Perempuan Makin Rentan dengan Kekerasan dalam Relasi Intim
Konstruksi sosial membuat perempuan lebih rentan menjadi korban kekerasan. Negara tak boleh gagal melindungi perempuan.
Ami (37) berada di depan rumahnya di Cengkareng Timur, Cengkareng, Jakarta Barat, awal November 2022.
Kemajuan pembangunan ekonomi dan sosial nyatanya masih meninggalkan masalah besar bagi perempuan. Kasus kekerasan dan kejahatan terhadap perempuan dalam relasi intim terus terjadi yang tak hanya menimbulkan luka dan trauma, tetapi hilangnya nyawa. Kegagalan negara melindungi perempuan adalah kegagalan negara melindungi bangsa.
Beberapa bulan terakhir, kasus kejahatan terhadap perempuan sebagai istri, pacar, mantan, maupun partner romantis terjadi di sejumlah daerah. Ini adalah persoalan lama yang terus berulang. Namun, lonjakan kasus kejahatan terhadap perempuan yang muncul di media saat ini menunjukkan kondisi perempuan Indonesia tidak baik-baik saja.
Sejumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dalam hubungan romantis yang mengemuka di media, antara lain, kasus Y (42) yang dimutilasi suaminya di Ciamis, Jawa Barat, pada 3 Mei 2024. Masalah ekonomi dan gangguan mental yang dialami pelaku diperkirakan melatarbelakangi kasus ini.
Baca juga: Tiap Pekan Terjadi Pembunuhan pada Perempuan
Di Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, seorang istri RT (24) ditikam dan ditebas dengan parang oleh suaminya gara-gara mengigau dan dianggap tersangka sebagai perselingkuhan. Ada pula RM (50) yang dibunuh serta jasadnya di masukkan koper dan dibuang di Cikarang, Jabar, oleh rekan kerja yang juga kekasihnya pada 24 April 2024.
Selain itu, ada IDE (25) yang dibunuh oleh pacarnya dan diotaki oleh perempuan lain yang terlibat cinta segitiga dengan kekasih korban. Jasad IDE dibungkus selimut dan dibuang di Kota Banjar, Jabar, pada 25 Februari 2024. Ada juga pembunuhan Ft (46), seorang pekerja seks komersial di Denpasar, Bali, pada 3 Mei 2024 oleh pasangan kencannya.
Kasus-kasus itu hanya sebagian kecil dari perkara kekerasan dan kejahatan pada perempuan dalam relasi romantis atau relasi personal yang terjadi di masyarakat. Ini adalah fenomena gunung es. Kasus kekerasan lain yang ramai diberitakan media dan viral di dunia maya juga tersebar merata di berbagai penjuru Indonesia.
Hilangnya nyawa perempuan akibat kekerasan dalam hubungan intim adalah puncak dari kekerasan yang dialami perempuan. Kekerasan itu tidak terjadi tiba-tiba, tetapi didahului oleh kekerasan lain, baik verbal, emosional, ekonomi, maupun fisik. Persoalan ini umumnya disadari korban saat tingkat kekerasan yang dialaminya sudah mendalam.
Karena itu, kematian perempuan yang dilakukan oleh pasangannya tidak bisa dianggap sebelah mata. Semua perempuan rentan. Semua perempuan bisa menjadi korban, tanpa memandang status perkawinan, usia, dan latar belakang ekonomi atau pendidikan. Meski perempuan juga bisa menjadi pelaku kekerasan, umumnya perempuan adalah korban.
Perempuan yang tidak memiliki penghasilan, tingkat pendidikan rendah, dan sangat bergantung dengan pasangannya lebih rentan terhadap kekerasan.
”Perempuan lebih rentan menjadi korban kekerasan dalam relasi personal karena konstruksi sosial masih mengunggulkan laki-laki dan menempatkan perempuan sebagai subordinat,” kata psikolog yang juga pendiri Iris Harapan, lembaga pemberdayaan penyintas kekerasan dalam rumah tangga, Vitria Lazzarini Latief di Jakarta, Jumat (10/5/2024).
Konstruksi sosial ini membuat perempuan lebih sulit mengambil keputusan, termasuk dalam menyikapi kekerasan yang dialami. Mereka bingung dengan situasi yang terjadi, bahkan sulit memikirkan dan menyuarakan keadaannya. Mereka mengalami gaslighting atau dimanipulasi pasangannya sehingga meragukan persepsi, ingatan, dan kewarasannya.
Situasi itu juga membuat sebagian perempuan berpandangan bahwa kebahagiaan pasangan atau keberlanjutan relasi mereka menjadi tanggung jawab diri mereka sepenuhnya, bukan kewajiban bersama pasangan. Kepatuhan terhadap pasangan adalah utama. Kekerasan yang dilakukan pasangan juga dianggap wajar demi kebaikan diri mereka.
Meski tidak bisa dijadikan alasan pembenar, lanjut Vitria, perempuan yang lebih mudah menjadi korban kekerasan adalah perempuan yang rendah diri, sulit mengungkapkan gagasan, pikiran, atau perasaannya, dan cenderung menuruti kemauan orang lain. ”Perempuan yang tidak memiliki penghasilan, tingkat pendidikan rendah, dan sangat bergantung dengan pasangannya lebih rentan terhadap kekerasan,” katanya.
