Petani Sawit Rakyat Masih Kesulitan Dapatkan Sertifikat Berkelanjutan
Sertifikasi pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan untuk perkebunan rakyat masih belum optimal. Petani sawit masih kesulitan mendapatkannya karena persoalan legalitas lahan.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kelompok petani sawit, baik yang berproduksi secara swadaya maupun bermitra dengan pihak lain, masih belum memahami pentingnya memperoleh sertifikasi berkelanjutan. Hal ini yang antara lain menyebabkan proses memperoleh sertifikat kelapa sawit berkelanjutan belum optimal di kalangan petani kecil.
Berdasarkan data Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), pada 2021 sertifikasi pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO) yang diterbitkan untuk perkebunan rakyat baru 20 sertifikat dengan luas lahan 12.600 hektar. Total jumlah sertifikat ISPO yang diterbitkan sebanyak 760 sertifikat dengan luas areal 5,8 juta hektar.
Sementara jumlah petani sawit Indonesia sebanyak 2,4 juta keluarga dengan luas lahan 6,8 juta hektar atau 41 persen dari total 16,3 juta hektar luas perkebunan sawit Indonesia. Subkoordinator Penerapan Teknologi dan Pemberdayaan, Direktorat Tanaman Tahunan dan Penyegar, Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Dedi menyampaikan, salah satu faktor yang menghambat sertifikat ISPO karena dalam proses penilaian usaha perkebunan di sejumlah daerah ada keterbatasan petugas di lapangan.
Harga tandan buah segar yang sudah bersertifikat ISPO memiliki harga yang sama, akan membuat ISPO kurang menarik untuk para petani.
”Hasil penilaian yang berupa kelas kebun itu menjadi salah satu prasyarat dalam proses sertifikasi ISPO. Namun, beberapa daerah merasa kekurangan petugas yang bersertifikat,” ujarnya dalam diskusi ”China-Indonesia Sustainable Palm Oil Dialogue” di Jakarta, Kamis (8/12/2022).
Salah satu persyaratan untuk proses sertifikasi ISPO adalah sudah mendapat penilaian, yaitu kelas 1, 2, dan 3. Maka, setiap tahun diadakan pelatihan untuk petugas tersebut agar tidak terjadi keterbatasan di lapangan. Dedi menyarankan setiap kabupaten atau kota yang kekurangan petugas juga bisa berkoordinasi satu sama lain agar proses sertifikasi ISPO bisa berjalan cepat di daerah.
Masalah lainnya terkait legalitas lahan yang menjadi syarat untuk mendapatkan sertifikat ISPO. Lahan yang akan diajukan untuk sertifikasi tidak boleh berada di dalam kawasan hutan. Kondisi ini yang turut menghambat proses peremajaan sawit pada petani swadaya atau kebun rakyat.
”Target 2025 agar perkebunan sawit seluruhnya bersertifikat ISPO. Dengan program peremajaan sawit rakyat yang terdapat syarat lahan yang dikelola bebas dari kawasan hutan, maka bagi yang sudah melakukan peremajaan tentu lebih mudah untuk mendapatkan ISPO,” kata Dedi.
Pemerintah menargetkan peremajaan (replanting) kebun sawit milik petani seluas 540.000 hektar hingga 2024. Namun, berdasarkan data BPDPKS, realisasi program peremajaan sawit rakyat sejak 2016 hingga 30 Juni 2022 baru mencapai 256.744 hektar.
Secara terpisah, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung mengungkapkan, dari 6,87 juta hektar lahan petani tersebut, sebanyak 25 persen masih terjebak di dalam kawasan hutan. Sementara syarat utama untuk mendapatkan ISPO adalah harus di luar kawasan hutan.
Menurut dia, pemerintah mesti menyelesaikan kebun sawit petani yang terjebak di dalam kawasan hutan, khususnya yang tertanam sebelum tahun 2020. UU Cipta Kerja juga menyatakan bahwa sawit tertanam di dalam kawasan hutan sebelum 2020 itu bisa diselesaikan dengan mengeluarkannya dari peta kawasan hutan.
Permasalahan lainnya terkait pendanaan untuk sertifikasi ISPO yang dianggap memberatkan, yaitu berkisar Rp 750.000-Rp 1,2 juta per hektar dan harus diverifikasi oleh lembaga sertifikasi tiap tahun dengan biaya Rp 400.000-Rp 500.000 per hektar. Sementara pendampingan, sosialisasi, dan edukasi masih minim bagi kelompok tani atau koperasi unit desa.
”Harga tandan buah segar yang sudah bersertifikat ISPO memiliki harga yang sama, akan membuat ISPO kurang menarik untuk para petani. Seharusnya ada intensif bagi yang sudah mendapatkan sertifikasi ISPO,” ucap Gulat.
Pelaksana Tugas Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Wahyu Utomo mengatakan, terdapat sejumlah tantangan terkait dengan pencapaian sawit berkelanjutan. Tantangan itu mulai dari masih rendahnya produktivitas lahan sawit, permasalahan status legalitas lahan, hingga rendahnya ISPO (Kompas, 16/3/2022).