Kelayakan Kurikulum Merdeka Jadi Kurikulum Nasional Dikritisi
Kurikulum nasional memerlukan naskah akademik yang baik dan lengkap. Kurikulum Merdeka dinilai belum layak.
JAKARTA, KOMPAS — Kelayakan Kurikulum Merdeka menjadi kurikulum nasional tahun 2024 untuk menggantikan Kurikulum 2013 dipertanyakan. Kurikulum Merdeka dinilai masih compang-camping dan terdapat sejumlah kelemahan yang harus diperbaiki.
Direktur Eksekutif Barisan Pengkaji Pendidikan (Bajik) Dhitta Puti Sarasvati, Minggu (25/2/2024), di Jakarta, mengatakan, tekad Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk segera mengesahkan Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum nasional dinilai tergesa-gesa sehingga perlu dikritisi. Ia menilai Kurikulum Merdeka belum layak menjadi kurikulum nasional sehingga harus dievaluasi secara total dan menyeluruh.
”Kurikulum Merdeka belum layak menjadi kurikulum resmi nasional. Hal yang paling esensi yang harusnya ada dalam kurikulum resmi malah belum ada, yakni kerangka kurikulumnya,” ucap Puti.
Baca juga: Payung Hukum Kurikulum Merdeka sebagai Kurikulum Nasional Disiapkan
Menurut Puti yang juga dosen pendidikan, kurikulum resmi nasional apa pun harus berdasarkan filosofi pendidikan dan kerangka konseptual yang jelas. Filosofi pendidikan dan kerangka konseptual ini harus tertuang di dalam naskah akademik. Di naskah akademik juga perlu dijelaskan berbagai argumen-argumen lain mengenai dasar-dasar pemikiran terkait Kurikulum Merdeka.
”Sampai saat ini, Kurikulum Merdeka belum ada naskah akademiknya. Tanpa adanya naskah akademik ini sulit untuk memahami apa yang menjadi dasar pemikiran dari Kurikulum Merdeka,” kata Puti.
Puti menjelaskan, kurikulum resmi biasanya terdiri atas beberapa komponen. Misalnya filosofi kurikulum (melingkupi tujuan kurikulum dan prinsip-prinsip dasar kurikulum), kerangka kurikulum (secara keseluruhan), dan bidang studi.
Setiap bidang studi harus ada tujuan (lintas kelas), kerangka bidang studi, tujuan pembelajaran umum (di dalam Kurikulum Merdeka disebut capaian pembelajaran/CP) yang biasanya mencakup tujuan pembelajaran dalam 1 atau 2 tahun, dan tujuan pembelajaran instruksional, yang menjadi acuan dalam perancangan kegiatan harian.
”Ketika awal Kurikulum Merdeka diluncurkan, bagian-bagian paling esensial, yakni filosofi prinsip-prinsip dasar kurikulum, kerangka kurikulum belum dibuat. Karena itu, Kurikulum Merdeka harus dievaluasi secara menyeluruh sebelum diresmikan menjadi kurikulum nasional,” tutur Puti.
Pada dasarnya guru profesional punya hak untuk menginterpretasi kurikulum apa pun, termasuk yang sudah menyediakan tujuan pembelajaran instruksional ini.
Puti menilai Kurikulum Merdeka baru dalam tahap uji coba dan sebagai kurikulum operasional saja. Sebagai kurikulum, Kurikulum Merdeka dinilai belum lengkap. Kurikulum ini baru memiliki dokumen CP, buku teks, dan beberapa panduan seperti panduan pengembangan Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (KOSP), dan panduan Penguatan Profil Pelajar Pancasila.
Belum lengkap
Puti menilai Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum resmi sebenarnya belum lengkap. ”Bukan berarti tidak bisa dipakai. Untuk CP bisa saja digunakan oleh guru dalam merancang pembelajaran. Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila pun bisa saja digunakan sebagai acuan dalam merancang projek. Tetapi, secara dokumen kurikulum resmi, saya menganggap Kurikulum Merdeka belum selesai,” ujarnya.
Lebih lanjut, Puti memaparkan, para pemerhati pendidikan yang tergabung di Bajik sudah membandingkan CP Kurikulum Merdeka dengan beberapa tujuan pembelajaran umum dalam kurikulum lain. Hasilnya, CP yang ada bisa digunakan, tapi masih perlu disempurnakan lagi agar lebih mudah dipahami oleh guru. Kerangka bidang studi per mata pelajaran ada yang sudah baik ada yang sepertinya masih perlu direvisi.
Di dalam Kurikulum Merdeka disediakan CP yang pada dasarnya sama dengan apa yang disebut dengan tujuan pembelajaran umum, yaitu berupa tujuan pembelajaran yang perlu dicapai siswa dalam waktu dua tahun (setiap fase). Kurikulum Merdeka dinilai aneh karena tidak menyediakan tujuan pembelajaran instruksional (di kurikulum Merdeka disebut Tujuan Pembelajaran).
