Literasi Semakin Berkembang, Melampaui Ruang Kelas
Literasi terus berkembang, tak terbatas membaca dan menulis. Penguatan literasi juga dikaitkan dengan pembelajaran, politik, sosial, ekonomi, budaya, dan teknologi dengan visi memperkuat pembelajaran sepanjang hayat.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
Puncak peringatan Hari Literasi Internasional atau di Indonesia disebut Hari Aksara Internasional digelar di Kuta Mandalika, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Kamis (8/9/2022). Peringatan yang digelar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tahun ini menghadirkan tema Transformasi Literasi dalam Konteks Merdeka Belajar.
Peringatan Hari Aksara Internasional (HAI) sejak tahun 1967 mengedepankan semangat penuntasan buta huruf. Mengacu pada hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2021, angka buta aksara di Indonesia tinggal 1,56 persen atau sekitar 2,7 juta orang. Jumlah tersebut menurun jika dibandingkan dengan tahun 2020 sebesar 1,71 persen atau sekitar 2,9 juta orang.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim mengatakan, penuntasan buta aksara sejalan dengan semangat utama Merdeka Belajar, yaitu meningkatkan kompetensi literasi dan numerasi peserta didik. ”Kami di Kemendikbudristek saat ini terus mendorong dengan berbagai upaya untuk mencapai tujuan itu,” kata Nadiem.
Berdasarkan hasil Asesmen Nasional tahun 2021 yang antara lain mengukur kompetensi literasi dan numerasi siswa, terdapat 43 persen peserta didik yang mampu memenuhi standar minimum literasi. ”Untuk itu, kita harus semakin mendorong inisiatif-inisiatif yang berfokus pada peningkatan kemampuan literasi, salah satunya dengan menerapkan Kurikulum Merdeka,” kata Nadiem.
Nadiem mengajak para pemangku kepentingan pendidikan untuk bergerak bersama memastikan pelajar di Indonesia memperoleh pendidikan literasi yang efektif, relevan, dan menyenangkan. ”Mari kita terus sukseskan Asesmen Nasional dengan penerapan Kurikulum Merdeka dan menciptakan lingkungan belajar yang mendukung kemajuan literasi dengan bergerak serentak mewujudkan Merdeka Belajar,” kata Nadiem.
Literasi adalah masalah martabat dan hak asasi manusia dan tujuan kita untuk menghasilkan masyarakat yang melek aksara. Ingat tugas kita belum selesai.
Refleksi pendidikan
Secara terpisah, Ketua Umum Perkumpulan Literasi Indonesia Wien Muldian di Jakarta, Sabtu (10/9/2022), mengatakan, kompetensi literasi dan numerasi dalam konteks hari ini dan ke depan mesti dilihat tidak hanya untuk menemukan dan memetakan masalah pendidikan dengan menggunakan instrumen evaluasi. Selain itu, juga tidak sekadar sebagai bahan refleksi dan evaluasi pembelajaran di sekolah.
”Inisiatif dengan fokus peningkatan kemampuan literasi tidak hanya urusan Kurikulum Merdekanya Kemendikbudristek. Literasi sebagai kecakapan hidup menjadi tanggung jawab pemangku kepentingan pendidikan dan kebudayaan. Dengan literasi, setiap manusia Indonesia dapat memiliki kemampuan menyelesaikan masalahnya, bekerja sama secara tim, mengevaluasi diri sendiri dan kemampuan memanfaatkan teknologi untuk penghidupannya,” ujar Wien.
Wien menambahkan, keterampilan literasi yang bertransformasi dengan kondisi hari ini dapat menumbuhkan kepercayaan diri, memiliki kemampuan mengambil keputusan dapat bersosialisasi di tengah masyarakat dan juga memiliki keahlian untuk bekerja berdasarkan minatnya. ”Keterampilan literasi bukan sekadar urusan membaca dan menulis, melainkan juga urusan akses pada bacaan berkualitas yang membangun kecakapan hidup menyejahterakan,” kata Wien.
Director and Representative UNESCO Office Jakarta Mohammed Djelid mengatakan, peringatan HAI memberikan kesempatan untuk mengakses perkembangan serta memacu momentum bahwa literasi merupakan hak asasi manusia yang memiliki peran dasar dalam mewujudkan masyarakat yang lebih melek huruf. Karena itu, tema peringatan HAI 2022 yang diangkat UNESCO tahun ini ialah Transformasi Ruang Pembelajaran Literasi.
