Banyak generasi muda kehilangan memori pelanggaran HAM masa lalu. Para seniman mengingatkan lewat beragam karya.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·2 menit baca
Berbagai peristiwa penghilangan paksa di Indonesia, dari tragedi 1965 hingga penculikan aktivis 1998, belum terungkap sepenuhnya. Para seniman meresponsnya lewat lukisan, patung, dan instalasi agar generasi muda tidak lupa terhadap getirnya pelanggaran hak asasi manusia yang masih menyisakan utang sejarah.
Patung perunggu dengan figur penyair Wiji Thukul menyambut pengunjung pameran seni Duka dalam Dekade di Galeri Cipta 1, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Minggu (26/5/2024) sore. Patung karya perupa Dolorosa Sinaga itu menggambarkan Thukul yang lantang bersuara sambil mengepalkan dan mengangkat tangan kirinya.
Thukul merupakan satu dari 13 aktivis korban penculikan 1997-1998 yang masih hilang. Penyair asal Surakarta, Jawa Tengah, tersebut dikenal dengan syair-syairnya yang kritis terhadap rezim Orde Baru.
Dolorosa menyertakan beberapa patung karyanya dalam pameran yang digelar oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) itu. Pameran berlangsung pada 26 Mei-1 Juni 2024.
Lukisan dari sejumlah perupa juga mewarnai pameran. Sejumlah karya menyiratkan pengabaian negara terhadap kasus-kasus penghilangan paksa karena tidak kunjung dituntaskan.
Perupa Nirwan Sambudi, misalnya, mengekspresikan pengalamannya saat mengikuti aksi Kamisan yang dilakukan setiap Kamis di depan Istana Merdeka. Aksi yang digelar sejak 2007 itu menuntut penyelesaian kasus pelanggaran HAM.
Lukisan dari sejumlah perupa juga mewarnai pameran. Sejumlah karya menyiratkan pengabaian negara terhadap kasus-kasus penghilangan paksa karena tidak kunjung dituntaskan.
Salah satu karya Nirwan berjudul ”Melengos” menggambarkan sosok seorang pria mirip Presiden Joko Widodo yang sedang berlalu. Di belakangnya terdapat seorang pemuda mengenakan payung berwarna hitam bertuliskan ”Selesaikan Kasus Pelanggaran HAM”.
Payung hitam identik dengan aksi Kamisan. ”Saya memberi judulnya ’Melengos’ karena dari pengalaman saya (ikut aksi Kamisan), walaupun Presiden Joko Widodo lewat depan Istana (Merdeka), tetap lewat begitu saja,” ujarnya.
Pengalaman pribadi juga menjadi pijakan perupa Muhammad Yusya membuat lukisan ”Cerita di Bulan Mei”. Tahun lalu, ia mencoba menyusuri jejak pelanggaran HAM di kampung halamannya di Simpang Ulim, Aceh Timur.
”Memori ketakutan masa lalu masih membekas di ingatan masyarakat. Orangtua di sana, misalnya, menakut-nakuti anaknya yang bandel dengan mengatakan akan dibawa atau diculik oleh tentara,” ujarnya.
Terdapat berbagai obyek dalam lukisan itu. Tank dan truk militer menggambarkan wilayah Aceh yang dulu pernah menjadi daerah operasi militer. Terdapat juga lautan berwarna merah dengan balon mainan anak-anak yang mengapung di atasnya.
”Warna merah itu menggambarkan lautan darah. Sementara mainan anak-anak menjadi pesan bahwa kisah kelam ini masih menyisakan ketakutan pada generasi sekarang,” ujarnya.
Wakil Koordinator Kontras Tioria Pretty mengatakan, pameran seni menjadi cara alternatif dalam merawat ingatan publik tentang kasus penghilangan paksa yang belum dituntaskan. Pameran itu diharapkan menggugah generasi muda agar tidak melupakan pelanggaran HAM berat masa lalu.
Pameran menampilkan puluhan lukisan, patung, instalasi, dan musik karya 13 seniman. Selain Dolorosa, Nirwan, dan Yusya, ada juga Andreas Iswinarto, Andrian Dinata, Dipa Radityatama Azuri, Dongker, Fitriyani, Gabriel Mangun Satria, Hai Rembulan, Reza Mustar, The Brandals, dan Yayak Yatmaka.
”Kami menggelar pameran seni sebagai bentuk yang populer di publik. Generasi muda kita mungkin kehilangan memori tentang kasus penghilangan paksa. Karya seni mencoba mengingatkan kembali agar mereka tidak melupakan pelanggaran HAM di masa lalu,” ucapnya.