Sumbangan AI cukup signifikan dalam mengefisienkan dukungan proses produksi dan konsumsi informasi.
Oleh
Bestian Nainggolan, Anggota Ombudsman ”Kompas”
·4 menit baca
Layaknya kemunculan kreasi teknologi baru yang mengundang pro dan kontra, kehadiran dan pemanfaatan artificial intelligence atau AI dalam pola kerja jurnalistik juga tidak luput dari perdebatan. Ruang publik yang menjadi arena kerja jurnalistik tak lagi berisi realitas hasil interaksi sosial bersifat empiris, tetapi hadir pula realitas ruang siber kreasi AI.
Bahkan, kendati masih terbilang paruh awal perkembangan kreasi dan pemanfaatan AI, sebagian ruang kreasi produksi informasi media sudah dapat tersubstitusi. Dalam kacamata kaum determinis teknologi, tak perlu waktu lama lagi, sisi eksistensial manusia jurnalis dapat tergantikan jika tetap bertahan pada standar kreasi informasi pemberitaan pers yang ditunjukkan selama ini.
Bagaimana Kompas dan segenap jajaran editorial menyikapinya? Bahasan dialektis terhadap kehadiran AI dalam ruang editorial inilah yang menjadi fokus Forum Ombudsman Kompas, Jumat, 6 Oktober 2023.
Bersandar pada pemahaman luas teknologi, baik dari aspek teknis, organisasi, maupun budaya, inovasi-inovasi AI pada dunia jurnalistik tak mungkin terhindarkan. Futuris teknolog komunikasi McLuhan, jauh sebelumnya, menyiratkan esensi kelahiran teknologi yang pada hakikatnya tidak lepas dari suatu proses adaptasi manusia. Lebih khusus, proses pertahanan diri dalam mengalahkan ketidakberdayaan sebagai makhluk yang serba terbatas.
Kemunculan roda dan kendaraan sebagai kreasi teknologi fisik, misalnya, tak lepas dari keterbatasan kaki manusia dalam melangkah. Roda membuat gerak aktivitas pengendalian ruang lebih efisien. Analogi yang lebih kurang sama, dan tentu saja menjadi semakin kompleks, terhadap kehadiran berbagai inovasi AI.
Dalam praktik industri media, tak kurang banyak manfaat yang didapat dalam memanfaatkan AI. Bagi kategorisasi kreasi ”AI generatif”, misalnya, upaya harian ini mentranslasikan setiap artikel Kompas.id ke dalam bahasa Inggris, fiturisasi artikel (text) ke bentuk percakapan (speech) tak lepas dari pemanfaatan AI.
Sisi lain, tidak kurang banyak pula manfaat penggunaan jenis-jenis kreasi ”AI prediktif” dalam pencarian, pengklasifikasian, ataupun perekomendasian informasi yang sesuai dengan kehendak pembaca.
Singkatnya, pada tahapan permulaan inovasi saja, tak terbantahkan sumbangan AI terbilang cukup signifikan dalam mengefisienkan dukungan proses produksi dan konsumsi informasi. Berbagai catatan global terkait perkembangan pemanfaatan AI akhir-akhir ini dalam ranah jurnalistik bahkan telah menunjukkan sisi perkembangan revolusioner. Mulai dari tahapan perumusan dan pengembangan ide, riset, peliputan, wawancara, penulisan berita, editing, hingga tahapan produksi seperti desain. Termasuk pula penambahan elemen visual hingga tahapan yang berkaitan dengan mengefektifkan konsumsi informasi pemberitaan yang dihasilkan.
Terdapat berbagai sisi problematik pemanfaatan AI. Problem akurasi, misalnya, masih diperdebatkan. Bagaimanapun, sebagai sistem, AI bekerja berdasarkan input data masa lalu, yang tentu saja bergantung pada kualitas dan integritas data yang dimasukkan.
Sisi lain, perdebatan terkait hak kekayaan intelektual tidak putus. Kreasi pengelolaan data dan informasi AI selalu dihadapkan pada persoalan beruntun, seperti siapa yang berhak memiliki data dan informasi, sudahkah penggunaan data seizin yang memilikinya, siapa yang berhak menjadi pemilik hasil reproduksi pengelolaan data dan informasi kreasi AI?
Terlepas dari sisi problematik yang ditampilkan, fakta mulai sedemikian masifnya praktik pemanfaatan AI dalam kerja jurnalistik belakangan ini justru menguatkan gugatan eksistensial peran jurnalis. Apakah penggunaan AI untuk penulisan berita berdasarkan fakta, misalnya, akan menggantikan peran jurnalis atau justru menjadi pelengkap yang meningkatkan efisiensi?
Jika perspektif kaum determinis ekonomi digunakan, kreasi inovasi AI jelas akan diposisikan sebagai alat produksi (means of production) yang membantu mengefisienkan penciptaan surplus nilai dari rangkaian produksi informasi.
Bahkan, dalam era teknokapitalisme belakangan ini, guna penciptaan surplus nilai yang lebih kompetitif, teknologi sebagai alat produksi dipertentangkan dengan keberadaan pekerja informasi. Bisa jadi, hal ini menjadi jawaban bagi industri media setelah paruh waktu sebelumnya, teknologi (digitalisasi) pula yang mendisrupsi pasar informasi.
Dalam diskusi Ombudsman, meski AI diakui dapat memberikan efisiensi dan kecepatan dalam pengolahan informasi, tetap diakui, elemen manusiawi, seperti empati dan kreativitas, tak dapat digantikan sepenuhnya oleh teknologi. Harian Kompas, yang sejak awal pendiriannya berlandaskan falsafah kemanusiaan yang kuat dan ditopang komitmen profesionalitas serta integritas karyawannya, menemukan relevansinya dalam kekinian perkembangan AI.
Meski demikian, Andrey Andoko, Wakil Rektor II Universitas Media Nusantara (UMN), yang menjadi pemateri diskusi Ombudsman, mengungkapkan, dalam perjalanan beradaptasi dengan evolusi profesi ini, perlu pula para jurnalis dan institusi media mengeksplorasi tantangan dalam memiliki kemampuan lebih daripada yang dihasilkan mesin (beyond machine).
Ini melibatkan upaya tentang bagaimana manusia dapat memperluas kemampuan mereka melampaui batas yang dapat dicapai oleh AI. Melepaskan kompetensi, pengetahuan, dan mindset lama untuk memfasilitasi pembelajaran hal-hal baru menjadi penting.
Bagi Ombudsman, tampaknya semua menjadi tuntutan yang relevan agar pedang AI tidak memilah para jurnalis.