Habitus Baru Gereja untuk Menghargai Pangan
Dalam peringatan HPS 2022 ini, gereja di Keuskupan Agung Jakarta mendorong umatnya untuk lebih menghargai pangan dengan makan secukupnya, tidak membuang makanan, dan berbagi bahan makanan sehat.
Hari Pangan Sedunia 2022 dijadikan momentum untuk mendorong umat Katolik di Keuskupan Agung Jakarta untuk membentuk habitus baru menghargai pangan sebagai wujud penghormatan martabat manusia. Caranya dengan bergerak nyata memberikan akses pangan bagi masyarakat yang berkekurangan, seperti mengupayakan pola makan secukupnya, tidak membuang makanan, serta mengadakan gerakan solidaritas berbagi bahan makanan sehat.
Melalui peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) 2022, Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo mengajak umatnya mengamalkan ajaran sosial gereja untuk menghormati martabat manusia. Tema HPS yang dipilih adalah ”Menghargai Pangan sebagai Wujud Penghormatan Martabat Manusia”.
”Perayaan Hari Pangan Sedunia 2022 dapat membantu kita untuk menyadari bahwa salah satu hak dasar manusia adalah hak atas kebutuhan makanan. Dalam rangka menghormati martabat manusia, kita dapat bertanya pada diri kita masing-masing, apa yang bisa kita lakukan agar saudara-saudara kita yang tertinggal bisa memiliki kesempatan yang sama atas hak dasar untuk pangan,” kata Kardinal Suharyo dalam Surat Gembala.
Surat Gembala Hari Pangan Sedunia 2022 tersebut ditayangkan melalui media Youtube saat misa pada Sabtu (15/10/2022) pukul 17.00 di Gereja Santa Monika, Tangerang Selatan, Banten.
Baca juga : Sampah Makanan Indonesia Mencapai Rp 330 Triliun
Dalam Surat Gembala tersebut, Kardinal Suharyo juga menyebutkan pesan Paus Fransiskus bahwa saat ini sebenarnya tersedia makanan yang cukup untuk semua orang. Namun, tidak semua orang dapat memperoleh bagian.
Di Indonesia juga banyak makanan yang terbuang dan dikonsumsi berlebihan. Sementara di sisi lain banyak yang mengalami kekurangan.
Data yang ditampilkan dalam Surat Gembala tersebut menunjukkan, pada 2000-2019, sebanyak 39,8 persen sampah di Indonesia merupakan sampah makanan (KLHK, 2020). Sampah tersebut berkisar 115-184 kilogram per kapita per tahun (Bappenas, 2021).
Dalam rangka menghormati martabat manusia, kita dapat bertanya pada diri kita masing-masing, apa yang bisa kita lakukan agar saudara-saudara kita yang tertinggal bisa memiliki kesempatan yang sama atas hak dasar untuk pangan.
Jika itu dihitung dalam uang, Surat Gembala yang mengutip pemberitaan Kompas (19/5/2022) menyebutkan, nilai sampah makanan di Indonesia mencapai Rp 330 triliun. Itu artinya setiap orang Indonesia rata-rata membuang sampah makanan Rp 2,1 juta per tahun.
Baca juga : Sampah Makanan Indonesia Mencapai Rp 330 Triliun
Menurut Ketua Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Keuskupan Agung Jakarta Romo Adrianus Suyadi SJ, gerakan yang digaungkan oleh Kardinal Suharyo tersebut dilatarbelakangi ingin membuat gerakan berkelanjutan terkait Hari Pangan yang selama ini hanya berupa kegiatan seremonial.
”Kita memikirkan bagaimana Hari Pangan Sedunia, gak cuma perayaan sebuah event yang sehari saja dirayakan dengan bazar makanan sehat. Tapi, kami memikirkan bagaimana ini menjadi tindakan yang berkelanjutan, Kebetulan kami menemukan liputan Kompas soal sampah makanan yang menginspirasi” ujar Romo Adri dalam wawancara melalui Zoom.
Ketua Tim Karya HPS Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi Keuskupan Agung Jakarta Hendricus Aritomo menambahkan, gereja juga ingin membentuk habitus baru bagi umatnya.
”Habitus baru dengan keberanian untuk berkata cukup saat makan di rumah, restoran, dan di acara seremonial lainnya,” katanya.
Tidak ada yang tertinggal
Hari Pangan Sedunia yang diperingati setiap tanggal 16 Oktober mengambil tema yang berbeda setiap tahun. Tahun ini, tema yang diusung adalah ”No One Should be Left Behind” (Jangan Sampai Ada yang Tertinggal).
Tema ini dipilih Food and Agriculture (FAO), badan pangan PBB, karena meski dunia telah mengalami banyak kemajuan pembangunan, masih banyak orang tertinggal yang tidak memperoleh manfaat dari perkembangan peradaban, inovasi, dan pertumbuhan ekonomi.
