Pembiayaan untuk Penyakit Gagal Ginjal Terus Meningkat
Penyakit gagal ginjal termasuk dalam penyakit dengan pembiayaan katastropik tertinggi dalam program JKN. Upaya pencegahan dan pengendalian harus ditingkatkan, terutama dengan meningkatkan literasi kesehatan masyarakat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Beban biaya kesehatan untuk penanganan penyakit gagal ginjal terus meningkat. Kesadaran masyarakat dalam pencegahan dan pengendalian pada faktor risiko pun perlu ditingkatkan untuk menekan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit tersebut.
Kementerian Kesehatan mencatat, pembiayaan untuk penyakit gagal ginjal pada 2018 mencapai Rp 1,9 triliun. Jumlah itu meningkat menjadi Rp 2,7 triliun pada 2019. Sementara pada 2020 tercatat sebesar Rp 2,2 triliun. Penurunan pada 2020 dinilai terjadi karena menurunnya kunjungan pasien ke rumah sakit akibat pandemi Covid-19.
Selain itu, data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan juga menunjukkan adanya tren peningkatan pada pelayanan gagal ginjal dalam program Jaminan Kesehatan Nasional. Setidaknya itu tampak dari biaya pelayanan CAPD (continuous ambulatory peritoneal dialysis) dan hemodialisis.
Pada 2018, biaya untuk CAPD sebesar Rp 143,3 miliar dan meningkat menjadi Rp 164,6 miliar pada 2019 dan Rp 179 miliar pada 2020. Sementara pada pelayanan HD meningkat dari Rp 4,7 triliun pada 2018 menjadi Rp 4,8 triliun pada 2019 dan Rp 5,2 triliun pada 2020.
”Penyakit gagal ginjal masuk di dalam 10 penyakit yang menyebabkan biaya katastropik. Upaya pelayanan kesehatan ginjal pun harus terus ditingkatkan, baik dalam aspek promotif, preventif, hingga kuratif,” tutur Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti dalam acara peringatan Hari Ginjal Sedunia di Jakarta, Rabu (9/3/2022). Hari Ginjal Sedunia diperingati setiap 10 Maret.
Ia menyampaikan, pemilihan terapi pengganti ginjal yang tepat dan terbaik diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien gagal ginjal. Berdasarkan rincian dari biaya tata laksana gagal ginjal per orang pada program JKN, transplantasi ginjal direkomendasikan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien yang lebih baik serta pembiayaan yang lebih efektif.
Untuk sekali tindakan transplantasi dibutuhkan biaya sekitar Rp 378 juta. Sementara untuk biaya pelayanan hemodialisis membutuhkan biaya Rp 92 juta per tahun untuk dua kali tindakan setiap seminggu dan layanan CPAD sebesar Rp 76 juta per tahun. Pada layanan hemodialisis dan CAPD harus dilakukan secara berkelanjutan.
Penyakit gagal ginjal masuk di dalam 10 penyakit yang menyebabkan biaya katastropik. Upaya pelayanan kesehatan ginjal pun harus terus ditingkatkan, baik dalam aspek promotif, preventif, maupun kuratif.
Meski begitu, Ghufron berharap upaya promotif dan preventif bisa dilakukan secara lebih optimal. Hal itu terutama untuk meningkatkan kesadaran masyarakat guna mencegah penyakit gagal ginjal serta menurunkan angka gagal ginjal pada tahap akhir, khususnya pada usia muda. Tidak sedikit masyarakat usia muda yang sudah memanfaatkan layanan hemodialisis.
Faktor risiko
Ketua Umum Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) Aida Lydia menyampaikan, kurangnya pengetahuan dan literasi masyarakat terkait kesehatan ginjal menjadi faktor yang turut menghambat pengendalian penyakit ginjal di Indonesia. Sekitar 90 persen pasien penyakit ginjal kronik tidak mengetahui penyakit yang diderita. Akibatnya, penanganan yang diberikan pun menjadi terlambat.
Ia menuturkan, tidak ada gejala khas pada pasien gagal ginjal. Meski begitu, pengendalian pada faktor risiko bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya gagal ginjal. Adapun faktor risiko dari penyakit ginjal kronik, antara lain hipertensi, diabetes, obesitas, dan merokok. Untuk mendeteksi adanya penyakit ginjal, pemeriksaan bisa dilakukan melalui tes urine dan tes kreatinin darah.
”Secara umum, masyarakat perlu diinformasikan mengenai faktor risiko penyakit ginjal kronik, langkah pencegahan, deteksi dini, dampak jangka panjang apa saja yang akan dialami, serta strategi pengobatan apa yang akan dijalani. Informasi-informasi ini sifatnya sangat spesifik sehingga perlu dipahami oleh pasien dan keluarga,” ujar Aida.
Pelaksana Tugas Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Elvieda Sariwati menuturkan, upaya pemerintah dalam mencegah dan mengendalikan penyakit ginjal kronik akan diprioritaskan pada kegiatan promosi, prevensi, dan deteksi dini. Upaya tersebut dilakukan melalui pendekatan keluarga dan siklus kehidupan masyarakat, seperti di lingkungan sekolah, fasilitas umum, dan tempat kerja.
”Puskesmas sebagai pembina wilayah juga berperan untuk mencegah faktor risiko penyakit tidak menular, termasuk penyakit ginjal kronik. Kolaborasi dan koordinasi pun terus diperkuat dengan berbagai sektor dan masyarakat agar pengendalian penyakit tidak menular bisa lebih baik,” tuturnya.