Mengapa Pasangan Berpisah? Kecerdasan Buatan Bisa Meramalkannya
AI menemukan empat faktor risiko utama yang menyebabkan pasangan berpisah, yaitu kepuasan pribadi, kuantitas pekerjaan yang dilakukan perempuan, beberapa faktor kepribadian, dan usia.
Banyak orang terkejut ketika pasangan yang sepertinya terlihat harmonis tiba-tiba memutuskan untuk berpisah. Kecerdasan buatan ternyata bisa dilatih untuk menyelidiki perilaku rumah tangga, khususnya faktor penyebab perpisahan pasangan dan kapan hal itu kemungkinan bakal terjadi.
Ada banyak alasan bagi pasangan untuk memutuskan mengarungi hidup bersama. Namun, ada berbagai alasan pula untuk berpisah setelah bertahun-tahun bersama. Para ahli psikologi telah banyak mengkaji alasan pasangan untuk berpisah, tetapi dengan heterogenitas yang besar di dalam dan antarnegara.
Dengan meninjau penelitian sebelumnya selama dua dekade di Eropa dan Amerika Serikat, sosiolog dari University of Oslo Torkild Hovde Lyngstad dan Marika Jalovaar dari University of Helsinki (Demographic Research, 2010) menawarkan klasifikasi prediktor perceraian. Kelompok prediktor itu terdiri dari karakteristik pribadi anggota pasangan, usia saat berpasangan, durasi ikatan, pendidikan, kepribadian, dan kesejahteraan subyektif.
Baca juga : Cerita Pilu di Balik Angka-angka Perceraian
Beberapa penelitian sebelumnya umumnya berfokus pada menjelaskan temuan, tetapi mengabaikan pentingnya akurasi hasil prediksi, termasuk kapan kemungkinan terjadi perpisahan itu. Untuk mengatasi kesenjangan tersebut, para peneliti mencoba memperhitungkan sejumlah prediktor bubarnya pasangan dan interaksinya, dan ini mungkin tidak dapat dilakukan dengan model regresi riwayat peristiwa konvensional.
Hal ini dinilai lebih baik dilakukan dengan menggunakan pendekatan berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Apa yang ditawarkan kecerdasan buatan dinilai melampaui model statistik tradisional, seperti analisis regresi.
Memprediksi akhir hubungan
Ilmuwan Bruno Arpino dari Universitas Florence, Marco Le Moglie dari Universitas Katolik Milan, dan Letizia Mencarini dari Universitas Bocconi-Milan selama bertahun-tahun berupaya melatih AI untuk menyelidiki perilaku rumah tangga.
Dalam penelitian yang diterbitkan di jurnal Demography (2022), mereka telah menganalisis data lebih dari 2.000 pasangan di Jerman, baik yang menikah maupun tidak. Perilaku pasangan ini diikuti selama belasan tahun melalui survei tahunan German Socio-Economic Panel (GSOEP), dengan lebih dari 900 pasangan berakhir dengan perpisahan.
Mengadopsi pendekatan pembelajaran mesin dengan pendekatan Random Survival Forest, AI bisa menemukan sendiri hubungan antara berbagai faktor yang terdapat dalam basis data. Dalam hal ini, AI mempertimbangkan lebih dari 40 faktor, seperti usia, tingkat pendidikan, sifat kesehatan, dan psikologi.
Sejumlah besar data mentah dimasukkan ke mesin pembelajar tanpa membuat hipotesis yang tepat, tetapi hanya menunjukkan sebagai peristiwa yang menarik pisahnya pasangan. Kemudian algoritma menunjukkan pengaruh masing-masing faktor yang terkandung dalam data.
Variabel yang menimbulkan ancaman terbesar terhadap stabilitas telah diidentifikasi dengan akurasi 70 persen. Kemampuan prediksi AI ini mengungguli 50 persen yang dicapai oleh metode regresi tradisional.
AI tidak hanya dapat menemukan faktor-faktor di balik putusnya hubungan pasangan, tetapi juga dapat menggunakan pengetahuan ini untuk memprediksi akhir dari sebuah hubungan sebelum hal itu terjadi.
AI tidak hanya dapat menemukan faktor-faktor di balik putusnya hubungan pasangan, tetapi juga dapat menggunakan pengetahuan ini untuk memprediksi akhir dari sebuah hubungan sebelum hal itu terjadi. Alih-alih mengirimkan semua data yang tersedia ke algoritme ad hoc, sebagian data digunakan untuk menginstruksikan algoritma itu sendiri dan validitas hasil diverifikasi dengan separuh basis data lainnya.
Hasil analisisnya sangat menarik terutama karena metodologi AI mampu menimbang kepentingan relatif berbagai faktor penyebab putusnya hubungan. Faktor-faktor yang sangat berpengaruh dalam studi sebelumnya malah kehilangan relevansinya di sini, seperti pengangguran, tingkat pendidikan, dan pendapatan pasangan yang tinggi.
