Berjuang untuk Sejahtera di Tengah Tuntutan Menjadi Dosen ”Super”
Tidak hanya guru di sekolah, para dosen di perguruan tinggi pun berjuang agar sejahtera sambil terbelenggu beban administrasi. Kemajuan pendidikan tinggi di negeri ini masih butuh komitmen serius dan dukungan nyata.
Guru Oemar Bakri bukan hanya gambaran yang disematkan bagi para guru di sekolah. Sosok pendidik yang bersahaja dan idealis dengan kesejahteraan yang jauh dari profesi lain nyatanya juga dialami para dosen yang mengajar di perguruan tinggi di Indonesia. Kesenjangan mutu perguruan tinggi yang lebar juga membuat profesi dosen masih jauh dari layak dari segi kesejahteraan ataupun kualitasnya.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen membawa angin segar untuk membuat profesi pendidik di jenjang perguruan tinggi kian bermartabat. Ada janji kesejahteraan dan peningkatan profesionalisme yang muncul dengan hadirnya tunjangan sertifikasi dosen dan tunjangan kehormatan guru besar.
Kualitas dan profesionalisme dosen yang dibarengi dengan kesejahteraan yang layak tentunya menjadi hal penting untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi Indonesia. Institusi perguruan tinggi dengan sumber daya dosen yang andal secara keilmuan serta berkarakter dan berkinerja baik akan mampu menyokong kesiapan negeri ini memaksimalkan bonus demografi. Mereka menjadi sosok yang juga berperan penting menyiapkan generasi muda yang cerdas dan berkarakter unggul.
Di tengah tuntutan untuk menjadi sosok ”super” yang piawai mengajar, meneliti, dan melakukan pengabdian masyarakat, masih banyak dosen yang berjuang untuk dapat hidup layak di tengah keterbatasan kesejahteraan dan mutu institusi tempatnya mengajar. Terdapat 326.554 dosen di 4.523 perguruan tinggi yang memiliki 31.399 program studi. Dari jumlah itu, 40 persen perguruan tinggi swasta (PTS) belum terakreditasi. Masih banyak PTS yang terus bergulat dengan mutu dan pembiayaan karena jumlah mahasiswanya kurang.
Baca juga: Gaji Dosen Swasta
Seorang dosen berinisial IM yang mengajar di salah satu PTS di Jakarta Timur, Sabtu (11/2/2023), berkisah, dirinya menjadi dosen tetap sejak 2015 dengan gaji Rp 5,1 juta per bulan. Di masa Covid-19, gajinya sempat dipotong menjadi Rp 3,5 juta per bulan.
”Bersyukur ada tambahan dari tunjangan sertifikasi dosen per bulan Rp 2,5 juta. Tapi pembayarannya tiap tiga bulan. Harus bersiasat supaya bisa memenuhi syarat agar pelaporan beban kerja dosen sesuai yang diminta,” kata IM yang berpendidikan S-2 saat menjadi dosen itu.
Wajib publikasi
IM wajib menulis satu publikasi di jurnal ilmiah. Dengan jabatan fungsionalnya sebagai lektor 200, dia harus bisa tembus ke jurnal ilmiah terindeks Science and Technology Index (Sinta) 5 dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Tidak mudah bagi IM untuk memenuhi syarat tersebut. Lalu dia berkolaborasi dengan dua dosen lain di kampusnya untuk bergantian meneliti dan menulis publikasi ilmiah terkait pendidikan.
”Terus terang saya tidak jago dalam penelitian dan penulisan. Beruntung ada teman-teman yang bisa kerja sama, dimasukkan sebagai penulis ketiga pun saya sudah bersyukur. Yang penting tiap semester ada laporan memenuhi beban kerja dosen sehingga tunjangan sertifikasi tetap cair,” kata IM.
Berbagai kewajiban bagi seorang dosen lebih sering dianggap sebagai pemenuhan administrasi saja. Ketika perguruan tinggi didorong memiliki lebih banyak dosen bergelar doktor, misalnya, masih ada yang memenuhinya semata agar tertib administrasi sehingga bisa lolos akreditasi.
