Jangan Abaikan Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter menjadi modal penting untuk mengembangkan kompetensi siswa.
SIDOARJO, KOMPAS — Pendidikan karakter merupakan fondasi pendidikan anak yang tidak kalah penting dibandingkan kemampuan literasi dan numerasi. Sekolah dan orangtua diharapkan tidak mengabaikan pendidikan karakter karena berfungsi mengembangkan potensi dasar dan nilai-nilai kebaikan.
Oleh karena itu, sekolah didorong menginternalisasikan nilai-nilai karakter dalam pembelajaran. Pendidikan karakter tidak bergantung pada mata pelajaran tertentu, seperti Pendidikan Agama atau Pendidikan Pancasila, tetapi semua mata pelajaran.
Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Surabaya, Listiyono Santoso mengatakan, pendidikan karakter anak bukan cuma tanggung jawab sekolah. Peran orangtua dan masyarakat juga sangat krusial dalam membangun karakter anak di masa depan.
”Jadi, jangan abaikan pendidikan karakter. Ini merupakan basic personality. Ketika sudah dipenuhi, pengembangan berbagai kompetensi akan lebih mudah,” ujarnya dalam Pemantauan Bersama Program Inovasi di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (3/10/2023).
Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (Inovasi) merupakan program kemitraan antara Pemerintah Australia dan Indonesia. Program yang berlangsung selama 2016-2023 ini telah bermitra dengan 40 organisasi nonpemerintah dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di empat provinsi, yaitu Jatim, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Utara.
Menurut Listiyono, peran orangtua, sekolah, dan masyarakat dalam mendidik karakter anak sejalan dengan konsep tripusat pendidikan yang dipopulerkan Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara. Pendidikan karakter secara formal di sekolah membutuhkan dukungan keluarga dan lingkungan di sekitarnya.
Baca juga : Perkuat Pendidikan Karakter Menyongsong Indonesia Emas 2045
Akan tetapi, pendidikan karakter tidak bisa hanya bergantung pada pembelajaran teori di kelas. Dibutuhkan pembiasaan melalui perilaku sehari-hari dan keteladanan dari orang yang lebih dewasa.
”Usia anak adalah masa paling menyenangkan untuk meniru perilaku orang-orang di sekitarnya. Mereka mereduplikasi kelakuan orang dewasa. Oleh karena itu, penting memastikan ekosistem sekolah, keluarga, dan masyarakat yang positif,” katanya.
Listiyono menambahkan, salah satu tantangan peningkatan mutu pendidikan di Tanah Air adalah kesenjangan infrastruktur daerah. Padahal, menurut dia, pemenuhan pendidikan di tingkat dasar merupakan tanggung jawab pemerintah.
”Kesenjangan ini harus diatasi sehingga peningkatan kualitas pendidikan bisa merata. Tentu sangat terbuka kerja sama dengan berbagai pihak, salah satunya lewat kemitraan,” katanya.
Antiperundungan
Pendidikan karakter diterapkan di sejumlah satuan pendidikan di Sidoarjo. Hal ini diimplementasikan dalam Kurikulum Merdeka, termasuk melalui Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dan Profil Pelajar Rahmatan lil Alamin (P5-PPRA) di sejumlah sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) yang bermitra dengan Inovasi.
Di Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama KH Mukmin, Sidoarjo, misalnya, sejumlah poster bertema antiperundungan dipasang di beberapa titik. Selain itu, guru mengingatkan peserta didik untuk tidak menertawakan siswa yang melakukan kesalahan.
Untuk guru, jadilah orangtua terbaik bagi murid di sekolah. Untuk orangtua, jadilah guru terbaik bagi anak-anak di rumah. Ini yang dinamakan dengan kolaborasi.
”Siswa dibiasakan untuk menghargai teman. Tidak perlu menertawakan, apalagi mengejek temannya yang belum bisa menjawab pertanyaan,” ujar Lizamatul Fitriyah, guru kelas VI di sekolah itu.
Dalam pelajaran membuat makanan organik, Lizamatul meminta para siswa untuk mempresentasikan tugasnya. Siswa yang dibagi dalam lima kelompok secara bergantian menjelaskan tahapan pembuatan makanan organik beserta manfaatnya bagi kesehatan.
”Kelas ini bukan sebatas berbagi pengetahuan, namun juga melatih kepercayaan diri siswa dan cara mereka mengaktualisasikan sesuatu. Ini bagian dari pendidikan karakter,” ucapnya.
Menurut Lizamatul, penguatan pendidikan karakter berdampak positif terhadap siswa. Siswa menjadi lebih ekspresif dan tidak ragu menyampaikan pendapat. Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik juga merangsang kreativitas siswa.
”Mereka menjadi sangat terbuka untuk berargumen. Jika ada siswa yang masih takut-takut, teman-teman yang lain akan memberi dukungan untuk belajar bersama-sama,” katanya.
Ameera Az-Zahra (11), siswa kelas VI, menuturkan, pembelajaran berkelompok lebih menyenangkan karena siswa lebih bebas berdiskusi. Apalagi, siswa diberi kepercayaan menyampaikan gagasan di depan guru dan teman sekelasnya.
Di kelas tersebut, ia menjelaskan alasan kelompoknya memilih membuat roti lapis sayur dalam pelajaran membuat makanan organik. ”Sandwich sayur mengandung unsur sangat lengkap, mulai dari karbohidrat, protein, dan vitamin. Selain itu, pembuatannya juga gampang. Jadi, sangat cocok untuk dijadikan bekal dibawa ke sekolah,” ucapnya.
Tantangan pendidikan karakter
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sidoarjo Tirto Adi mengatakan, pendidikan karakter merupakan modal penting mengembangkan kemampuan siswa. Namun, ia menyadari, masih terdapat sejumlah tantangan untuk mewujudkan hal itu.
”Mengapa pendidikan karakter tidak kunjung selesai? Karena masih sering dijadikan teori. Seharusnya modelnya dengan keteladanan. Persoalannya, banyak yang bisa memberi contoh, tetapi sedikit yang bisa dijadikan contoh,” katanya.
Menurut Tirto, habituasi menjadi metode paling efektif dalam menjalankan pendidikan karakter. Hal ini dapat dimulai dari aktivitas sehari-hari. Ia menyebutkan, ketika siswa dilarang terlambat, para guru terlebih dahulu harus datang tepat waktu sehingga dapat dijadikan contoh.
Baca juga : Kemitraan Dukung Peningkatan Mutu Pendidikan
”Untuk guru, jadilah orangtua terbaik bagi murid di sekolah. Untuk orangtua, jadilah guru terbaik bagi anak-anak di rumah. Ini yang dinamakan dengan kolaborasi,” ujarnya.
Tirto menambahkan, penguatan pendidikan karakter memerlukan dukungan banyak pihak. Kerja sama dengan pihak ketiga, seperti program kemitraan, diharapkan dapat mengoptimalkan peran sekolah dalam mendidik karakter siswa.
Dampak program kemitraan diharapkan menjadi modal penting dalam membentuk sumber daya manusia unggul di masa mendatang. Oleh karena itu, program tersebut perlu berkelanjutan dan menjangkau lebih banyak sekolah.
Deputy Director for Systems and Policy Inovasi Joanne Dowling mengatakan, pemantauan bersama program tersebut bertujuan untuk melihat implementasi kebijakan yang berjalan di satuan pendidikan. ”Dengan begitu, mendapatkan masukan, baik untuk pemerintah maupun bagi Inovasi. Apa-apa yang bisa ditingkatkan untuk tujuan lebih baik,” ucapnya.