Sekali Selingkuh, Akan Kembali Selingkuh
Tukang selingkuh itu nyata. Orang yang pernah selingkuh berpotensi tiga kali lebih besar untuk selingkuh lagi.
Sepanjang tahun 2023, kasus perselingkuhan banyak diunggah di media sosial, baik yang dilakukan masyarakat biasa maupun figur publik. Meski sudah banyak kasus perselingkuhan diungkap di publik yang membuat pelakunya dihujat, dipermalukan, hingga diberhentikan dari pekerjaan, hal itu tidak mengurungkan niat sebagian orang untuk terus berselingkuh.
Salah satu kasus yang viral di akhir 2023 adalah perselingkuhan di tempat kerja yang melibatkan profesi tertentu. Percakapan dan kata-kata godaan melalui sebuah aplikasi antara pasangan ”cinta terlarang” itu tersebar luas di berbagai media sosial. Menurut istri yang diselingkuhi, suaminya sudah tepergok lima kali selingkuh dengan perempuan yang sama dan sekali dengan orang berbeda.
Meski laki-laki dan perempuan sama-sama bisa selingkuh, hambatan bagi perempuan untuk memulai perselingkuhan lebih besar, baik selingkuh dalam tataran emosi maupun selingkuh yang melibatkan aktivitas seksual.
”Perselingkuhan berulang bukan monopoli satu jenis kelamin tertentu,” kata peneliti perilaku seksual laki-laki dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma, Depok, Wahyu Rahardjo, di Jakarta, Senin (8/1/2024).
Baca juga: Praktik Perselingkuhan di Tengah Masyarakat Urban yang Berujung Fatal
Pria lebih mudah berselingkuh karena mereka adalah makhluk pencari perhatian dan seks. Laki-laki mengekspresikan cinta mereka dengan cara-cara yang lebih melibatkan fisik dan jarang melibatkan kata-kata atau tindakan yang membangkitkan emosi. Bagi laki-laki, seks adalah jalan utama menuju keterhubungan dan keintiman. Kalaupun ada emosi terlibat, itu hanya bonus.
Akibatnya, seperti ditulis Sheri Stritof, salah satu penulisThe Everything Great Marriage Book (2004), dalam tulisannya di Very Well Mind, 3 November 2023, penolakan ajakan berhubungan seksual dari pasangan bisa diartikan laki-laki sebagai rasa tidak dicintai. Perasaan tidak aman ini menjadi salah satu pemicu terjadinya perselingkuhan.
Sementara bagi perempuan, selingkuh sering kali dilakukan untuk mengisi kekosongan emosional. Perasaan ”terputus” dengan pasangannya, tidak dihargai atau diabaikan, hingga tidak terpenuhinya rasa yang diinginkan membuat sebagian wanita berusaha mencari keintiman emosional melalui hubungan di luar pernikahan.
”Bagi perempuan, perselingkuhan sering dijadikan jalan untuk mengakhiri sebuah hubungan dengan bantuan selingkuhannya,” tulisnya.
Meski demikian, reaksi laki-laki dan perempuan terhadap perselingkuhan pasangannya berbeda. Studi Mons Bendixen dan rekan di jurnal Personality and Individual Differences, November 2015, menemukan, laki-laki akan marah jika pasangannya selingkuh secara seksual. Sebaliknya, perempuan akan marah jika pasangannya selingkuh dengan melibatkan emosi.
Baca juga: Monogami Itu Tidak Alamiah
Uniknya, perbedaan respons kecemburuan laki-laki dan perempuan terhadap perselingkuhan pasangannya itu terjadi di negara yang sangat menghargai kesetaraan jender, seperti Norwegia. Psikologi evolusi memberi jawaban atas perbedaan sikap ini.
Menurut Bendixen, ancaman terbesar bagi perempuan bukanlah pasangan laki-lakinya yang berhubungan seks dengan perempuan lain, tetapi laki-laki yang menghabiskan waktu dan sumber dayanya untuk perempuan lain. Jika perempuan tidak sensitif dengan persoalan ini, maka dia harus siap-siap untuk membesarkan keturunannya sendiri. Sebaliknya, bagi laki-laki yang cuek ketika pasangannya berhubungan seksual dengan orang lain, maka dia akan mewariskan genetiknya lebih sedikit kepada anak-anaknya.
