Nasib RUU Sisdiknas Belum Jelas, Publik Ajak LPTK Mengawal
RUU Sisdiknas yang disiapkan pemerintah saat ini seolah menggantung. Sebelumnya, Kemendikbudristek menargetkan RUU tersebut bisa disahkan tahun 2023. Publik terus mengawalnya, termasuk LPTK.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diminta untuk merapikan kembali dan melibatkan partisipasi publik yang lebih bermakna dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional atau RUU Sisdiknas yang ditunda pada 2022 ini. Namun, hingga saat ini belum terlihat langkah-langkah serius pemerintah untuk membuka kembali pembahasan RUU yang diharapkan dapat menjadi payung hukum sistem pendidikan nasional yang lebih baik itu.
Pemerintah diminta untuk tidak memaksakan RUU Sisdiknas tuntas pada 2023 atau sebelum pemerintahan Presiden Joko Widodo berakhir 2024. Alasannya, tahun depan sudah memasuki tahun politik dan belum jelas juga kelanjutan pergantian rezim berkuasa.
Dalam webinar Bulan Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) 2022 bertajuk ”Bagaimana Nasib Guru dan Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan (LPTK) dalam RUU Sisdiknas” yang digelar FIP Universitas Negeri Semarang (Unnes), Senin (21/11/2022), Dekan FIP Unnes Edy Purwanto mengatakan, pembangunan bidang pendidikan tidak bisa dilepaskan dari kebijakan publik atau politik, salah satunya melalui pengaturan sisdiknas. Pendidikan yang maju dan menghasilkan sumber daya manusia bermutu akan berdampak pada kemampuan memperbaiki pembangunan di bidang lain, seperti kesehatan dan ekonomi.
Rezim politik di tahun 2024 akan berganti, siapa yang akan menjamin keberlanjutannya?
”Kegagalan untuk segera mengesahkan RUU Sisdiknas yang masih bermasalah kemarin karena ada banyak keterbatasan atau kelemahan yang perlu dibenahi secara serius supaya kita mendapatkan pengaturan penyelenggaraan pendidikan yang terbaik. Kalau mau pendidikan kita bagus, salah satu peran sentral yakni guru sebagai ujung tombak. Jadi, pengaturan soal guru krusial untuk dijabarkan dengan lebih baik,” kata Edy.
Eksistensi LPTK
Lebih lanjut Edy mengatakan, nasib guru Indonesia tidak semata soal kesejahteraan, tetapi juga menyiapkan guru profesional yang mendukung mutu pendidikan. Jika di kepolisian ada lembaga pendidikan khusus, yakni Akademi Kepolisian, atau di kedokteran ada fakultas kedokteran, untuk pendidikan juga seharusnya ada institusi yang khusus menyiapkan guru atau selama ini dikenal sebagai LPTK.
”Tapi, di RUU Sisdiknas peran LPTK tidak jelas, antara ada dan tidak. Sebab, untuk jenjang sarjana atau S-1 bisa dari mana pun,” kata Edy.
Dosen Pendidikan Sosiologi di Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, mengatakan, LPTK kehilangan momentum apabila tidak merespons secara eksplisit disebutkannya LPTK sebagai lembaga penghasil guru sejak jenjang sarjana di RUU Sisdiknas. ”Kalau akan dimunculkan lagi RUU Sisdiknas di tahun 2023, LPTK harus punya posisi yang siap merespons ini. Dalam kebijakan pendidikan nasional, terlihat LPTK kehilangan basis intelektual dalam ranah publik. Padahal, LPTK sejatinya bisa menempatkan dirinya sebagai pemimpin intelektual dan isu dalam perdebatan publik kebijakan pendidikan nasional,” kata Rakhmat.
Menurut dia, sejak kepemimpinan Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim yang lebih percaya dan memberikan ”otoritas” pada timnya, pernah disebut ”tim bayangan”, terlihat peran LPTK dalam kebijakan pendidikan semakin ”kerdil”. Hal ini terlihat dalam perancangan, antara lain, Kurikulum Merdeka, Merdeka Belajar, serta RUU Sisdiknas.
Ia melanjutkan, LPTK yang tidak disebut secara eksplisit di RUU Sisdiknas dengan dalih akan dijelaskan dalam peraturan di bawahnya, seperti peraturan pemerintah, tidak memberikan jaminan apa pun. ”Rezim politik di tahun 2024 akan berganti, siapa yang akan menjamin keberlanjutannya? Kita kehilangan momentum tata kelola guru yang lebih baik, termasuk peran LPTK, di RUU Sisdiknas. Sayangnya, LPTK kayak pasrah saja,” kata Rakhmat.
Tunda setelah 2024
Padahal, merujuk dari pengalaman negara-negara yang punya sistem pendidikan baik, ada kebijakan yang jelas tentang lembaga pendidikan calon guru. ”Inilah saatnya LPTK berani untuk bersuara dan bersama-sama dengan stakeholders pendidikan lainnya untuk menuntut agar pembahasan RUU Sisdiknas lebih baik ditunda saja setelah tahun 2024 supaya lebih maksimal. Berbagai jaringan bisa lebih terlibat dalam pengawalan pembahasan yang mendalam,” ujar Rakhmat.
Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru Iman Zanatul Haeri mengatakan, RUU Sisdiknas jauh dari kabar gembira untuk tata kelola guru yang lebih baik di masa depan. Karena itu, organisasi guru juga akan terus mengawal pembahasan yang benar-benar berpihak pada guru, mulai dari kesejahteraan sampai peningkatan mutu guru secara berkelanjutan, untuk mendukung sistem pendidikan nasional yang baik, tangguh, dan relevan.
Praktisi pendidikan Doni Koesoema mengatakan, saat ini RUU Sisdiknas ”menggantung”. Tidak jelas sikap pemerintah, padahal ada peluang untuk membahasnya kembali pada 2023.
”Kami tetap menuntut komunikasi yang terbuka, partisipasif, dan transparansi dalam pembahasan RUU Sisdiknas agar ada rasa memiliki dari semua pihak. Sampai saat ini, seruan untuk membentuk panitia kerja nasional RUU Sisdiknas yang ditunjuk resmi Mendikbudristek agar memfasilitasi aspirasi pemerintah dan publik juga belum direspons,” kata Doni.
Menurut dia, semua lembaga terkait pendidikan diajak untuk terus mengawal sesuai porsi dan relevansinya. Hal ini dibutuhkan agar ada sinergi dalam memahami dan mencari solusi dari kompleksitas sisdiknas di Indonesia.
”Jangan hanya karena guru PAUD dan pendidikan nonformal diakui yang memang sudah bagus, lalu didesak segera disahkan. Masih banyak pasal lain yang bermasalah yang mempertaruhkan masa depan pendidikan bangsa jika tidak dikritisi,” ujarnya.
Karena itu, lanjutnya, sinergi antar-pemangku kepentingan untuk merapatkan barisan dalam mengawal RUU Sisdiknas dibutuhkan. Para akademisi di LPTK, seperti Unnes, bisa mengkaji pasal RUU Sisdiknas yang memprioritaskan Negara Kesatuan Republik Indonesia alias wajib ada dan tidak ada negosiasi. Misalnya, peran penyelenggaraan pendidikan masyarakat dan pendidikan digital.
”Lalu, pasal yang sifatnya negosiasi substansi, misal perubahan nama pendidikan informal jadi pendidikan nonformal, hingga yang hanya lebih ke perbaikan redaksi bahasa,” kata Doni.