Sekarang Makin Banyak Orang Muda Enggan Menikah
Penurunan angka pernikahan di Indonesia bisa terjadi akibat perubahan paradigma, khususnya dari aspek perempuan.
Angka pernikahan di Indonesia yang terus mengalami tren penurunan menjadi perbincangan hangat di media sosial beberapa hari terakhir. Salah satu akun merinci angka pernikahan sepanjang 2013-2023 dan tercatat tahun 2023 sebagai angka pernikahan terendah. Unggahan tersebut pun banyak mendapat tanggapan dan pandangan beragam.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, angka pernikahan di Indonesia mengalami penurunan yang signifikan sejak tahun 2018 sampai 2023. Tahun 2018, angka pernikahan tercatat 2,01 juta pasangan dan turun menjadi 1,96 juta pasangan pada 2019.
Setelah itu, angka pernikahan kembali turun pada 2020, yakni 1,78 juta pasangan, disusul tahun 2021 dengan 1,74 juta perkawinan, dan 2022 yang mencapai 1,70 juta pasangan. Angka perkawinan di Indonesia kembali turun hingga menjadi 1,58 juta pasangan pada 2023 atau mengalami penurunan sekitar 128.000 pasangan dibandingkan tahun sebelumnya.
Tren penurunan angka pernikahan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga beberapa negara lain. Tren ini jamak terjadi di negara maju di Asia, seperti Jepang dan Korea. Rendahnya minat warga terhadap pernikahan pada akhirnya memicu permasalahan terkait penurunan angka kelahiran dan krisis populasi di negara-negara tersebut.
Seperti dilansir The Japan Times, angka pernikahan di Jepang tahun 2023 mencapai 489.281 pasangan dan turun sekitar 30.000 atau 5,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Angka perkawinan tersebut merupakan yang terendah di Jepang sejak tahun 1933.
Menurut survei yang dilakukan The National Institute of Population and Social Security Tokyo, laki-laki dan perempuan di Jepang memiliki penurunan minat terhadap pernikahan. Tercatat 17,3 persen dari populasi pria dan 14,69 persen dari populasi perempuan di Jepang tidak memiliki minat untuk menjalin ikatan dalam pernikahan ataupun membangun keluarga.
Sejarawan lulusan Cambridge University, Katrina Gulliver, pernah menulis bahwa modernisasi telah mengubah kondisi dan status perempuan di Jepang. Dulu, unsur patriarki masih terasa kental dan wanita Jepang dilarang melakukan sesuatu atas kehendaknya sendiri sehingga mayoritas hanya menjadi seorang istri atau mengurus pekerjaan rumah.
Seiring berkembangnya zaman, cara pandang tersebut mulai luntur dan Jepang memberikan kebebasan kepada perempuan untuk melakukan berbagai hal, termasuk dalam karier. Hal inilah yang, menurut Gulliver, menjadi salah satu faktor perempuan lebih memilih bekerja daripada mengurus keluarga hingga menurunkan angka pernikahan dan kelahiran di Jepang.
Junya Tsutsui, sosiolog yang berfokus mengkaji sosiometri tentang pernikahan dan keluarga di Jepang dalam penelitiannya, menyebutkan, banyak perempuan Jepang yang lebih tertarik menikmati hidup sendiri selama masih muda. Tidak sedikit juga perempuan Jepang yang takut kehilangan pekerjaan dan tidak maksimal dalam bekerja setelah menikah.
Hasil penelitian lain dari Tsutsui juga memaparkan bahwa keluarga dapat turut menjadi faktor penurunan angka pernikahan di Jepang. Laki-laki dan perempuan yang tidak memiliki dukungan keluarga mempunyai lebih banyak kesulitan untuk menikah dibandingkan mereka yang lebih sering mendapat dukungan dari keluarga dalam berbagai aspek.
”Situasi kerja bagi generasi muda Jepang akhir-akhir ini cukup parah. Bahkan, mereka yang berpendidikan tinggi pun mungkin akan kesulitan hidup terpisah dari orangtuanya. Analisis peristiwa menunjukkan bukti bahwa mereka yang memiliki pengalaman hidup terpisah dari orangtua terlambat untuk menikah,” tulis Tsutsui dalam makalahnya yang berjudul ”Factors of Late Marriage: A Survival Analysis of Life Courses for Marriage in Japan”.
Otonomi perempuan
Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Drajat Tri Kartono, memandang, perubahan paradigma terkait pernikahan, khususnya dari aspek perempuan, seperti di Jepang dan negara lain saat ini juga terjadi di Indonesia. Perubahan paradigma ini muncul seiring perkembangan privatisasi dalam kehidupan sosial dan melemahnya ikatan moral maupun kepercayaan pada institusi keluarga.
