Pendidikan Inklusif, Strategi Wujudkan Pendidikan untuk Semua
Pendidikan untuk semua memastikan tiap anak mendapatkan layanan pendidikan berkualitas dengan pendidikan yang inklusif.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan inklusif sejatinya mengandung makna pendidikan antidiskriminasi bagi semua anak untuk mendapatkan layanan pendidikan berkualitas. Sesuai komitmen Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, mereka harus mendapatkan akses pada layanan pendidikan bermutu untuk mengoptimalkan tumbuh kembang dan menyambut masa depan yang lebih baik.
Sayangnya, pendidikan inklusif yang diterapkan sampai saat ini masih terbatas pada pemahaman untuk memastikan sekolah yang siap melayani anak-anak berkebutuhan khusus (ABK). Padahal, pendidikan inklusif juga harus memastikan semua anak dengan masalah sosial ekonomi, geografis, hingga kelompok marjinal mendapatkan layanan pendidikan tanpa hambatan.
”Pendidikan inklusif mesti dipahami sebagai strategi untuk mewujudkan pendidikan untuk semua atau education for all. Kita harus memastikan, anak penyandang disabilitas hingga anak dari masyarakat suku adat ataupun anak dari keluarga miskin ekstrem tidak ada hambatan untuk mendapatkan pendidikan. Ada tiga jalur pendidikan, yaitu formal, nonformal, dan informal. Ketiganya bisa dipilih anak untuk mendapatkan hak pendidikannya tanpa kendala,” kata pendiri Perkumpulan Keluarga Peduli Pendidikan, Yanti Sriyulianti, dalam webinar Kultur Parenting bertajuk ”Makna Inklusivitas” yang digelar Akademi Suluh Keluarga di Jakarta, Senin (15/4/2024).
Yanti mengatakan, hingga saat ini masih muncul miskonsepsi bahwa pendidikan inklusif untuk memastikan penyandang disabilitas bisa belajar di sekolah reguler sehingga sekolah memastikan tersedianya sarana dan prasarana yang aksesibel dan guru khusus.
”Memang anak penyandang disabilitas juga butuh dukungan lewat pendidikan inklusif karena baru di bawah 50 persen (dari mereka) yang dapat menikmati layanan pendidikan sesuai kondisi dan kebutuhan mereka. Namun, tiap sekolah juga tetap harus memastikan kelompok lain yang butuh dukungan agar mendapatkan layanan pendidikan prima sehingga semua anak dapat belajar dan menikmati pendidikan sesuai kebutuhan dan konteks keseharian mereka,” paparnya.
Yanti mengatakan, dalam praktik di lapangan, pendidikan masih lebih didominasi pengakuan terhadap sekolah formal. Akibatnya, pemerintah pusat hingga daerah juga mengatur pendidikan nonformal ataupun informal dengan syarat-syarat menyerupai pendidikan formal sehingga menimbulkan hambatan untuk mewujudkan pendidikan yang inklusif.
Sebagai contoh, di Kabupaten Kampar, Riau, ditemukan 539 anak disabilitas yang belum pernah bersekolah. Bahkan, ada 1.477 anak yang tidak melanjutkan sekolah setelah lulus SD dan tidak dapat menunjukkan rapor serta ijazah. Upaya pemerintah desa untuk memberikan hak pendidikan lewat pendidikan nonformal di pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) masih sulit karena terkendala syarat yang ditentukan Kemendikbudristek terkait pendirian PKBM yang sulit dipenuhi atau tidak fleksibel dengan kondisi di lapangan.
”Tidak semua anak mampu dan dapat ikut pendidikan formal. Karena itulah, dua jalur pendidikan lainnya semestinya dapat dioptimalkan untuk memastikan agar pendidikan inklusif bisa diakses anak sesuai kebutuhan dan kondisi mereka,” kata Yanti.
Masih terbatas
Secara terpisah, Koordinator Kelompok Kerja Pendidikan Inklusif, Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus, Kemendikbudristek, Meike Anastasia mengatakan, pendidikan inklusif salah satunya memastikan sekolah mampu melayani peserta didik berkebutuhan khusus. Berdasarkan data pada Desember 2023, ada 40.164 satuan pendidikan formal yang memiliki peserta didik ABK. Namun, hanya 5.956 satuan pendidikan (14,83 persen) yang memiliki guru pembimbing khusus.
”Semua anak berhak akan pendidikan yang berkualitas. Namun, hanya 64 persen dari perkiraan jumlah anak penyandang disabilitas yang bersekolah, berdasarkan Data Pokok Pendidikan (Dapodik) tahun 2023. Alasannya termasuk biaya, ketiadaan dukungan dalam pembelajaran atau learned helplessness, dan penolakan dari sekolah,” kata Meike.
Selain itu, seharusnya tersedia akomodasi pendidikan yang layak bagi peserta didik penyandang disabilitas. Kenyataannya, tidak semua pemerintah daerah memiliki peraturan, anggaran, dan penyediaan unit layanan disabilitas untuk mengakomodasi pendidikan yang layak bagi peserta didik penyandang disabilitas.
Pendidikan inklusif dapat diwujudkan dengan penerapan kurikulum yang dapat mengakomodasi pembelajaran bagi semua anak, termasuk peserta didik dengan disabilitas dan berkebutuhan khusus. ”Meskipun Kurikulum Merdeka selaras dengan prinsip inklusivitas, pada kenyataannya tidak semua sekolah dapat memberikan teaching at the right level dan pembelajaran berdiferensiasi untuk semua peserta didik,” kata Meike.
Terkait penyediaan guru dan tenaga kependidikan yang kompeten dalam melaksanakan pendidikan yang inklusif, hanya kurang dari satu persen dari keseluruhan pendidik di Indonesia yang telah mendapatkan pelatihan dalam penerapan pendidikan yang inklusif. Untuk itu, Kemendikbudristek menyediakan pengembangan pendidikan berjenjang pendidikan inklusif dari tingkat pendidikan anak usia dini hingga pendidikan menengah.
Kita harus memastikan, anak penyandang disabilitas hingga anak dari masyarakat suku adat, ataupun anak dari keluarga miskin ekstrem, tidak ada hambatan untuk mendapatkan pendidikan.
Pada jenjang dasar, guru diharapkan memiliki paradigma tentang pendidikan yang berpihak kepada semua murid, termasuk anak-anak berkebutuhan khusus. Pendidikan dilakukan secara daring mandiri lewat Platform Merdeka Mengajar (PMM).
Selanjutnya, pada tingkat lanjut, guru mampu memfasilitasi pembelajaran untuk semua peserta didik, termasuk peserta didik berkebutuhan khusus. Pendidikan dilakukan secara daring terbimbing melalui learning management system (LMS) PMM.
Untuk tingkat mahir, guru dapat berperan sebagai konsultan dalam pengembangan pembelajaran dan advokasi pendidikan yang inklusif. Pendidikan dilakukan secara luring dengan program magang dan uji kompetensi di akhir pelatihan.
Jumlah pendidik dan tenaga kependidikan yang telah mengakses pendidikan berjenjang pendidikan inklusif tingkat dasar per 31 Maret 2024 sebanyak 24.027 guru. Adapun yang sudah mengunggah aksi nyata sebanyak 1.130 guru.