang dialami PRT seperti upah tidak dibayar, sulit mendapatkan jaminan kesehatan dan tenaga kerja,” kata Lita Anggraini.
Tanggung jawab negara
Harapan dan desakan kepada DPR untuk mengesahkan UU Perlindungan PRT sebelum mengakhiri masa bakti periode 2019-2024, juga disuarakan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan berbagai kalangan.
“Kondisi kerja tidak layak PRT harus segera diperbaiki sebagai bagian dari pemenuhan tanggung jawab negara terhadap hak perempuan pekerja sekaligus hak konstitusional perempuan,” ujar Tiasri Wiandani, Komisioner Komnas Perempuan, pada Diskusi Publik “Mendorong Percepatan Pembahasan RUU Perlindungan PRT pada Periode Kerja DPR 2019-2024”, Jumat (14/6/2024) lalu.
Untuk memperbaiki kelayakan kerja para PRT di Indonesia, kehadiran regulasi dalam bentuk UU yang akan memberikan pengakuan dan perlindungan hukum terhadap regulasi tidak bisa lagi ditunda-tunda DPR.
Berbagai situasi rentan, mulai dari situasi kerja tidak layak, penganiayaan, kekerasan, dan bahkan perbudakan yang dialami para PRT harus menjadi pertimbangan DPR untuk segera membahas dan mengesahkan RUU PPRT yang diperjuangkan selama 20 tahun terakhir.
Baca juga : RUU PPRT Menanti DPR Menuntaskan Kerjanya …
Karena itu, macetnya proses legislasi RUU Perlindungan PRT terus mengundang pertanyaan besar di berbagai kalangan. Padahal, pada Maret 2023 lalu, proses RUU Perlindungan PRT mengalami kemajuan saat DPR menetapkan RUU PPRT sebagai RUU Inisiatif DPR. Tim pemerintah ketika itu langsung menyusun Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU tersebut dan mengirim DIM tersebut ke DPR.
Namun, lebih dari setahun berlalu, perjalanan RUU tersebut berhenti di DPR. Kecuali pertanyaan dari beberapa anggota DPR yang menyatakan kelanjutan RUU tersebut menanti persetujuan Ketua DPR, hingga kini tidak ada pernyataan resmi dari DPR.
Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden (KSP) Erlinda mengungkapkan, sejak penyerahan DIM RUU Perlindungan PRT oleh Pemerintah kepada DPR pada 15 Mei 2023, sampai sekarang belum terlaksana Rapat Pembahasan (Pembicaraan Tingkat I) antara DPR dengan Pemerintah.
Dari sisi pemerintah, upaya lobi dan komunikasi politik yang dibangun dan penyusunan DIM tepat waktu, namun masih belum memberikan hasil positif, karena badan musyawarah (Bamus) DPR belum mendapat arahan dari Ketua DPR untuk menyiapkan agenda pembahasan.
Karena itulah, pemerintah mendukung Koalisi Sipil RUU Perlindungan PRT secara aktif terus berupaya mengawal agar pimpinan DPR segera menjadwalkan Rapat Pembahasan RUU Perlindungan PRT pada sisa masa jabatan DPR 2019-2024 yang akan berakhir pada 1 Oktober 2024 mendatang.
Sementara itu, berbagai langkah perlu dilakukan antara lain memperkuat narasi di media massa terkait kasus kekerasan terhadap PRT, membuka kembali ruang-ruang pertemuan lintas kementerian/lembaga untuk mendorong percepatan pembahasan RUU tersebut, melanjutkan koordinasi dan komunikasi politik dengan DPR, serta melakukan eskalasi isu kepada Presiden, melalui memorandum atau usulan rapat tingkat menteri.
Hal senada diungkapkan Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan, Reni Mursidayanti. Ia menegaskan, pemerintah berkomitmen secara penuh untuk mendukung dan mendorong pengesahan RUU PPRT.
"Melalui sikap proaktif dan berbagai upaya yang telah dilakukan, diharapkan RUU PPRT dapat segera disahkan untuk memberikan perlindungan yang lebih baik bagi PRT," ujar Reni.
Terkait proses legislasi RUU Perlindungan PRT, Bivitri Susanti, pengajar Hukum Tata Negara mengungkapkan, dari laman dpr.go.id per 4 Juni 2024, terdapat informasi soal evaluasi prolegnas RUU Prioritas 2024 yang menyebutkan sejumlah RUU yang akan memasuki Tahap Pembicaraan Tingkat I di DPR. Di daftar tersebut, RUU Perlindungan PRT masuk dalam bagian tersebut, dan terdapat keterangan bahwa Surat Presiden (Surpres) RUU tersebut sudah disampaikan ke DPR.
Karena dokumen status menunjukkan bahwa pemerintah sudah mengirim Surpres, maka proses selanjutnya berarti DPR harus mengagendakan rapat paripurna untuk memulai tahap pembahasan RUU Perlindungan PRT.
Sebab, dengan belum mulainya tahap pembahasan, menurut Bivitri, hal itu akan membuat RUU ini tidak akan masuk kategori “carry over” di DPR, sehingga RUU perlindungan PRT jadi tidak wajib dibahas lagi (diteruskan) oleh DPR periode 2024-2029.
“Jadi dalam sisa waktu ini perlu diupayakan supaya kick off-nya dimulai dalam rapat paripurna, sehingga secara administratif dikenal sebagai kategori RUU carry over,” ujar Bivitri .
Eva K Sundari dari Koalisi Sipil UU Perlindungan PRT,mengibaratkan posisi RUU Perlindungan PRT saat ini berada di tikungan akhir tahun 2024, karena masa sidang DPR akan berakhir pada bulan September 2024 mendatang.
Karena itulah, di situasi kritis RUU PPRT saat ini, Koalisi Sipil dan para PRT sangat berharap Presiden Joko Widodo akan bersuara kembali untuk mendorong DPR agar segera membahas dan mengesahkan RUU Perlindungan PRT, sebagaimana yang dilakukan pada RUU yang lain.