Sertifikasi Guru yang ”Membelenggu” tapi Dinantikan
RUU Sisdiknas akan ”memutihkan” kewajiban sertifikasi bagi guru dalam jabatan. Ketentuan sertifikasi bagi guru yang sudah mengajar dinilai menghambat upaya menyejahterakan para pendidik.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
Keharusan guru-guru Indonesia yang mengajar di satuan pendidikan harus memiliki sertifikat pendidik bakal ”diputihkan” dalam draf Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Antrean guru mengikuti pendidikan profesi guru dalam jabatan yang diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen bakal berakhir.
”Pendidikan profesi guru (PPG) dalam jabatan itu perjalanan panjang yang sulit, lebih sulit PPG daripada kuliah S-1 dulu. Kita berdarah-darah, terseok-seok, tetapi penentuan kelulusan kayak ujian nasional, sekolah tiga tahun tetapi ditentukan hasil ujian beberapa hari,” ujar salah seorang guru peserta PPG dalam jabatan yang menyampaikan postingan di media sosial PPG prajabatan dan dalam jabatan, awal September ini.
”Apakah seterusnya akan begini? Kegiatannya seperti diperuntukkan untuk mahasiswa yang umurnya masih muda dan tenaganya masih luar biasa, yang hidupnya masih mikirin untuk diri sendiri,” tuturnya.
Meski tidak mudah lulus dari keikutsertaan program sertifikasi guru, ketika nama guru masuk dalam daftar dinas pendidikan setempat, tentulah menggembirakan. Bayangan untuk diakui sebagai guru profesional di depan mata, ketika lulus dan memenuhi syarat administratif lainnya, guru pun akan mendapat tambahan satu kali gaji pokok setara PNS setiap bulan. Artinya, ada harapan untuk peningkatan kesejahteraan.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR, Selasa (30/8/2022), mengatakan, kewajiban sertifikasi untuk guru dalam jabatan melalui PPG dalam jabatan bakal ”diputihkan”.
Ada sekitar 1,6 juta guru yang belum disertifikasi secara otomatis dinyatakan sebagai guru profesional dan mendapat penghasilan tambahan untuk peningkatan kesejahteraan. Jumlahnya bisa bertambah banyak jika pendidik di lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) dan nonformal diakui sebagai guru formal seperti diatur dalam RUU Sisdiknas.
Meski anggaran pemerintah untuk program sertifikasi dan pembayaran tunjangan profesi guru (TPG) membengkak tiap tahun, kajian Bank Dunia terhadap pelaksanaan sertifikasi guru pada 2009, 2011, dan 2012 menunjukkan program sertifikasi guru belum meningkatkan prestasi guru dan siswa secara signifikan. Sertifikasi guru hanya efektif meningkatkan minat kaum muda memilih pendidikan calon guru.
Syarat menjadi guru
Nadiem mengatakan, kewajiban mengikuti PPG merupakan syarat untuk calon guru yang akan mengajar di satuan pendidikan. Adapun guru yang sudah mengajar di sekolah tidak lagi harus menjalani PPG dalam jabatan.
”PPG prajabatan itu untuk calon guru. Dengan demikian, PPG menjadi bisa fokus untuk menyiapkan guru-guru baru untuk mendukung transformasi pendidikan, guna menjawab kebutuhan peningkatan kualitas pendidikan,” ujarnya.
Sesuai dengan Pasal 109 di RUU Sisdknas draf Agustus di laman https://sisdiknas.kemdikbud.go.id, disebutkan pada Ayat (1) setiap orang yang akan menjadi guru wajib lulus dari pendidikan profesi guru. Di Ayat (2) disebutkan, pemerintah pusat memenuhi ketersediaan daya tampung pendidikan profesi guru untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan.
PPG prajabatan itu untuk calon guru. Dengan demikian, PPG menjadi bisa fokus untuk menyiapkan guru-guru baru untuk mendukung transformasi pendidikan.
Dalam naskah akademik RUU Sisdiknas juga disebutkan, sertifikasi merupakan syarat menjadi guru, bukan syarat penerimaan tunjangan. Sesuai UU Guru dan Dosen, penuntasan sertifikasi guru seharusnya dari tahun 2005-2015.
Pada kenyataannya, masih ada sekitar 1,6 juta guru atau 50 persen dari total tiga juta guru di Indonesia belum bisa ikut sertifikasi karena keterbatasan kuota dari pemerintah dan PPG di LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) tiap tahun.
Dijelaskan, pada hakikatnya sertifikasi dan tunjangan memiliki tujuan berbeda. Sertifikat pendidik yang diperoleh dari penyelesaian PPG merupakan syarat mengajar sebagai guru. Adapun tunjangan merupakan bagian dari penghasilan guru.
Jika seseorang telanjur bekerja sebagai guru tanpa sertifikasi, guru tersebut semestinya tetap menerima penghasilan layak tanpa menanti sertifikasi. Hal itu bisa terjadi karena tak ada kewajiban sertifikasi sebelum lahir UU Guru dan Dosen ataupun disebabkan keterbatasan kapasitas PPG setiap tahunnya.
