Sekolah Didorong Terapkan Kurikulum Merdeka Sebelum Jadi Kurikulum Nasional
Sejauh ini masih ada 27 persen sekolah yang belum menerapkan Kurikulum Merdeka, alias masih menggunakan Kurikulum 2013.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi atau Kemendikbudristek mendorong Kurikulum Merdeka menjadi kurikulum nasional yang akan diterapkan oleh semua satuan pendidikan pada tahun ajaran baru 2024/2025. Sekolah yang belum pernah menggunakan kurikulum merdeka didorong untuk segera menerapkannya.
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek Anindito Aditomo mengungkapkan, hingga saat ini masih ada 27 persen sekolah yang belum menerapkan kurikulum merdeka alias masih menggunakan kurikulum 2013. Padahal, dia mengklaim kurikulum merdeka lebih baik dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Data platform rapor pendidikan yang dibangun BSKAP Kemendikbudristek menunjukkan, hasil asesmen nasional memperlihatkan ada peningkatan capaian literasi pada tingkat SMP sederajat dari 2,68 saat menggunakan Kurikulum 2013 menjadi 7,15 pada sekolah yang sudah menerapkan Kurikulum Merdeka sejak tahun 2021. Pada tingkat SMA sederajat, capaiannya meningkat dari 3,15 menjadi 9,2.
”Terlihat jelas bahwa semakin lama sekolah menerapkan Kurikulum Merdeka, peningkatan literasi dan numerasinya itu juga semakin tinggi terutama kalau dibandingkan dengan yang masih menerapkan Kurikulum 2013,” kata Anindito di Kantor Kemendikbudristek, Jakarta, Selasa (5/3/2024).
Payung hukum berupa peraturan menteri sedang disiapkan untuk melegalkan Kurikulum Merdeka menjadi kurikulum nasional. Namun, dia memastikan penerapan Kurikulum Merdeka tetap akan bersifat sukarela sesuai dengan kesiapan sekolah. Kementerian hanya memberikan fasilitas mulai dari bahan hingga perangkat ajar.
Penyusunan permendikbudristek ini juga melibatkan sejumlah organisasi guru, praktisi pendidikan, hingga akademisi agar Kurikulum Merdeka yang ditetapkan sebagai kurikulum nasional menjadi kesepakatan bersama semua pihak. Setelah ada payung hukum, sebanyak 27 persen sekolah tersisa itu akan diberi waktu dua sampai tiga tahun untuk bertransisi dari Kurikulum 2013 ke Kurikulum Merdeka.
”Kita betul-betul tidak ingin ini sekadar pergantian administratif, ganti nama, ganti istilah, atau ganti dokumen, tetapi penerapannya itu harus bermakna karena tujuan dari semuanya adalah perbaikan pembelajaran,” tuturnya.
Sementara itu, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji yang ikut dalam uji publik permendikbudristek mengakui ada upaya baik pemerintah untuk menggandeng semua pihak dalam hal ini. Namun, dia mengkritisi proses dialog yang langsung membahas pasal per pasal tanpa membedah lebih jauh dasar pemikiran dari Kurikulum Merdeka.
”Justru ini rohnya, tetapi malah tidak ada. Kami sebagai peserta tidak tahu. Karena ketidaktahuan soal kerangka dasar kurikulum, konsepsi soal Kurikulum Merdeka ini tidak jelas. Bahkan, pada Pasal 1 juga tidak didefinisikan apa itu Kurikulum Merdeka,” kata Ubaid (Kompas.id, 20/2/2024).
Selain itu, draf permendikbudristek ini juga dinilai tidak menempatkan masyarakat sebagai bagian strategis dalam ekosistem pembelajaran di sekolah. Padahal, Kurikulum Merdeka memiliki konsep fleksibilitas yang fokus kepada peserta didik dengan pelibatan semua pihak dalam pendidikan.
Rapor pendidikan PAUD
Guna menuju Kurikulum Merdeka menjadi kurikulum nasional, Kemendikbudristek memperluas cakupan rapor pendidikan hingga ke satuan pendidikan anak usia dini (PAUD). Rapor pendidikan PAUD merupakan hasil dari Survei Lingkungan Belajar (Sulingjar) PAUD yang dapat dimanfaatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah daerah, sekolah, hingga orangtua, untuk membenahi proses belajar mengajar di sekolah.
Mendikbudristek Nadiem Makarim menjelaskan, rapor pendidikan merupakan inisiatif dari Merdeka Belajar yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi masalah, merefleksikan masalah, dan menentukan prioritas pembenahan. Dengan begitu, sekolah memiliki acuan untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan.
Penerapan Kurikulum Merdeka tetap akan bersifat sukarela sesuai dengan kesiapan sekolah. Kementerian hanya memberikan fasilitas mulai dari bahan hingga perangkat ajar.
Oleh karena itu, Nadiem meminta pemerintah daerah dan sekolah untuk segera menggunakan platform rapor pendidikan. Pemerintah daerah bisa menggunakannya untuk referensi perencanaan dan penganggaran daerah, serta untuk mengetahui sekolah yang perlu dibantu.
Termasuk juga bisa menjadi acuan pemerintah daerah untuk mengangkat kepala sekolah dan pengawas sekolah dari guru penggerak demi mendorong transformasi satuan pendidikan. Pihak sekolah juga diminta mencetak dan memasang poster rapor pendidikan mereka di lingkungan sekolah sebagai bentuk transparansi dengan siswa dan orangtua.
Sementara itu, orangtua harus mencermati perkembangan sekolah dengan rapor pendidikan. Jika nilainya kurang baik, bisa didiskusikan melalui komite sekolah. Pengawasan orangtua ini penting untuk pembenahan dan penciptaan lingkungan belajar yang aman dan kondusif.
”Peningkatan layanan pendidikan ini butuh dukungan dan kolaborasi dari semua pihak, mulai dari pemerintah daerah, satuan pendidikan, hingga orangtua sehingga proses pembenahan yang dilakukan lebih optimal,” tutur Nadiem.
Salah satu yang sudah memanfaatkan rapor pendidikan adalah Sekolah Haraki Preschool Depok, Jawa Barat. Kepala sekolah Haraki Preschool Eka Annisa mengungkapkan, dengan rapor pendidikan, mereka bisa mengidentifikasi masalah karena di sekolah mereka masih banyak guru yang bukan berlatar pendidikan guru PAUD.
”Monitoring evaluasi yang dulu masih minor, sekarang refleksinya lebih detail. Jadi, kami tahu apa yang harus kami perbaiki. Dari rapor pendidikan itu, kami membuat lokakarya, komunitas belajar, memanggil narasumber, dan sebagainya,” kata Eka.