Pandangan masyarakat
Stigma masyarakat makin membebani perempuan. Kekerasan dalam rumah tangga atau relasi dianggap aib atau urusan pribadi yang tidak boleh diketahui orang lain. Perempuan dituntut mampu menyelesaikan persoalan itu sendiri meski kondisi mereka sudah terancam. Perempuan juga diminta untuk bisa menjaga relasi dan keluarganya meski menjaga dirinya sendiri saja sulit.
Tak jarang, perempuan yang justru disalahkan atas kondisi yang terjadi. Dituding tidak patuh suami, tidak bisa menjadi ibu yang baik, cewek gampangan, dan berbagai atribusi yang menyudutkan.
Baca juga: Saatnya Ciptakan Ruang Aman pada Perempuan
Pandangan yang menyudutkan perempuan itu membuat kepekaan masyarakat terhadap persoalan kekerasan perempuan lemah. ”Stigma membuat korban kekerasan umumnya baru sadar akan kekerasan yang dialaminya saat kekerasan yang terjadi sudah parah,” kata psikolog klinis yang juga dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya, Margaretha.
Pada saat bersamaan, ketika perempuan korban kekerasan itu berusaha meninggalkan relasi yang toksik, kekerasan yang mereka alami justru akan meningkat. Pelaku yang merupakan pasangan intimnya akan lebih reaktif dan melakukan segala cara untuk mempertahankan kontrolnya atas korban.
Akibatnya, perempuan harus menghadapi beban ganda akibat kekerasan yang dialaminya. Di satu sisi, dia mengalami kekerasan yang makin meningkat intensitasnya dan di sisi lain sudah dicap sebagai ”pendosa” oleh masyarakat. Sikap media dan warganet yang tidak peka jender juga bisa menjadi hukuman baru bagi korban kekerasan.
”Dalam masyarakat dengan budaya patriarki yang sangat kuat dan terus meningkatnya konservatisme, risiko perempuan mengalami kekerasan akan semakin besar,” tambahnya.
Menyedihkannya, lanjut Margaretha, kekerasan dalam rumah tangga itu umumnya akan menjadi rantai kekerasan antargenerasi. Orangtua yang mengalami kekerasan rentan mewariskan kekerasan itu kepada anaknya.
Baca juga: Kekerasan dan Praktik Berbahaya pada Perempuan Masih Tinggi
Pada banyak kasus, anak laki-laki yang melihat ibunya dipukul oleh bapaknya rentan menjadi pelaku kekerasan terhadap istrinya kelak. Meski dia bertekad tidak mau meniru kekerasan yang dilakukan ayahnya, dia secara tidak sadar telah belajar untuk menggunakan kekerasan sebagai alat untuk menyelesaikan masalah.
”Saat anak yang sudah menjadi dewasa dan berumah tangga itu marah, luka itu akan muncul dan mendorongnya untuk melakukan kekerasan serupa. Jika kemampuannya meregulasi emosi rendah, kemarahan itu akan dimuntahkan pada pasangannya,” katanya.
Baca juga: Tuntutan Menjadi Orangtua Sempurna Memicu ”Burnout”
Sebaliknya, anak perempuan yang melihat kekerasan yang dialami ibunya, rentan juga untuk menjadi korban kekerasan. Meki dirinya bertekad untuk mencari pasangan yang tidak suka kekerasan, pengalamannya di masa lalu membuatnya lebih permisif terhadap kekerasan sehingga menganggap kekerasan yang terjadi padanya adalah normal.
Perlindungan negara
Dalam kondisi masyarakat yang belum mendukung, perlindungan negara terhadap perempuan korban kekerasan masih sangat lemah. Menurut Vitria, belum semua kabupaten/kota memiliki pusat pelayanan terpadu pemberdaan perempuan dan anak. Selain itu, banyak laporan kekerasan perempuan ke aparat penegak hukum ditolak karena dinilai tidak cukup bukti, masih berupa ancaman atau belum terjadi kekerasan, hingga dianggap konflik rumah tangga yang bisa diselesaikan sendiri.
Hukuman terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga pun masih sangat ringan. Penerbitan surat penetapan perintah perlindungan korban kekerasan dari pengadilan sulit. Aplikasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga masih terbatas. Selain itu, penerapan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang relatif baru masih gamang.
Lemahnya kehadiran negara itu makin menempatkan perempuan dalam ancaman tinggi terhadap kekerasan. Catatan Tahunan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) 2023 mencatat ada 401.975 kasus kekerasan yang dilaporkan. Meski jumlah ini turun 12 persen dibanding tahun sebelumnya, itu bukan berarti kondisi perempuan lebih baik karena jumlah itu hanya berdasarkan kasus yang dilaporkan. Dari jumlah itu, kasus kekerasan dalam keluarga atau ranah personal paling banyak terjadi.
Kekerasan terhadap perempuan perlu segera dituntaskan. Untuk mencapai bonus demografi dan Indonesia Emas 2045, perempuan memiliki andil yang sama seperti laki-laki. Jika perempuan masih terjebak dalam tindak kekerasan, apalagi diwariskan antargenerasi, modal bangsa Indonesia untuk terus maju akan semakin terkikis.
Karena itu, kekerasan terhadap perempuan harus segara dituntaskan. Negara harus hadir dan tidak boleh gagal melindungi perempuan.