Berulang
Bagi pasangan yang sudah menikah, banyak alasan yang menjadi sebab terjadinya perselingkuhan. Masalah perkawinan sering menjadi kajian utama, seperti ketidakterhubungan secara fisik dan emosional dengan pasangan, rendahnya kecocokan, atau tekanan keuangan. Buruknya komunikasi, kurangnya penghormatan terhadap pasangan, hingga kekerasan dalam rumah tangga juga bisa menjadi pemicu.
Namun, perselingkuhan juga bisa dipicu oleh masalah-masalah pribadi yang akhirnya berdampak pada pasangannya. Kecanduan alkohol dan obat-obatan terlarang, kecanduan seks, trauma masa kecil seperti diabaikan, gangguan mental tertentu semisal bipolar, hingga gangguan kepribadian terutama narsistik yang membuatnya sulit berempati bisa mendorong perselingkuhan. Anak korban perselingkuhan orangtua di masa lalu dan pengalaman selingkuh sebelumnya juga meningkatkan risiko perselingkuhan.
Studi Kayla Knopp dan rekan yang dipublikasikan di Archives of Sexual Behavior, November 2017, menunjukkan, orang yang selingkuh secara seksual berpotensi tiga kali lebih besar untuk selingkuh kembali pada hubungan berikutnya.
Baca juga: Paradoks Perselingkuhan
Sebaliknya, seseorang yang tahu pasangannya berselingkuh berpotensi dua kali lebih besar untuk melakukan perselingkuhan yang sama pada hubungan berikutnya. Selain itu, orang yang mencurigai pasangannya selingkuh berpeluang empat kali lebih besar untuk mencurigai pasangan barunya juga berselingkuh.
Karena itu, riwayat perselingkuhan sebelumnya akan menjadi faktor risiko besar terjadinya perselingkuhan lagi pada hubungan berikutnya. ”Ungkapan ’sekali selingkuh, akan selalu selingkuh’ sepertinya lebih dari sekadar dongeng masa lalu,” tambah Stritof.
Pria lebih mudah berselingkuh karena mereka adalah makhluk pencari perhatian dan seks.
Sedihnya, hal ini juga berlaku pada anak-anak korban perselingkuhan. Riset Dana A Weiser dan rekan yang diunggah di Journal of Family Issues, 22 April 2015, menunjukkan, anak-anak yang menjadi korban perselingkuhan berpotensi dua kali lebih besar untuk melakukan perselingkuhan dalam hubungan mereka saat dewasa.
Meski solusi dari perselingkuhan sangatlah kompleks, tidak sekadar cerai atau memaafkan dan menata kembali hubungan dan keluarga, perselingkuhan yang berulang hingga enam kali dalam satu hubungan pernikahan sangatlah unik. Karena itu, Wahyu menilai pemicu dari perselingkuhan berulang adalah faktor personal, bukan akibat perkawinannya.
Menurut Wahyu, lelaki yang berselingkuh hingga berkali-kali memiliki tipe cinta eros dan ludus. Eros adalah tipe cinta yang penuh gairah, sedangkan ludus menunjukkan orang tersebut suka bermain-main alias tidak ingin terikat dalam komitmen. Karena itu, orang dengan tipe cinta ludus biasanya memiliki pasangan seksual lebih dari seorang.
”Orang yang gemar berselingkuh juga memiliki komitmen moral rendah, baik untuk menjaga keutuhan perkawinannya atau bersetia pada pasangannya,” katanya.
Selain itu, orang dengan banyak pasangan seksual biasanya manipulatif dan jago merayu. Dia gampang meluluhkan hati wanita. Dia juga mampu meyakinkan perempuan lain untuk diajaknya menjalin ”hubungan terlarang” meski sang perempuan itu tahu bahwa pria yang mengajaknya bermain api sudah beranak-istri.
Sang laki-laki peselingkuh tak hanya sukses membuat perempuan itu merasa nyaman, tetapi berhasil membuatnya merasa aman bahwa hubungan mereka akan terjaga, tidak dirongrong istri sah, dan tidak akan memengaruhi pekerjaan ataupun posisinya dalam pergaulan sosial.
Baca juga: Bukan Cinta yang Melanggengkan Pernikahan
Sebaliknya, sang laki-laki peselingkuh bisa tetap bersikap manis dengan anak dan istrinya. Saat di rumah, dia tetap menjadi kepala keluarga yang penyayang dan tidak menelantarkan keluarganya. Petualangan seksualnya dilakukan sekadar untuk mencari kepuasan seksual, bukan untuk menyakiti keluarganya.
”Dia berusaha mencari perempuan lain yang bisa diajaknya bersenang-senang atau mengeksplorasi seksual bersama. Laki-laki tipe ini tidak mencari kenyamanan emosional,” tambahnya.
