Kebinekaan penting untuk dijadikan landasan dalam penyelenggaraan pendidikan agama yang inklusif. Pendidikan agama di sekolah diharapkan mampu mengakomodasi hak seluruh peserta didik.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Frasa ”beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia” sebagai tujuan pendidikan nasional mesti diaplikasikan dengan memperhatikan kebinekaan. Dengan ini, pendidikan agama di sekolah diharapkan akomodatif terhadap hak penganut agama atau kepercayaan apa pun.
Hal tersebut mengemuka pada dialog pendidikan dan keagaman berjudul ”Memaknai Frasa Iman, Takwa, dan Akhlak Mulia dalam Konteks Pendidikan di Indonesia yang Bineka”. Diskusi daring ini diselenggarakan Yayasan Cahaya Guru pada Rabu (30/11/2022).
”Tiga frasa ini ada dan nampaknya cukup dominan di sekolah-sekolah, terutama di sekolah negeri,” kata Ketua Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo. ”Kami yakin manifestasi agama di ruang publik sangat mempertimbangkan penghargaan terhadap keragaman. Kami ingin melihat bagaimana tiga frasa ini dimaknai, terutama di sekolah-sekolah,” tambahnya.
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Anindito Aditomo mengatakan, frasa iman, takwa, dan akhlak mulia ada di draf Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Ketiga frasa itu tidak didefinisikan sebagai keyakinan terhadap doktrin atau hukum agama spesifik.
Ketiga frasa itu secara sederhana didefinisikan sebagai keyakinan ketuhanan yang dimanifestasikan dalam perilaku sehari-hari yang mulia. Perilaku tersebut, antara lain, mencakup kejujuran, kesatuan perkataan dan perilaku, integritas, cara menyikapi orang lain, hingga sikap menjaga alam.
Menurut hasil Asesmen Nasional (AN), indeks iman, takwa, dan akhlak mulia siswa tergolong tinggi. Namun, praktik ketiga frasa itu belum tampak di sekolah karena penghargaan atau toleransi terhadap keragaman masih rendah. Perundungan (bullying) hingga kekerasan seksual di sekolah pun masih ada (Kompas.id, 26/4/2022).
Diskriminasi terhadap siswa beragama tertentu pun masih terjadi. Beberapa bulan lalu muncul dugaan diskriminasi terhadap siswa Kristen yang ingin melakukan kegiatan kerohanian di salah satu sekolah negeri di Depok. Ada pula siswa yang dipaksa mengenakan jilbab oleh sekolah di DI Yogyakarta dan Sumatera Barat.
Wakil Ketua Bidang Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Asfinawati mengatakan, hak beragama melekat pada seseorang dan tidak bisa dicampuri negara atau orang lain. Hak ini diakui hukum di Indonesia dan hukum internasional, seperti Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR).
Itu sebabnya, pendidikan agama mesti memperhatikan hak peserta didik, seperti menerima pengajaran yang sesuai dengan agama atau keyakinannya, serta hak untuk memilih sumber pendidikan agama.
”Pendidikan di Indonesia cenderung mengajarkan hal instruktif. Itu boleh saja asal bukan keharusan,” katanya. ”Hak itu pada esesinya bisa diambil, bisa tidak. Ketika ini tidak lagi jadi pilihan, maka esensinya sudah berubah jadi kewajiban, bukan hak.”