Di dalam Kurikulum Merdeka, guru harus mendefinisikan sendiri tujuan pembelajaran. ”Sebenarnya sah-sah saja begitu, dengan syarat semua guru Indonesia sudah dibekali pengetahuan dan keterampilan yang mumpuni untuk menerjemahkan CP. Faktanya, masih banyak guru yang kesulitan dalam hal ini,” kata Puti.
Puti mempertanyakan mengapa Kurikulum Merdeka tidak menyediakan Tujuan Pembelajaran Instruksional. Di beberapa kurikulum sejumlah negara, misalnya di dalam kurikulum Ontario, Australia, Singapura, dan Hong Kong, tujuan pembelajaran instruksional didefinisikan dengan jelas. Keberadaannya bukan sebagai kebenaran mutlak yang harus diikuti guru, tetapi sebagai acuan. Dengan demikian, guru dapat menggunakannya untuk merancang asesmen dan kegiatan pembelajaran.
Baca juga: Implementasi Kurikulum Merdeka secara Mandiri Dibagi Tiga Kategori
”Pada dasarnya guru profesional punya hak untuk menginterpretasi kurikulum apa pun, termasuk yang sudah menyediakan tujuan pembelajaran instruksional ini,” papar Puti.
Melihat kondisi Kurikulum Merdeka yang belum lengkap, Kemendikbudristek diminta tidak memaksakan kurikulum operasional itu sebagai kurikulum nasional. ”Kalau hanya sekadar digunakan, Kurikulum Merdeka bisa saja digunakan. Namun, sebagai kurikulum resmi nasional, Kurikulum Merdeka perlu banyak penyempurnaan. Kurikulum Merdeka perlu dievaluasi secara total, diperbaiki, dan bahkan apabila memungkinkan beberapa detail dalam kurikulum perlu dipetakan dan diredefinisikan kembali,” kata Puti.
Ditambahkan Puti, pemerintah perlu serius dalam mempersiapkan sekolah dan semua guru agar siap memahami, menginterpretasi, dan mengkritisi kurikulum resmi apa pun. Hal ini bisa menjadi dasar dalam merancang kurikulum operasional sendiri yang sesuai konteks dan kebutuhan sekolah maupun kelasnya.
”Artinya, guru perlu punya kesempatan mempelajari pengetahuan dan keterampilan untuk menggunakan kurikulum resmi apa pun secara kritis. Bukankah hal ini yang juga dicita-citakan sejak adanya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau KTSP,” kata Puti.
Seperti diberitakan Kompas sebelumnya, penerapan Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum nasional pada Tahun Ajaran 2024/2025 disiapkan dengan payung hukum Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tentang Kurikulum Merdeka. Uji publik payung hukum ini dilakukan pada Februari yang dihadiri oleh 152 perwakilan pemangku kepentingan pendidikan dari daerah-daerah di Indonesia. Para peserta berasal dari unsur kepala satuan pendidikan, pendidik, dinas pendidikan dan pengawas, yayasan penyelenggara pendidikan, organisasi masyarakat, Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), dan mitra pendidikan.
Baca juga: Kurikulum Merdeka, Kurikulum yang Membahagiakan
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, saat paparan dalam uji publik, Kemendikbudristek menegaskan Kurikulum Merdeka memiliki fokus pada pengembangan karakter, fleksibilitas mata pelajaran, hingga mengurangi materi akademik. Kurikulum Merdeka ini sudah diujicobakan di beberapa sekolah.
”Tapi kenyataannya ada banyak yang keliru antara rancangan besar atau grand design dengan implementasi di lapangan. Akibatnya ya fatal, tidak terjadi perubahan di level peserta didik,” kata Ubadi.
Ia pun menyayangkan draf payung hukum Kurikulum Merdeka yang diuji publik malah tidak dilampirkan kerangka konseptual serta strategi implementasinya. Hal ini dibutuhkan karena kerangka konseptual merupakan desain dari kurikulum ini.
Pengembangan bertahap
Sebelumnya, Kepala BSKAP Anindito Aditomo menjelaskan, permendikbudristek yang sedang dirancang merupakan bagian dari pengembangan dan penerapan Kurikulum Merdeka secara bertahap. Pengembangan Kurikulum Merdeka dilakukan sejak awal 2020 dan diterapkan secara terbatas di sekitar 3.000 sekolah penggerak pada 2021.
Kemudian, di tahun berikutnya hingga saat ini implementasinya dilaksanakan secara sukarela. Meskipun belum resmi menjadi kurikulum nasional, Kurikulum Merdeka diklaim dipakai lebih dari 300.000 satuan pendidikan atau sekitar 80 persen.
”Regulasi ini akan memberi kepastian bagi semua pihak tentang arah kebijakan kurikulum nasional. Setelah permendikbudristek ini terbit, sekitar 20 persen satuan pendidikan yang belum menerapkan Kurikulum Merdeka akan memiliki waktu dua tahun untuk mempelajari dan kemudian menerapkannya,” tutur Anindito.