Jalan Panjang Membenahi Sistem Pendidikan
Transformasi pendidikan harus serius dilakukan dengan tidak muluk-muluk dan berkesinambungan.
Hasil skor Programme for International Student Assessmentatau Program Penilaian Pelajar Internasional atau PISA 2022 yang diumumkan awal Desember 2023 lalu menempatkan sistem pendidikan Indonesia belum setara dengan negara-negara maju. Hal ini harus dibenahi secara serius.
Sejatinya, pendidikan merupakan tumpuan untuk memastikan semua warga negara menguasai kemampuan dasar yang relevan dengan tuntutan zaman. Hasil pengukuran PISA dapat menjadi dasar untuk mereformasi sistem pendidikan secara berkelanjutan.
Mengacu pada hasil Asesmen Nasional (AN) yang juga mengevaluasi sistem pendidikan dari tingkat satuan pendidikan, daerah, dan nasional, Indonesia masih berjuang untuk membenahi kualitas dan relevansi sistem pendidikannya. Penguasaan kemampuan dasar literasi, numerasi, dan karakter yang belum memuaskan. Ekosistem pendidikan mulai dari lingkungan belajar, kualitas guru, hingga komitmen pemerintah/pemerintah daerah pada pendidikan bermutu dan inklusif juga belum selaras dan merata.
Baca juga: PISA 2022 dan Refleksi Pendidikan Indonesia
Ketertinggalan pendidikan pun kemudian tidak hanya soal urusan meningkatkan praktik pembelajaran bermutu dan menyenangkan oleh guru. Masalah-masalah nonakademik yang disebut Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Pendidikan Nadiem Anwar Makarim sebagai tiga dosa besar pendidikan, yakni kekerasan seksual, perundungan, dan toleransi, juga masih membelenggu sistem pendidikan.
Berubahnya lanskap dunia pendidikan akibat digitalisasi dan pandemi Covid-19 membuat kita memerlukan kontrak sosial baru terkait pembelajaran dan hubungan antara siswa, guru, pengetahuan, dan dunia. Sistem pendidikan harus mampu memperkuat kapasitas tiap individu mengantisipasi perubahan masa depan.
Mengatasi ketertinggalan
Sejak tahun 2019, pemerintah menawarkan transformasi pendidikan dengan Merdeka Belajar. Berbagai episode Merdeka Belajar digulirkan agar transformasi sistem pendidikan yang mendasar, menyeluruh, dan memafaatkan teknologi digital mampu mengatasi ketertinggalan. Setelah empat tahun bergulir, Kemendikbudristek pun semakin yakin Merdeka Belajar menjadi pijakan untuk membuat ekosistem pendidikan bergerak bersama, menjadikannya gerakan untuk menuju perubahan yang bermakna dan berkelanjutan.
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek Anindito Aditomo mengatakan, biasanya transformasi atau inisiatif reformasi dilakukan secara terfragmentasi. Namun, Merdeka Belajar menawarkan reformasi yang holistik atau komprehensif.
”Jadi, tidak mengutak-atik kurikulum atau asesmen secara terpisah, tetapi diselaraskan. Juga tidak cuma mengubah dua hal ini, tetapi cara merekrut guru, merekrut dan melatih kepala sekolah, hingga memberi dana bantuan operasional sekolah,” kata Anindito.
Anindito menuturkan, Merdeka Belajar dimulai dengan meluncurkan Asesmen Nasional (AN) di tahun 2019 untuk mengajak semua pihak melihatnya sebagai bagian dari keseluruhan upaya yang lebih sistemik. Alasannya, syarat pertama setiap perubahan sistemik adalah kesepakatan dan kejelasan arah perubahan.
Pemanfaatan hasil AN yang dikembalikan ke satuan pendidikan dan daerah dalam bentuk Rapor Pendidikan memang menghadapi tantangan. ”Ini harus pelan-pelan, memang tidak serta-merta punya kapasitas sama untuk menggunakan data ini. Tapi, sudah banyak praktik baik yang kami lihat,” ujar Anindito.
Baca juga: Mendaki Jalan Menuju Pendidikan Berkualitas dengan Tidak Muluk-muluk
Keyakinan pada transformasi pendidikan yang berdampak dan relevan juga diwujudkan dengan mengubah Kurikulum 2013 menjadi Kurikulum Merdeka. Pada kurikulum baru, pembelajaran bukan lagi berfokus pada keluasan pengetahuan, tetapi pada apa yang bisa dilakukan siswa dengan pengetahuan. Kurikulum juga didesain agar guru punya waktu mengajarkan penalaran dan karakter.
