Tambang Nikel di Halmahera Tengah Rampas Kehidupan Warga
Keberadaan industri nikel telah membawa perubahan signifikan dalam tatanan sosial dan ekonomi di desa-desa sekitar tambang.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hasrat pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai produsen utama produk berbasis nikel mengakibatkan kehidupan masyarakat Halmahera Tengah di area pertambangan nikel terampas. Mereka harus merelakan kehilangan mata pencarian hingga kesehatannya terganggu.
Untuk melihat dampak langsung keberadaan industri nikel, Aksi Ekologi Emansipasi Rakyat (AEER) melakukan penelitian selama dua minggu di di Halmahera Tengah, Maluku Utara. Mereka meneliti Desa Lelilef Woebulen, Desa Lelilef Sawai, Desa Gemaf, dan Desa Sagea yang merupakan lingkup area konsesi PT Weda Bay Industrial Park (IWIP). Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa keberadaan industri nikel tersebut memengaruhi aspek sosial, ekonomi, dan kesehatan masyarakat sekitar.
Peneliti Sosial Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Andi Rahmana Saputra, menyampaikan, kedatangan industri nikel telah membawa perubahan signifikan dalam tatanan sosial dan ekonomi di desa-desa terdampak. Selain itu, adanya industri nikel di wilayah Halmahera Tengah juga berdampak pada kesehatan warga. Pasalnya, polusi dan debu yang dihasilkan dapat menurunkan kualitas udara di sekitar permukiman warga.
”Meski kehadiran perusahaan nikel telah membuka peluang ekonomi baru, juga terjadi perubahan demografi yang melahirkan berbagai permasalahan lingkungan. Seperti menimbulkan tumpukan sampah, jalanan berdebu, dan air tanah menjadi keruh. Kondisi tersebut meningkatkan jumlah kasus diare dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA),” ujar Andi pada forum diskusi mengenai dampak kegiatan pertambangan nikel di Halmahera Tengah, Senin (31/7/2023), di Jakarta.
Andi menambahkan, perubahan lanskap juga mengubah pola mata pencarian warga. Semula, banyak warga berprofesi sebagai petani atau nelayan. Akan tetapi, kini warga beralih profesi menjadi pengusaha kos, pedagang, atau menjadi karyawan perusahaan tambang.
Menurut warga, peralihan mata pencarian tidak selalu menjadikan kehidupan mereka semakin baik, bisa juga membawa kesulitan baru. Misalnya, para petani yang tidak memiliki cukup modal dan keterampilan lain untuk beralih profesi.
”Warga yang berprofesi sebagai petani kehilangan kebunnya. Nelayan kini juga harus melaut lebih jauh, 20 hingga 30 kilometer karena wilayah operasional IWIP berbahaya,” kata Andi.
Selain itu, Andi mengatakan, beberapa warga Halmahera Tengah menganggap perusahaan tidak menjalankan proses ganti rugi atas lahan mereka dengan layak dan adil. Akibat adanya pertambangan nikel, para petani terpaksa menjual lahan perkebunannya dan beralih profesi. Tidak hanya mengurangi tutupan lahan pertanian, perusahaan juga menebang hutan bakau.
”Pemicu konflik di Halmahera Tengah antara industri nikel dan masyarakat utamanya karena dua alasan, yakni dampak ekonomi yang terjadi ketika warga kehilangan ruang penghidupannya serta masalah ganti rugi yang tidak sesuai dengan nilai ekonomi lahan bagi warga terdampak,” kata Andi.
Meski kehadiran perusahaan nikel telah membuka peluang ekonomi baru, juga terjadi perubahan demografi yang melahirkan berbagai permasalahan lingkungan.
Peneliti Lingkungan AEER, Arfah Durahman, memaparkan, penurunan kualitas air ditunjukkan oleh terdeteksinya ion logam kromium heksavalen di sejumlah titik air permukaan dan air laut. Hilir Sungai Wosea yang melintasi kawasan industri nikel mengandung kromium heksavalen dengan konsentrasi 0,017 mg/L.
Kadar tersebut melebihi yang disyaratkan Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA) sebesar 0,011 mg/L. Ion toksik ini juga terdeteksi di beberapa lokasi di perairan laut dekat dengan aktivitas kawasan industri.
Menurut Arfah, perusahaan perlu memperhatikan perubahan-perubahan lingkungan tersebut. Perusahaan tidak hanya memantau kualitas lingkungan dalam kawasan industri, tetapi juga harus memantau desa-desa terdampak dan ikut serta membantu warga mengatasi permasalahan tersebut.
Evaluasi kebijakan
Akademisi dan aktivis lingkungan Halmahera Tengah Maswi Anwar Santuli meminta pemerintah, baik pusat maupun daerah, agar segera mengevaluasi kebijakan operasional pertambangan nikel di daerahnya.
”Masyarakat, baik secara sosial maupun ekonomi, tersingkir dari wilayahnya sendiri. PT IWIP melakukan eksploitasi tanpa analisis mengenai dampak lingkungan hidup (amdal). Seharusnya, pemerintah dan perusahaan tidak hanya mementingkan profit dan pembangunan semata, tetapi juga perlu mementingkan aspek ekonomi, sosial, lingkungan, budaya masyarakat lokal,” lanjut Maswi.
Sementara itu, anggota DPRD Halmahera Tengah sekaligus aktivis masyarakat adat, Munadi Kilkoda, menyatakan, pihaknya tidak memiliki kewenangan izin operasional pertambangan maupun smelter nikel. Kewenangan tersebut berada di tangan pemerintah pusat. Menurut dia, pemerintah daerah juga belum menjadikan isu sosial dan lingkungan sebagai agenda utama.
”Saat ini, yang menjadi fokus masih kepentingan ekonomi, yakni profit dan penyerapan tenaga kerja. PT IWIP termasuk dalam salah satu skema proyek strategis nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), sehingga kami tidak memiliki kewenangan,” tutur Munadi.
Direktur Pengendalian Pencemaran Air Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nety Widayati mengatakan, saat ini, KLHK sudah dan sedang membina sejumlah perusahaan untuk mematuhi aturan lingkungan yang berlaku, termasuk persetujuan teknis (pertek) dan pelaporan pemantauan lingkungan.
”Terkait limbah perusahaan yang dibuang ke laut, hal tersebut merupakan tanggung jawab perusahaan untuk melaporkan data limbah yang dibuang. Kami harus memperbaiki kualitas pelaporan perusahaan-perusahaan tersebut,” ujar Nety.