IM mengisahkan, rektor di kampusnya mendorong agar semua dosen bisa begelar doktor. Di kampus swasta untuk calon guru ini setidaknya sudah ada 96 dosen lulusan S-3. Para dosen yang pendidikan terakhirnya masih magister atau master pun diiming-imingi pinjaman lunak dari kampus supaya segera berkuliah.
”Sampai disebutkan tidak apa-apa ambil S-3 manajemen, yang penting semua dosen bisa bergelar doktor,” kata IM.
Lain lagi kisah dosen yang berjuang untuk mendapatkan tunjangan sertifikasi. Pada Oktober tahun lalu, sembari menaruh tiga bundel berkas dengan sampul kuning, Wisnu Hadiwibowo membuka kertas-kertas di dalamnya. Ia menunjukkan lembaran sertifikat, berbagai surat keterangan, berita acara, dan beberapa surat pengesahan. Pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Litigasi Jakarta Pusat ini mengaku membutuhkan sekitar hampir satu tahun mengumpulkan berkas-berkas ini untuk mengurus jabatan fungsional.
Baca juga : Jalan Terjal Para Dosen Menembus Jurnal Internasional
Dokumen tersebut dia kumpulkan sejak periode 2016. Wisnu mendapat jabatan fungsional lektor pada 2020. Umumnya, setelah mendapat jabatan fungsional, dosen bisa melanjutkan untuk mengurus sertifikasi dosen. Namun, saat ini ia belum mengurusnya.
”Mengurus jabatan fungsional saja sudah sulit, apalagi sertifikasi dosen. Untuk dosen berusia hampir 50 tahun seperti saya, proses yang dilalui untuk mengumpulkan dokumen keperluan sertifikasi dosen itu sulit,” kata Wisnu.
Di STIH Litigasi, menurut Wisnu, hanya ada satu dari 12 dosen yang telah tersertifikasi, beberapa sedang proses. Untuk jabatan lektor, di STIH ini sudah ada dua orang, sebagian lain masih asisten ahli.
Wisnu mengakui setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda dalam menyiapkan sertifikasi. Dengan usianya yang hampir kepala lima, ia merasa kesulitan. Oleh karena itu, ia berharap pemerintah mempermudah prosesnya mengingat sertifikasi dosen bisa menjadi tambahan gaji bagi dosen di beberapa PTS yang tergolong kecil.
”Kalau ditambah uang transportasi, gaji dosen di sini bahkan belum UMR. Maka dari itu saya berharap sertifikasi ini dipermudah, buat saja seperti guru SD disamaratakan semua,” ujarnya.
Tawaran gajinya berkisar Rp 300.000 sampai Rp 900.000/bulan. Saya masih mikir-mikir untuk mengambilnya karena butuh pengalaman mengajar supaya bisa ikut mendaftar dosen PPPK. Saya kaget juga dosen ternyata dihargai dengan gaji yang rendah.
Pengurusan sertifikasi dosen juga dibatasi oleh usia. Wakil I Bidang Akademik Sekolah Tinggi Pajak Indonesia (STPI) Hasan Rahmani menceritakan, umumnya dosen di STPI adalah pensiunan sehingga mereka tidak bisa mengajukan sertifikasi dosen. Hanya sebagian kecil dosen tetap yang sudah mendapat sertifikasi dosen, lebih banyak yang belum. Meskipun begitu, mayoritas dosen tetap di STPI sudah memiliki jabatan fungsional.
Sertifikasi dosen digunakan untuk menilai kelayakan dosen di perguruan tinggi. Fungsinya juga sebagai penjaminan mutu pendidikan. Pemerintah memberikan insentif berupa tunjangan bagi dosen yang sudah lulus sertifikasi.
Hasan menyebutkan dosen di STPI digaji Rp 150.000 per SKS, ditambah uang transportasi atau pulsa saat pandemi. ”Dosen di sini walaupun mereka berpengalaman, seperti mantan direktur, tetap dibayar biasa-biasa saja karena lembaga hanya mampu membayar segitu. Jadi, di satu sisi mereka juga diminta ikhlas memberikan ilmu,” katanya.
