Perempuan dengan Kehamilan Tak Diinginkan Perlu Perhatian Khusus
RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak masih dalam proses legislasi di DPR. Masukan dari publik sangat penting.
Kehamilan tak diinginkan atau tidak dikehendaki kerap dialami perempuan. Penyebabnya beragam. Hal ini bisa terjadi pada perempuan dalam status perkawinan ataupun di luar perkawinan, bahkan karena perkosaan atau alasan lain.
Situasi yang dihadapi para perempuan dengan kehamilan tidak diinginkan (KTD) perlu mendapat perhatian khusus dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (RUU KIA pada Fase Seribu HPK).
”Kenyataannya di lapangan, kehamilan tidak diinginkan itu tidak bisa dihindarkan. Memang kenyataannya seperti itu ada,” ujar Crista Adeline dari Yayasan Genta Kehidupan Indonesia (Pro-Life Indonesia) dalam diskusi kelompok terarah yang digelar Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP-RI), di Jakarta, Selasa (14/5/2024).
Baca juga: Selain Cuti Melahirkan 6 Bulan bagi Ibu Pekerja, Ada Apa Lagi di RUU?
Data Badan Kesehatan Seksual dan Reproduksi PBB (UNFPA) tahun 2022 mencatat, hampir setengah dari seluruh kehamilan, yakni 121 juta kehamilan setiap tahun di seluruh dunia, adalah KTD.
”Di Indonesia sendiri ada hampir 8 juta kehamilan setiap tahunnya. Studi menunjukkan, 17,5 persen sampai 35 persen di antaranya adalah kehamilan tidak diinginkan. Jadi, hampir 3 juta dari kehamilan setiap tahunnya adalah kehamilan tidak diinginkan,” papar Krista.
Untuk itulah, pengaturan dalam RUU KIA perlu melihat lebih jauh kerentanan khusus yang dihadapi para ibu dalam situasi KTD, terutama yang dihadapi perempuan remaja berusia 13-18 tahun. Hingga kini, sejumlah anak perempuan dalam usia sekolah mengajukan dispensasi perkawinan karena mengalami KTD.
Pendampingan fisik dan psikis
RUU KIA pada Fase Seribu HPK perlu memberikan perlindungan pada ibu-ibu yang mengalami KTD di usia sekolah dari berbagai diskriminasi. Charles Wong dari Yayasan Rumah Tumbuh Harapan, Bandung, menuturkan pengalamannya ketika menangani kasus kehamilan tak diinginkan pada anak perempuan berusia masih sangat muda, yakni 11 tahun.
”Nah, perlindungan terhadap ibu usia sekolah dengan KTD dari diskriminasi ini bagaimana? Karena memang akhirnya di lapangan itu terjadi,” ujar Charles.
Sebab, meskipun dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tidak ada aturan untuk mengeluarkan siswi yang hamil dari sekolah, yang terjadi selama ini, siswi yang mengalami KTD dikeluarkan dari sekolah karena sekolah tidak mau namanya buruk atau si anak keluar sekolah sendiri karena malu.
Situasi anak perempuan yang mengalami KTD tersebut perlu mendapat perhatian pemerintah daerah. Sebab, ketika mengalami kehamilan pada usia muda, pendampingan pada anak tersebut tidak hanya terkait perkembangan fisik, tetapi pendampingan psikologis juga sangat penting.
Pendampingan psikologis seperti konseling sangat penting, terutama pada perempuan korban perkosaan.
”Karena, kan, anak perempuan kalau sudah hamil malu, (dan) dia yang harus keluar dari sekolah. Bagaimana ini bisa ditolong, kan, masa depannya juga hancur,” ujar Charles.
Selama ini, Yayasan Rumah Tumbuh Harapan menyediakan tempat untuk perempuan yang mengalami kekerasan seksual, terutama KTD, termasuk untuk bayi batal aborsi, bayi telantar, dan bayi dalam proses adopsi.
Pendampingan psikologis seperti konseling sangat penting, terutama pada perempuan korban perkosaan. Dalam sejumlah kasus, perempuan korban perkosaan kerap ingin mengakhiri hidupnya ataupun menggugurkan kandungannya.