Empat faktor risiko
Bruno Arpino mengatakan, berdasarkan AI, ada empat faktor risiko utama yang muncul dari penelitian ini yang menyebabkan pasangan berpisah. Empat faktor dalam urutan menurun di antaranya: kepuasan pribadi, kuantitas pekerjaan yang dilakukan perempuan, beberapa faktor kepribadian, dan usia.
Prediktor perpisahan terkuat adalah kepuasan pribadi. Jika kedua pasangan tidak puas, jelas pasangan itu tidak akan bertahan lama. Namun, yang kurang jelas di sini adalah bahwa penurunan yang kuat dalam stabilitas suami-istri muncul ketika perempuan sangat puas dengan hubungan, tetapi pasangan laki-lakinya kurang begitu puas, sedangkan efek sebaliknya kurang jelas.
AI juga menemukan, jika perempuan bekerja berjam-jam di luar rumah, risiko perpisahan atau perceraian menjadi lebih tinggi. Bahkan, ketika laki-laki lebih terlibat dalam pekerjaan rumah tangga, risiko perpisahan tetap besar.
Baca juga : Menjaga Relasi dengan Pasangan
Adapun ciri-ciri kepribadian berisiko meliputi ekstraversi tinggi pada laki-laki yang secara klasik terkait dengan perselingkuhan yang lebih tinggi. Selain itu, keterbukaan yang rendah pada perempuan, kurang dapat beradaptasi dengan perubahan akibat tinggal bersama adalah ciri-ciri yang lebih kuat terkait berakhirnya hubungan suatu pasangan.
Kepribadian lain yang berisiko adalah tingkat kesadaran yang rendah pada kedua pasangan. Tingkat kesadaran ini dipahami sebagai kapasitas organisasi dalam kehidupan sehari-hari. Tingkat kesadaran yang rendah dianggap sebagai gangguan dan ketidakmampuan untuk menghormati komitmen dan mempersulit upaya untuk tetap bersama.
Di sisi lain, fakta bahwa pasangan yang menderita kecemasan, kecemburuan, rasa bersalah, kekhawatiran, atau kemarahan yang berlebihan jelas memperumit hubungan.
Terakhir adalah faktor usia. Pasangan yang sangat muda cenderung lebih tidak stabil. Di sisi lain, stabilitas hubungan perempuan meningkat setelah usia 40 tahun, sementara pria tidak demikian. Sampai ”berumur” pun pria masih cenderung tidak stabil.
Baca juga : Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Perceraian Meningkat Selama Karantina
Analisis juga menemukan bahwa banyak variabel berinteraksi dengan cara yang kompleks. Misalnya, ketika kepuasan hidup laki-laki tinggi, kepuasan hidup perempuan yang lebih tinggi terus-menerus meningkatkan peluang kelangsungan hidup bersama. Tetapi, ketika kepuasan hidup laki-laki rendah, hubungan antara kepuasan hidup perempuan dan kelangsungan hidup bersama menjadi negatif setelah ambang tertentu.
Namun, para penulis tidak mendeteksi efek interaksi apa pun ketika mempertimbangkan ciri-ciri pribadi: keterbukaan perempuan dan ekstraversi pria membuat akhir hubungan lebih mungkin terjadi, terlepas dari kepribadian pasangannya.
Keterbatasan
Analisis mesin pembelajar atau AI ini bukannya tanpa batasan. Dalam hal ini, data dasar yang jadi acuan analisis hanya merujuk masyarakat di Eropa, khususnya Jerman, yang bisa jadi memilik aspek psikologis spesifik. Bisa jadi, faktor-faktor ini berbeda dengan masyarakat di Indonesia.
Namun, dari sudut pandang metodologis, studi ini menunjukkan potensi besar teknik AI dalam penelitian demografi dan sosiologis secara umum. AI bisa menyoroti kemampuan memantau dan menganalisis sejumlah besar faktor prediktif, untuk secara otomatis menemukan hubungan linear atau non-linear, hubungan aditif atau non-aditif dengan tingkat presisi yang lebih tinggi dan perkiraan yang lebih kokoh.
Baca juga : AI dan Kecemasan Soal Masa Depan Pekerjaan
AI mampu mendeteksi pola kompleks dalam kumpulan data yang relatif kecil. Keuntungan lain dari AI adalah kekuatan prediktifnya yang unggul dibandingkan model konvensional, lebih selaras untuk menjelaskan bagaimana mekanisme tertentu bekerja daripada memprediksi perilaku variabel di masa mendatang.
Ketika peneliti membagi sampel mereka menjadi dua bagian dan menggunakan hasil paruh pertama untuk memprediksi hasil paruh kedua, mereka menemukan bahwa akurasi prediksi AI jauh lebih unggul daripada model konvensional. Meski demikian, akurasi prediksi AI tetap terbatas.