Masih Tertinggi di Dunia, Pemerintah Terus Akselerasi Eliminasi Tuberkulosis
TBC merupakan penyakit menular pernapasan yang mirip Covid-19 dan kematian per tahunnya lebih tinggi dari Covid-19. Kasus kematian akibat TBC per tahun mencapai 200.000 atau lebih tinggi dari kematian akibat Covid-19.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN, CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia masih menjadi negara dengan pengidap tuberkulosis atau TBC terbesar ke dua di dunia setelah India dengan jumlah kasus diperkirakan mencapai 969.000 per tahun. Pemerintah terus berupaya mempercepat eliminasi penyakit TBC di Tanah Air melalui berbagai langkah, mulai dari menggencarkan surveilans atau deteksi, pengobatan, hingga pemberian vaksin.
”Sampai sebelum Covid-19, paling banyak bisa teridentifikasi 545.000-an. Jadi sisanya 400.000 itu nggak terdeteksi, padahal ini penyakit menular, bisa menular ke mana-mana,” ujar Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, seusai mengikuti rapat terbatas tentang TBC yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (18/7/2023).
Indonesia menjadi negara kedua terbesar pengidap TBC setelah India. Setelah Indonesia, China berada di urutan ketiga.TBC merupakan penyakit menular pernapasan yang mirip dengan Covid-19 dan kematian per tahun lebih tinggi dari Covid-19. Kasus kematian akibat TBC per tahun mencapai 200.000 atau lebih tinggi dari kematian akibat Covid-19.
Sejak akhir tahun 2022, pemerintah telah melakukan akselerasi pendeteksian sehingga saat ini bisa mendeteksi sekitar 720.000 pengidap dari sebelumnya hanya sekitar 540.000. Menkes berharap angka tersebut bisa naik menjadi 90 persen dari estimasi 969.000 pengidap TBC. ”Jadi beberapa hal yang perlu kita ketahui, penyakit ini sudah ribuan tahun yang lalu ada dan sekarang tersisa di beberapa negara besar,” tambahnya.
Untuk meningkatkan angka deteksi tersebut, Presiden Joko Widodo memberikan arahan agar Menkes bekerja sama dengan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. ”Kita harapkan sampai 2024 nanti 90 persen dari estimasi yang 969.000 bisa ketemu atau bisa terdeteksi,” tambahnya.
Setelah terdeteksi, masalah lain yang muncul terkait dengan proses pengobatan selama minimal enam bulan. Pil yang harus diminum pun dalam jumlah banyak, yaitu 5-7 pil. ”Jadi orang males nggak disiplin minum obatnya sampai selesai. Kalau dia nggak disiplin sampai selesai karena ini antibiotik, nanti dia bisa jadi resistance, ini lebih susah lagi obatnya bisa sampai 20 bulan dia minum terus,” kata Menkes.
Berbagai organisasi masyarakat harus digerakkan untuk mendongkrak kepatuhan minum obat hingga penyembuhan penyakitnya tuntas. ”Kita sudah kerja sama nih dengan beberapa organisasi masyarakat agar bisa membantu masyarakat minum obatnya sampai selesai. Obatnya ada di puskesmas tinggal masyarakat (minum) sampai selesai,” kata Menkes.
Berbagai organisasi masyarakat harus digerakkan untuk mendongkrak kepatuhan minum obat hingga penyembuhan penyakitnya tuntas.
Karantina khusus
Terkait pengobatan, Presiden Jokowi memberikan arahan agar disiapkan karantina khusus berdekatan dengan lokasi di mana tuberkulosis itu terjadi selama dua bulan. Selain agar tidak menular ke keluarga pengidap, karantina juga diharapkan bisa menjadikan pasien pengidap TBC disiplin meminum obat. Pengobatan TBC berlangsung dalam waktu enam bulan dengan minimal dua bulan penuh sampai obatnya bereaksi.
”Jadi selama dua bulan dia tidak menularkan keluarganya, dimasukkan ke karantina khusus. Saya disuruh kerja sama dengan Menteri PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) di bawah koordinasi Menko PMK (Pembangunan Manusia dan Kebudayaan) agar bisa tidak menular, dan diberikan obat, dipastikan dua bulan dia minum obat terus,” ujarnya.
Pemerintah saat ini juga sedang melakukan kajian untuk mendatangkan vaksin TBC baru karena efektivitas vaksin BCG dinilai rendah atau hanya 50 persen. Menurut Menkes, saat ini Indonesia telah berpartisipasi aktif dengan organisasi dunia dan telah ada tiga potensi vaksin baru yang akan didatangkan oleh pemerintah.
”Yang paling dekat adalah vaksin yang ditemukan oleh Glaxosmithkline (GSK), kemudian diambil alih oleh Bill and Melinda Gates Foundation, sekarang sedang dalam proses untuk melakukan clinical trial di Indonesia, bekerja sama Kemenkes dengan UI (Universitas Indonesia), dan Universitas Padjadjaran, dengan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan),” ujar Menkes.
Selain itu, terdapat dua kandidat vaksin mRNA. ”Yang kita bekerja sama dengan pihak luar negeri supaya bisa—kalau mRNA, kan, lebih cepat kayak Pfizer dan Moderna. Jadi ada tiga kandidat vaksin TBC baru yang sedang kita kaji penggunaannya,” tambah Menkes.
Terkait alokasi anggaran, Menkes menyebut Kementerian Kesehatan mendapatkan donasi dari sejumlah pihak, seperti dari USAID yang nilainya mencapai 70 juta dollar AS untuk program pengentasan TBC. Anggaran tersebut digunakan tidak hanya oleh pemerintah, tetapi juga oleh lembaga-lembaga masyarakat untuk membantu mengentaskan rakyat dari TBC.
”Jadi khusus untuk TBC, dari sisi anggaran enggak masalah, selain anggaran pemerintah yang ada, tapi donasinya jauh lebih besar daripada anggaran pemerintah sendiri,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, Peneliti Keamanan dan Ketahanan Kesehatan Global Griffith University Australia, Dicky Budiman, menegaskan bahwa tingginya penyakit TBC mencerminkan Indonesia masih masuk kategori negara berkembang, bahkan negara miskin. Hal ini karena penyakit TBC muncul akibat kondisi lingkungan dan ventilasi sirkulasi rumah yang buruk, serta gizi buruk.
Selain itu, literasi yang rendah juga berdampak pada tingginya kasus TBC. Pasien TBC juga cenderung malu berobat. ”Karena bertahun berpuluh mengalami seperti ini, artinya ini adalah kasus kronis yang menurut saya masih abai dan belum mendapat perhatian dari pemerintah yang memadai,” kata Dicky.
Data WHO menyebut bahwa kasus TBC di Indonesia sebanyak 391 per 100.000 penduduk pada tahun 2020. TBC menyerang pada semua kelompok usia, tetapi paling tinggi ditemukan pada kelompok usia dewasa laki-laki di Indonesia. Tantangan yang dihadapi di Indonesia masih terkait diagnosis dan terapi, resistensi obat, hingga stigma negatif.