Terkait keberlanjutan Merdeka Belajar, Nadiem yakin semua pendidik di seluruh Indonesia akan terus menjalankannya. ”Saya yakin bahwa ibu dan bapak guru sebagai nakhoda tidak mau membalikkan lagi arah kapal Merdeka Belajar. Keyakinan ini tumbuh dari hal-hal yang berhasil kita capai bersama dalam empat tahun terakhir,” ujar Nadiem saat upacara peringatan Hari Guru Nasional 2023.
Tidak muluk-muluk
Transformasi pendidikan Indonesia yang kini bergeser pada kualitas, kata Direktur Riset, Program Research on Improving System of Education (RISE) Profesor Lant Pritchett, harus berani fokus pada hal esensial dan tidak muluk-muluk. Sistem pendidikan saat ini tidak akan mampu membawa Indonesia naik ke level berikutnya jika tidak fokus pada hal-hal prinsip dan berkelanjutan.
Perjalanan sistem pendidikan Indonesia sejak kurun 1970-an yang fokus meningkatkan akses dan partisipasi memang terbilang sukses. Meski begitu, kini, Indonesia harus naik level untuk memastikan siswa menguasai keterampilan dasar. Sebab, lama belajar siswa di kelas dan tingkat kehadiran guru yang tinggi di sekolah belum menjamin terjadi proses belajar bermutu yang membuat siswa paham hal-hal dasar.
Menurut Pritchett, ada lima aksi yang harus serius dilakukan yang meliputi komitmen pada fondasi belajar, mengukur pembelajaran untuk memberi umpan balik, menyelaraskan sistem, mendukung pengajaran, serta mengadaptasi kebijakan dan praktik guna mencapai kemajuan berkelanjutan sesuai konteks lokal.
”Meskipun lima aksi ini lazim diketahui, sering tidak dilakukan dalam sistem pendidikan dan menuntut perubahan yang mendalam untuk mencapai dan mengimplementasikannya,” kata Pritchett.
Sementara itu, Direktur Program Inovasi Mark Heyward menambahkan, dari hasil studi yang tertuang dalam buku Bangkit Lebih Kuat: Studi Kesenjangan Pembelajaran, ada sejumlah faktor pembeda yang menentukan pemulihan dan transformasi pendidikan di sekolah. Capaian yang baik bergantung pada kepemimpinan kepala sekolah, penyesuaian praktik mengajar oleh guru, motivasi intrinsik guru, dan dukungan pihak lain (pemerintah, guru lainnya, lembaga swadaya masyarakat, dan orangtua siswa).
Sekolah hanya mengisi sepertiga ruang kesadaran pelajar.
”Transformasi pendidikan yang sudah berjalan membutuhkan waktu dan sudah pada arah yang tepat sambil terus disesuaikan. Komitmen politik nanti justru harus bisa mempercepat dan memperbaiki yang masih belum tepat,” ujar Mark.
Kepala Bidang Advokasi Guru, Perhimpunan Pendidikan dan Guru, Iman Zanatul Haeri, menuturkan, banyak program dan kebijakan untuk mereformasi sistem pendidikan. Sayangnya, implementasi selalu jadi masalah. Sebab, pendekatannya sering kali dengan ”tekanan” atau ”paksaan”. Sekolah ditekan secara vertikal-formalistik agar melakukan berbagai kebijakan dengan pola kementerian menekan dinas, kemudian dinas menekan pengawas dan sekolah.
Salah satu contohnya, penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan. Wujud nyata implementasi ini bersilang kusut dengan kegiatan sekolah, pelatihan guru, dan jadwal akademik yang sudah direncanakan sejak awal tahun ajaran baru. Selain itu, tidak pernah dipikirkan bagaimana implementasi ini dari sisi anggaran. Pada akhirnya, sekolah hanya mengadakan seminar antikekerasan atau menempelkan pernyataan deklarasi diri sebagai ”sekolah ramah anak” atau ”sekolah anti-bullying (perundungan)” semata.
Imam mengatakan, dari kacamata yang lebih luas, para pelajar kita adalah produk lingkungannya. Sekolah hanya mengisi sepertiga ruang kesadaran pelajar. Merujuk Ki Hadjar Dewantara, diperlukan Tripusat Pendidikan agar proses pendidikan berjalan maksimal, yaitu pendidikan sekolah, keluarga, dan masyarakat.
”Ironisnya, sekolah menanggung semua beban tersebut ketika keluarga dan masyarakat tidak hadir dalam mendidik pelajar kita,” ujar Imam.