Baca juga: Bukan Cinta yang Melanggengkan Pernikahan
Selain di Jepang, penelitian serupa untuk kasus di Indonesia juga telah dilakukan Drajat bersama peneliti lainnya yang berjudul ”Krisis Keluarga dalam Perkembangan Otonomi Perempuan”. Dalam riset ini, Drajat menyoroti perubahan relasi kuasa dalam keluarga hingga memicu perubahan paradigma, khususnya pada perempuan, terkait dengan pernikahan.
”Riset saya terkait otonomi perempuan menunjukkan perempuan semakin ingin mandiri dan diakui. Sebab, perempuan memiliki ketidakpercayaan yang cukup besar bila menyerahkan hidupnya kepada institusi keluarga dengan realitas seperti kekerasan dalam rumah tangga yang jumlahnya semakin tinggi,” ujarnya ketika dihubungi, Rabu (6/3/2024).
Hasil penelitian Drajat juga menyebutkan, hal yang lebih penting dari pernikahan bagi perempuan yakni karier atau pekerjaan. Setelah karier, perempuan menempatkan pendidikan dan rekreasi pribadi dalam aspek yang lebih penting dibandingkan menikah.
Menurut Drajat, perempuan melihat pernikahan sebagai sesuatu hal yang bisa menjamin kebahagiaan dan melindungi mereka. Inilah yang menjadi alasan bagi perempuan dalam studi Drajat memilih untuk tidak memprioritaskan pernikahan dalam kehidupan mereka.
Perempuan makin ingin mandiri dan diakui. Sebab, perempuan memiliki ketidakpercayaan yang cukup besar bila menyerahkan hidupnya kepada institusi keluarga dengan realitas seperti kekerasan dalam rumah tangga yang jumlahnya semakin tinggi.
”Melalui pernikahan, perempuan tidak bisa mengelola waktu dan uangnya sendiri sehingga membuat mereka tidak nyaman. Mereka kemudian membangun otonomi perempuan dengan hidup sendiri dan mandiri. Mereka akan menghubungi teman bila ingin bermain atau bersosialisasi,” tuturnya.
Pembentukan keluarga
Meningkatnya otonomi perempuan dan perubahan paradigma terhadap pernikahan ini pada akhirnya akan berimbas serta berpengaruh pada pembentukan keluarga. Hal ini karena secara sosiologis, posisi perempuan sangat strategis dalam keluarga, khususnya terkait dengan fungsi reproduksi atau memperbanyak keturunan.
”Ketika fungsi reproduksi itu dihindari akan menimbulkan permasalahan dan hal inilah yang terjadi di Jepang dan Korea Selatan. Perempuan yang menghindari pernikahan akan menjadi masalah bagi negara karena memutus generasi. Hal ini juga menyebabkan permasalahan komposisi demografi dan sumber daya manusia di sebuah negara,” ungkap Drajat.
Selain itu, dampak lainnya yang bisa terjadi dari pergeseran paradigma terkait pernikahan ini ialah berkembangnya keluarga kecil dan keluarga tunggal (single parent). Keberadaan keluarga tunggal ini nantinya tidak lagi melibatkan aturan sosial, tetapi tetap dilindungi oleh aturan hukum yang berlaku.
Terlepas dari perubahan paradigma ini, Drajat menekankan bahwa keluarga dan pernikahan secara formal tetap sangat dibutuhkan dalam tatanan sosial masyarakat. Keluarga dan pernikahan menjadi fondasi dari masyarakat untuk mewariskan nilai-nilai sosial, pertanggungjawaban terhadap hubungan seksual, dan upaya perlindungan.
Baca juga: Kapan Nikah... Kapan Nikah... Kapan Nikah...
”Permasalahan ini bisa diatasi, tetapi harus diiringi dengan perlindungan terhadap keluarga. Pemerintah dan masyarakat harus lebih peduli terhadap kesejahteraan keluarga dan jaminan sosial. Masyarakat akan terancam dan mudah kacau bila komunitas kecil, yaitu keluarga, tidak terjaga dengan baik,” katanya.
Pernikahan dan membangun keluarga memang hak setiap individu. Namun, satu hal yang pasti, keluarga yang utuh dan saling mendukung akan tetap selalu menjadi tempat yang paling aman dan nyaman untuk pulang ketika kaki mulai lelah menapaki perjalanan.