Namun, saat sang player alias ”pemain” ini sudah bosan dengan satu orang selingkuhan, dia akan mencari perempuan lain untuk terus memburu dan mengeksplorasi kesenangan yang baru. Sulit untuk menghentikan perilakunya, termasuk pernikahan atau memiliki anak. Baginya, seks hanyalah soal kesenangan dan kepuasan, tanpa ada kaitan dengan emosi atau perasaan.
Bagaimanapun, lanjut Wahyu, seks adalah dorongan purba, dorongan yang berasal dari binatang dan menjadi sarana manusia untuk bertahan hidup dan berketurunan. Namun, sebagian orang kesulitan mengendalikan dorongan seksualnya yang berlebih sehingga berperilaku berisiko, tidak setia, sulit berkomitmen, dan gemar mempermainkan orang lain dalam urusan seksual.
Sok jadi korban
Peselingkuh kambuhan ini umumnya juga suka bersikap sebagai korban (sense of victim). Dia cenderung menyalahkan pasangannya karena dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan seksualnya dan sulit diajak untuk mengeksplorasi hal-hal baru sehingga membuatnya mudah bosan. Baginya, mencari tantangan dan risiko baru dalam urusan seksual itu jauh lebih menggairahkan.
Dalam urusan penyebab perselingkuhan ini, ada dua mazhab pemikiran yang berkembang. Kelompok pertama memandang pemicu terjadinya perselingkuhan hanya orang yang berselingkuh dan pasangannya tidak memiliki andil apa pun atas perselingkuhan itu. Kecurangan dan ketidaksetiaan yang dilakukan seseorang adalah tanggung jawab personal orang yang berselingkuh.
Sementara kelompok lain memandang seseorang tetap memiliki peran atas perselingkuhan yang dilakukan pasangannya. Bagaimanapun, sebuah hubungan membutuhkan kerja sama, penghormatan, kepedulian, hingga hubungan timbal balik antarindividu. Sebuah hubungan butuh komitmen, empati, pengendalian diri, serta negosiasi atas hal-hal yang diinginkan bersama.
”Namun, apa pun kekurangan pasangan atau hal-hal yang diinginkan dari pasangan tetapi tidak bisa terwujud, hal itu tidak bisa dijadikan alasan pembenar terjadinya perselingkuhan,” kata psikolog anak dan keluarga Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Anna Surti Ariani.
Dari kacamata perkawinan, lanjut Anna, selingkuh berulang dipicu oleh munculnya persoalan dalam perkawinan yang tidak pernah tuntas diselesaikan. Sumbernya bisa dari perkawinan yang tidak menyenangkan, komunikasi dangkal, atau tidak ada lagi kesamaan tujuan membangun keluarga.
Baca juga: Monogami Seksual ala Penguin
Hubungan seks yang hambar atau relasi yang tak lagi romantis, khususnya saat anak mulai lahir atau anak sudah beranjak remaja, juga bisa memicu perselingkuhan. Seseorang mungkin sudah merasa terpenuhi kebutuhan seksualnya, tetapi pasangannya bisa jadi belum. Selain itu, meski usia terus bertambah, seseorang tetap butuh merasa disanjung, dikagumi, dan dibutuhkan oleh pasangannya.
Ketika semua masalah itu tidak pernah terselesaikan dan seolah-olah bisa terlupakan seiring waktu atau ditutupi oleh pengalaman baru yang menyenangkan, maka kondisi itu bisa memicu perselingkuhan berulang.
Persoalannya, sebagian orang tidak memiliki keterampilan memadai untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Karena itu, bantuan terapis seksual, profesional kesehatan jiwa, atau orang yang dianggap mampu menangani persoalan tersebut penting baik untuk memperbaiki kondisi rumah tangga maupun mengendalikan dorongan seksual berlebih yang memicu selingkuh berulang. Pada proses ini, peran pasangan atau keluarga menjadi sangat berarti.
”Butuh motivasi kuat untuk bisa berhenti selingkuh,” kata Wahyu. Ingat, berbagai kerumitan masalah akibat selingkuhmu saat ini tidak hanya berdampak pada pasangan dan anakmu sekarang, tetapi juga bisa berdampak pada pasangan barumu nanti, bahkan terhadap anak-anakmu kelak saat mereka berumah tangga.
Jadi, masih berani berselingkuh demi mengejar kenikmatan sementara? Walaupun kamu suka mengambil risiko, tetaplah setia dengan pasanganmu dan jangan pernah dekat-dekat dengan perselingkuhan.