Tema itu bermakna memberikan kesempatan kepada dunia untuk memikirkan kembali fondasi yang sangat penting pada ruang pembelajaran literasi serta untuk membangun ketangguhan dan menjamin kualitas kesetaraan dan pendidikan inklusif bagi semua.
”Literasi adalah masalah martabat dan hak asasi manusia dan tujuan kita untuk menghasilkan masyarakat yang melek aksara. Ingat tugas kita belum selesai,” ujar Djelid.
Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay mengatakan, HAI menjadi kesempatan untuk menilai kemajuan dan memacu momentum untuk merayakan literasi sebagai hak asasi manusia yang esensial yang memainkan peran mendasar dalam masyarakat. Mengutip intelektual dan pendidik Brasil, Paulo Freire, keaksaraan harus menjadi ”praktik kebebasan, sarana yang digunakan pria dan wanita untuk menangani realitas secara kritis dan kreatif dan menemukan cara untuk berpartisipasi dalam transformasi dunia mereka”.
Audrey menyebutkan, pada tahun 1979, hanya 68 persen penduduk dunia yang bisa membaca dan menulis. Pada tahun 2020, angka ini meningkat menjadi 86,7 persen. Terlepas dari kemajuan ini, masih ada sekitar 771 juta pemuda dan orang dewasa di seluruh dunia masih belum memiliki keterampilan keaksaraan dasar, sekitar 60 persen di antaranya adalah perempuan.
Pandemi Covid-19 memperburuk masalah ini. Penutupan dan gangguan sekolah yang disebabkan oleh pandemi kemungkinan telah mendorong hilangnya pembelajaran dan putus sekolah, terutama pada populasi rentan.
Berkembang
Keterampilan literasi itu sendiri berkembang seiring dengan semakin banyaknya orang yang terlibat dengan informasi dan pembelajaran melalui teknologi digital. Literasi memberdayakan dan membebaskan orang.
Keaksaraan meningkatkan kehidupan dengan memperluas kemampuan yang pada gilirannya mengurangi kemiskinan, meningkatkan partisipasi di pasar tenaga kerja, serta memiliki efek positif pada kesehatan dan pembangunan berkelanjutan. Perempuan yang diberdayakan oleh literasi memiliki efek riak positif pada semua aspek pembangunan. Mereka memiliki pilihan hidup yang lebih besar untuk diri mereka sendiri dan dampak langsung pada kesehatan dan pendidikan keluarga mereka, dan khususnya, pendidikan anak perempuan.
”Akses yang lebih baik ke perangkat digital, konektivitas internet yang lebih baik, dan ketersediaan platform pembelajaran online yang semakin meningkat, membuka peluang baru untuk program pendidikan dan literasi. Kita perlu memanfaatkan sepenuhnya potensi teknologi untuk meningkatkan pembelajaran literasi dan meningkatkan kehidupan orang-orang” kata Direktur Institut UNESCO untuk Pembelajaran Seumur Hidup David Atchoarena,
Ada kesadaran yang berkembang bahwa tantangan literasi harus dihadapi dengan pendekatan yang mencakup semua subsektor dan semua kelompok umur. Hal ini membutuhkan pengembangan sistem pembelajaran yang dilembagakan yang perlu menawarkan kesempatan belajar yang fleksibel dan mendukung pembelajaran di semua tahap kehidupan seseorang.
Kini, cara program keaksaraan yang lebih kreatif dan produktif di luar kelas telah dipelajari dalam konteks lingkungan rumah, perpustakaan, penjara, dan lingkungan digital. Lembaga pembelajaran berbasis masyarakat dapat berperan sebagai ruang belajar yang memungkinkan kelompok rentan dan terpinggirkan berpartisipasi.
Bentuk-bentuk pengajaran dan pembelajaran yang dilembagakan seperti itu menawarkan kesempatan untuk pelatihan keterampilan membaca dan mata pencaharian, promosi kesehatan dan kewarganegaraan, pendidikan dasar, dan pelatihan kejuruan, sejalan dengan prinsip belajar sepanjang hayat, dan dalam konteks masyarakat lokal.