Libatkan Buruh dalam Transisi Industri Sawit Berkeadilan
Perkembangan konflik sosial di perkebunan sawit ke depan tidak hanya akan terkait persoalan tenurial, tetapi juga kemitraan dan tenaga kerja. Penting untuk melibatkan buruh dalam transisi industri sawit berkeadilan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya dalam transisi industri sawit yang berkeadilan agar melibatkan langsung tenaga kerja atau buruh sehingga mereka turut memperoleh kesejahteraan. Hal ini didorong oleh ekspansi perkebunan sawit di sejumlah daerah yang banyak menimbulkan konflik, mulai dari soal tenurial, kemitraan, hingga tenaga kerja.
Direktur Sawit Watch Achmad Surambo mengemukakan, Sawit Watch mencatat, luas perkebunan sawit di Indonesia telah mencapai 25,07 hektar dengan total tenaga kerja terserap 6,2 juta orang. Dari angka tersebut, tercatat 4,2 juta orang merupakan tenaga kerja langsung dan 12 juta orang lainnya masuk sebagai tenaga kerja tidak langsung.
”Apabila dilihat, hutan atau wilayah yang bukan kebun sawit kemudian menjadi kebun sawit akan melahirkan kelas baru berupa kelompok buruh dan petani sawit. Selama ini pandangan yang dominan muncul selalu dari petani sawit, sedangkan kelompok buruh sawit hampir tidak terlihat,” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk ”Transisi yang Berkeadilan dalam Industri Sawit”, Kamis (14/9/2023).
Transisi berkeadilan yang berkelanjutan untuk rumah tangga buruh dan buruh perempuan sendiri pertama-tama harus berbicara tentang jaminan hidup yang layak.
Masifnya ekspansi perkebunan sawit di Indonesia tidak hanya melahirkan kelompok baru, tetapi juga konflik di masyarakat. Berdasarkan data Sawit Watch, terdapat 1.088 kasus konflik sosial di perkebunan sawit Indonesia dengan mayoritas merupakan konflik tenurial.
Surambo memandang bahwa perkembangan konflik sosial di perkebunan sawit ke depan tidak hanya akan mencakup aspek tenurial, tetapi juga kemitraan dan tenaga kerja. Sawit Watch juga mencatat adanya peningkatan kasus konflik kemitraan yang ditunjukkan melalui tuntutan untuk fasilitasi kewajiban 20 persen pembangunan kebun masyarakat atau plasma.
Surambo menyebut, saat ini memang belum ada rujukan data atau angka pasti terkait jumlah buruh sawit di Indonesia. Namun, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menyatakan perkebunan sawit telah menyerap 21 juta pekerja. Adapun Sawit Watch pada 2016 merilis angka 10 juta orang yang terlibat langsung dalam rantai produksi perkebunan sawit.
”Data tentang pekerja sawit tidak ada karena memang ada informalisasi kerja. Dalam perkebunan sawit, buruh dijaring oleh tiga model, yakni kontrak melalui pihak ketiga, kemitraan, dan hubungan kerja langsung. Informalisasi kerja ini membuat mereka tidak terlindungi,” tuturnya.
Keberadaan buruh sawit semakin rentan karena mereka belum diatur secara detail dalam peraturan dan kebijakan. Alih-alih melihat dan menyejahterakan buruh sawit, kebijakan tentang moratorium dan evaluasi sawit yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 hanya fokus terhadap peningkatan produktivitas sawit.
Oleh karena itu, Surambo menegaskan, berbagai kebijakan untuk memperbaiki tata kelola sawit juga harus melibatkan buruh sawit langsung, termasuk Kementerian Ketenagakerjaan. Hal ini agar semua tuntutan buruh sawit dapat didengar dan difasilitasi.
”Agenda transisi industri sawit yang berkeadilan harus memutar dua hal. Jadi, transisi industri sawit dan agenda perubahan iklim harus memasukan atau mencakup upaya perlindungan dan pemberdayaan buruh sawit. Buruh ini harus menjadi bagian atau subyek yang harus melakukan perubahan,” katanya.
Janji perusahaan
Ketua Serikat Buruh Sawit Sejahtera (SBSS) Robiyansih mengatakan, perusahaan kerap menjanjikan pekerjaan dan kesejahteraan kepada masyarakat di sekitar lokasi. Hal ini membuat masyarakat terbuai hingga melepas lahannya dengan ganti rugi yang tidak sesuai. Masyarakat juga tidak dipekerjakan di perusahaan tersebut, melainkan pihak ketiga.
”Jadi, sebenarnya janji-janji perusahaan yang akan memberikan kesejahteraan dan menyerap tenaga kerja itu semua bohong. Sebab, perusahaan perkebunan sawit juga memiliki kapasitas untuk merekrut sekian orang,” ucapnya.
Pengajar Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia (UI), Hariati Sinaga, menambahkan, sawit sebagai salah satu komoditas perkebunan besar monokultur selalu menekankan terkait produktivitas dan mencari keuntungan sebesar-besarnya. Penekanan pada produktivitas ini berimbas pada meningkatnya perekrutan buruh harian lepas (BHL) yang sebagian di antaranya merupakan kelompok perempuan.
”Transisi berkeadilan yang berkelanjutan untuk rumah tangga buruh dan buruh perempuan sendiri pertama-tama harus berbicara tentang jaminan hidup yang layak. Untuk konteks buruh perempuan yang kebanyakan BHL itu juga perlu dimulai dengan status kerja mereka agar lebih jelas dan terpenting, yaitu terkait kondisi ekologis,” tambahnya.