Ketahanan pangan global menghadapi berbagai tantangan dan ancaman. Diawali dari pandemi Covid-19 selama dua tahun ini yang mengganggu rantai pasar global, menyusul kemudian terjadinya konflik bersenjata di beberapa wilayah, dan perubahan iklim. Hal tersebut diikuti dengan meningkatnya harga pangan, energi, dan pupuk.
Menurut laporan terbaru FAO, ”The State of Food Security and Nutrition in the World 2021”, sekitar 828 juta orang berisiko kelaparan di Afghanistan, Etiophia, Somalia, Sudan Selatan, dan Yaman. Selain itu, tercatat 3,1 miliar orang tidak mampu membeli makanan sehat.
Masyarakat inilah yang mengalami akses pangan terbesar dan paling terpukul oleh masalah yang ditimbulkan akibat dari goyahnya ketahanan pangan global.
Baca juga : Berbagi Makanan Kurangi Sampah
Gerakan aktual
Kardinal Suharyo dalam Surat Gembala-nya juga mengundang umat Katolik untuk bertindak secara aktual ikut membuka akses agar saudara-saudara yang disebut golongan lemah, miskin, dan terpinggirkan serta penyandang disabilitas bisa memiliki hak yang sama untuk pangan.
Contoh konkret yang disebutkan adalah mengupayakan pola makan secukupnya dan tidak membuang makanan serta mengadakan gerakan solidaritas berbagi bahan makanan sehat untuk saudara-saudara yang berkekurangan.
Selain itu, umat Katolik juga dapat menggerakkan lingkungan masyarakat di sekitarnya untuk menanam tanaman pangan (misal sukun, kentang, ubi jalar, singkong) pada lahan kosong dan menyediakannya bagi warga yang membutuhkan.
Kardinal Suharyo juga mendorong para pelaku usaha di bidang makanan untuk mengumpulkan makanan yang tidak terjual atau berlebih yang masih layak konsumsi dan menyalurkan makanan kepada masyarakat yang membutuhkan. Dalam hal ini, diperlukan kerja sama dengan pihak atau lembaga lain yang mempunyai kompetensi di bidangnya.
Menurut Hendricus, gerakan kepedulian pangan dalam Surat Gembala tersebut juga disosialisasikan kepada semua paroki di Keuskupan Agung Jakarta melalui Youtube yang ditayangkan pada misa pada Sabtu (15/10/2022) dan Minggu (16/10/2022) di semua gereja Keuskupuan Agung Jakarta.
”Paroki yang akan mewujudkan kegiatan tersebut, misalnya proses pengumpulan dilakukan pada minggu pertama dan ketiga, dan akan terus berlanjut setiap bulan. Paroki juga akan melakukan kampanye-kampanye terkait kepedulian pangan tersebut,” ujarnya.
Romo Adri menambahkan, sudah ada beberapa paroki yang membuat posko, mengumpulkan bahan makanan berlebih, lalu membagikannya kepada saudara-saudara yang membutuhkan.
Paroki Cijantung, Duren Sawit, dan Sunter sudah memulai gerakan tersebut. Tiga paroki tersebut mengajak umatnya untuk membawa bahan makanan ataupun makanan kering berlebih untuk dikumpulkan di depan gereja saat misa hari Sabtu atau Minggu.
Sementara itu, gereja juga bekerja sama dengan Foodcycle terkait gerakan berbagi makanan berlebih dari makanan yang tidak terjual/berlebih yang berasal dari pelaku usaha makanan. Foodcycle Indonesia merupakan yayasan nonprofit bank makanan di Indonesia.
”Kalau ada makanan berlebih dari umat yang mengadakan hajatan atau makanan tak terjual dari restoran umat dan masih layak makan, bisa kerja sama dengan Foodcycle. Kami menawarkan channel itu,” kata Romo Adri.
General Manajer Foodcycle Indonesia Cogito Ergo Sumadi membenarkan hal tersebut. ”Kami diminta atau dipercaya oleh KAJ sebagai alternatif partner bank makanan untuk menampung dan mendistribusi makanan berlebih yang didonasikan oleh jemaat gereja/paroki, sekolah Katolik, dan usaha F&B milik jemaat Katolik,” katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Tak hanya itu, langkah lain yang bisa dilakukan pada gerakan kepedulian pangan ini, menurut Hendricus, adalah sosialisasi kepada umat saat kursus persiapan pernikahan. Para calon pengantin juga diajak berbagi makanan berlebih saat pesta pernikahan dan menyalurkannya kepada masyarakat yang membutuhkan.
Baik Hendricus maupun Romo Adri berharap Hari Pangan Sedunia 2022 yang diperingati oleh gereja setiap tahun tidak sekadar menjadi peringatan seremonial belaka. Namun, melalui Surat Gembala, terbentuk habitus baru dari umat Katolik untuk menghargai pangan sebagai wujud penghormatan martabat manusia.