”Banyak yang ketika mengalami kehamilan tidak diinginkan, hal yang pertama mereka lakukan adalah mencoba sembunyi. Mereka enggak mau ketahuan. Rata-rata datang ke tempat kami sudah dalam kondisi depresi, kami mencoba mendampingi,” papar Charles.
Perempuan rentan
Maka, Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) mengusulkan agar pengaturan terkait hak ibu yang diatur dalam Pasal 4 RUU KIA pada Fase Seribu HPK diperluas atau ditambahkan dengan pasal yang mengatur perempuan dalam situasi khusus.
”Perlu ditambahkan pasal soal kondisi khusus yang dialami perempuan hamil dengan pasangan atau tanpa pasangan, seperti yang dialami para perempuan korban kekerasan seksual. Perempuan kelompok tersebut mendapat perlindungan,” ujar Nanda Dwinta Sari, Direktur YKP.
Pasal 4 Ayat (5) RUU KIA pada Fase Seribu HPK mengatur hak ibu dalam dua kondisi khusus. Pertama, ibu yang mengalami masalah kesehatan, gangguan kesehatan, dan/atau komplikasi pascapersalinan atau keguguran. Kedua, dalam hal anak yang dilahirkan mengalami masalah kesehatan, gangguan kesehatan, dan/atau komplikasi.
Perempuan dengan KTD hanyalah salah satu dari kelompok perempuan rentan dan situasi khusus yang perlu mendapat perhatian dalam RUU KIA pada Fase Seribu HPK, yang proses legislasinya sedang berlangsung di DPR.
Karena itu, RUU KIA pada Fase Seribu HPK diharapkan tidak hanya berfokus pada perempuan pekerja formal, tetapi melihat lebih jauh dimensi persoalan dan dinamika yang dihadapi para ibu dan anak di seluruh Indonesia.
Selain perempuan dengan KTD, anak yang tidak memiliki orangtua, baik ibu maupun ayah, atau keduanya juga perlu diperhatikan khusus. Jika perlu, kondisi anak seperti itu dibahas dalam pasal tersendiri sehingga negara hadir bagi anak-anak tersebut.
Ketua Presidium KPP-RI Diah Pitaloka dan Sekjen Luluk Nur Hamidah, yang juga anggota DPR, menyambut baik masukan dari organisasi masyarakat sipil terkait RUU KIA pada Fase Seribu HPK. ”Hal-hal tersebut akan menjadi catatan penting bagi DPR dan pemerintah," ujar Diah, Minggu (26/5/2024).
Diah sangat mendukung soal perempuan dengan KTD perlu mendapat perhatian khusus dalam RUU KIA pada Fase Seribu HPK. Apalagi, sejumlah penelitian menemukan, 3 juta dari 8 juta kehamilan yang terjadi adalah KTD.
”Dimensi kehidupan perempuan dalam UU ini harus dipandang secara luas. Termasuk ibu-ibu yang menjalankan peran domestik, yang punya persoalan dengan rebutan hak asuh, orangtua tunggal, menjalankan peran ganda, termasuk perempuan yang tidak mengasuh anak karena menjadi pekerja migran,” papar Diah.
Baca juga: RUU KIA Mengatur Khusus Peran Ayah/Suami
Staf Khusus Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Agung Putri Astrid mengungkapkan, Kementerian PPPA menyambut baik komitmen DPR dalam mengatur kesejahteraan ibu dan anak Indonesia secara komprehensif melalui RUU KIA pada Fase Seribu HPK.
Kementerian PPPA memberikan perhatian pada hak-hak ibu yang bekerja, termasuk ibu penyandang disabilitas serta ibu dengan kerentanan khusus, antara lain ibu yang berhadapan dengan hukum serta para ibu yang berada di lembaga pemasyarakatan, penampungan, situasi bencana, situasi konflik, dan korban kekerasan.
Selain itu, ibu sebagai orangtua tunggal, ibu dengan HIV/AIDS atau gangguan jiwa, serta ibu yang tinggal di daerah tertinggal, terluar, terpencil (3T) juga memiliki hak yang harus diatur dalam RUU KIA pada Fase Seribu HPK.
Para ibu dalam situasi khusus dan rentan sudah seharusnya menjadi perhatian dalam RUU KIA pada Fase Seribu HPK agar RUU tersebut benar-benar mengakomodasi kesejahteraan ibu dan anak di berbagai kondisi.