Pada tahun 2022, pembayaran tunjangan sertifikasi dosen dan guru besar perguruan tinggi negeri (PTN) dan PTS nilainya mencapai lebih dari Rp 4,9 triliun. Dosen dan guru besar di PTS yang menerima tunjangan mencapai 60.706 orang.
Kebutuhan merekrut dosen berpendidikan minimal S-2 kini juga dilakukan sejumlah PTS yang belum terakreditasi agar terdata memiliki dosen tetap yang memiliki nomor induk dosen nasional (NIDN). Dwi, mahasisiwi S-2 bidang pendidikan yang baru lulus dari Universitas Negeri Yogyakarta, dijanjikan akan bisa langsung menjadi dosen dengan NIDN di sekolah tinggi ilmu keguruan (STKIP) swasta di Bantul, Yogyakarta.
”Tawaran gajinya berkisar Rp 300.000 sampai Rp 900.000 per bulan. Saya masih mikir-mikir untuk mengambilnya karena butuh pengalaman mengajar agar bisa ikut mendaftar dosen PPPK (pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja). Saya kaget juga dosen ternyata dihargai dengan gaji yang rendah,” kata Dwi.
Perlu perbaikan
Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Profesor Indonesia (API) Ari Purbayanto, yang juga Guru Besar Institut Pertanian Bogor, mengatakan, menjadi dosen di Indonesia membutuhkan keikhlasan dan passion. Jika mengandalkan gaji, para dosen hanya bisa hidup pas-pasan. Padahal, ada kebutuhan hidup keluarga dan juga peningkatan diri.
”Menjadi dosen di Indonesia ini memang perlu passion. Sebab, profesi sebagai dosen di negeri ini belum menjamin kehidupan yang lebih sejahtera jika hanya mengandalkan dari gaji. Selain itu, gelar menjadi guru besar atau profesor masih dilihat sebagai gelar prestisius dan peningkatan kesejahteraan,” kata Ari.
Sebagian besar dosen berharap mendapatkan tambahan tunjangan sertifikasi dosen sebesar satu kali gaji pokok. Adapun para guru besar, selain sertifikasi, dosen juga mendapatkan tunjangan kehormatan yang besarnya dua kali gaji pokok. Namun, ada syarat, yaitu harus memiliki publikasi ilmiah, untuk guru besar harus bereputasi internasional.
Ari mengatakan, sudah saatnya ada perbaikan dalam memaknai Tridharma perguruan tinggi. Sebab, tiap dosen punya kapasitas berbeda, ada yang kuat dalam pengajaran, penelitian, atau pengabdian masyarakat.
”Tinggal regulasinya perlu disesuaikan supaya jangan terjebak pada hal administratif saja. Yang penting, dampak dari dosen itu nyata. Para guru besar memang teruji kepakarannya, bukan sekadar jabatan akademik. Namun, pemerintah juga harus memastikan para dosen mendapatkan dukungan untuk meningkatkan profesionalitas dan kesejahteraannya,” kata Ari.
Baca juga: Ada Peran Joki di Balik Karya Ilmiah Dosen
Sementara itu, Direktur Kelembagaan, Ditjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kemendikbudristek, Lukman mengatakan, sistem penggajian dosen di PTS diatur lembaga masing-masing institusi. Hal ini berbeda dengan sistem penggajian dosen di PTN yang diatur Kementerian Keuangan.
Bantuan yang diberikan kepada PTS berbentuk insentif, mulai dari hibah penelitian dosen, pengembangan kurikulum program studi, pertukaran mahasiswa, hingga bantuan sarana prasarana melalui kampus merdeka.
”Tetapi, semua yang kita berikan itu bersifat kompetisi, tidak diberikan langsung. Kompetisi ini kita bagi menjadi tiga liga berdasarkan jumlah mahasiswa. Liga 3 untuk PTS dengan mahasiswa di bawah 5.000 orang, liga 2 dengan jumlah mahasiswa 5.000-15.000 orang, liga 1 untuk jumlah mahasiswa di atas 15.000 orang. Besar bantuan dana yang didapatkan berbeda-beda bergantung pada pengajuan dan rasionalnya, selain itu juga ada jumlah maksimum untuk masing-masing kluster,” kata Lukman.