Pembatasan pemberian tunjangan profesi kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik dalam UU Guru dan Dosen menyebabkan tujuan sertifikasi dan pemberian tunjangan tidak tercapai.
Proses sertifikasi
Antrean sertifikasi guru sangat dinanti. Seraya menunggu kesempatan emas itu datang, banyak guru berjibaku untuk kuliah lagi. Sebab, sesuai ketentuan yang ada, guru harus berpendidikan S-1/D-IV program kependidikan dan non-kependidikan.
Salah satu guru transpuan yang akrab disapa Teacher Aurel alias Markus Malu Uran, yang kini mengajar SD Katolik Lewouran, Kecamatan Ile Bura, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, berupaya keras kuliah. Dirinya yang menjadi guru PNS dengan ijazah diploma dua lalu melanjutkan kuliah di Universitas Terbuka sejak tahun 2015 agar bisa meraih gelar S-1. Dia membiayai sendiri kuliah dengan tambahan pendapatan sebagai perias.
”Saya bersyukur sudah lulus dari UT tahun ini dan ikut wisuda di Tangerang meskipun menambah pengeluaran. Saya harus kuliah karena untuk sertifikasi harus sudah S-1 sehingga bisa mendapatkan TPG,” ujar Aurel di Jakarta, akhir Agustus lalu.
Mendapatkan sertifikat pendidik tentu membantu peningkatan karier. Bagi guru, dengan pengakuan sebagai guru profesional, hal itu akan meningkatkan kesejahteraan. Untuk guru ASN, ada penambahan TPG satu kali gaji pokok. Bagi guru non-ASN, besaran TPG dipatok sekitar Rp 1,5 juta per bulan.
Pada tahun 2022, para guru yang menjadi sasaran akan mendapat notifikasi di sistem informasi manajemen pengembangan keprofesionalan berkelanjutan (SIM PKB). Ada berbagai ujian yang dijalani sampai bisa menjadi mahasiswa PPG dalam jabatan di suatu LPTK yang mendapat izin dari pemerintah.
Setelah menjalani pendidikan hampir enam bulan, kelulusan ditentukan dari hasil uji kompetensi mahasiswa PPG (UMP PPG) yang meliputi uji kinerja dan uji pengetahuan. Nyatanya, jumlah guru yang tidak lulus proses sertifikasi selalu ada.
Direktur Pendidikan Kepala Sekolah, Pengawas Sekolah, dan Tenaga Kependidikan Kemendikbudristek Praptono mengatakan, di kurun 2016-2017/2018, sebanyak 12.527 guru TK hingga SMA/SMK dan SLB tidak lulus sertifikasi. Saat itu proses sertifikasi memakai model pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG). Kesempatan untuk bisa ujian ulang diberikan maksimal empat kali.
Para guru tersebut akhirnya mendapatkan kebijakan dengan upaya perubahan Peraturan Mendikbudristek terkait yang masih diharmonisasi. Para guru mendapatkan rekognisi pembelajaran lampau sebanyak 36 SKS untuk bisa ikut PPG dalam jabatan.
Para guru tersebut tidak harus menempuh pembelajaran dan ujian komprehensif, serta tidak mengikuti praktik pengalaman lapangan. ”Tetap ikut UMPPPG, tetapi hanya uji kompetensi pengetahuan,” kata Praptono.
Kebijakan sertifikasi para guru diberlakukan sejak tahun 2007. Ketika itu para guru senior yang hampir pensiun diutamakan. Mereka menjalani sertifikasi dengan portofolio. Semua bukti-bukti fisik tentang prestasi dan pelatihan selama menjadi guru harus dilampirkan demi mengejar skor 850-1.500 poin. Jika skor tidak terpenuhi, para guru akan mengikuti pendidikan yang diselenggarakan LPTK.
Celah kecurangan
Dalam perjalanannya, sertifikasi model portofolio membuka celah kecurangan. Muncul banyak kasus pemalsuan bukti prestasi dan pelatihan demi mengejar skor. Bahkan, banyak guru menjadi korban penipuan untuk meraih gelar sarjana yang lalu tidak diakui saat dilampirkan untuk portofolio.
Lalu, di tahun 2011, pelaksanaan sertifikasi mengalami perubahan signifikan. Kelayakan guru memperoleh sertifikat pendidik profesional tak lagi melalui penilaian portofolio, tetapi PLPG.
Namun, target pelaksanaan sertifikasi sekitar 3 juta guru tuntas pada tahun 2015 pun tidak tercapai. Sementara LPTK juga mendorong perubahan model sertifikasi untuk menjamin mutu lulusan.
Saat ini Kemendikbudristek menyatakan berpihak pada guru yang terbelenggu syarat sertifikasi untuk dinyatakan layak sebagai guru profesional sehingga peningkatan kesejahteraan terhambat. Niat tersebut tergantung pada keberhasilan mengegolkan RUU Sisdiknas dan merumuskannya di aturan turunannya.