Moratorium izin perkebunan sawit yang berjalan dua tahun belum menunjukkan perbaikan tata kelola. Setahun lagi masa moratorium diharapkan dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pada 19 September 2020 nanti, tepat dua tahun pemerintah menetapkan kebijakan moratorium izin perkebunan sawit. Hingga dua tahun penerapan kebijakan tersebut, langkah pemerintah dinilai belum maksimal. Bahkan, sampai saat ini laporan atau capaian moratorium sawit juga belum dibuka secara luas kepada publik.
Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan Mohammad Teguh Surya dalam diskusi daring bertajuk ”Dua Tahun Moratorium Sawit: Meneruskan Langkah Maju”, Selasa (15/9/2020), menyatakan, dua tahun penerapan kebijakan moratorium sawit tidak ada kemajuan tata kelola yang lebih baik. Pandemi Covid-19 semakin membuat fokus terpecah sehingga membuat penerapan kebijakan ini semakin tidak optimal.
Berdasarkan data yang dikompilasi Yayasan Madani Berkelanjutan, luas perkebunan sawit di Indonesia hingga 2019 mencapai 31,1 juta hektar. Seluas 11,9 juta hektar di antaranya merupakan perkebunan dengan izin sawit tak bertutupan yang 92 persen izinnya milik perusahaan, 4,3 persen milik BUMN dan pekebun, serta 3,7 persen lainnya tidak terdata.
Dalam dua tahun ini, capaian moratorium sawit tidak banyak bergerak dari satu tahun yang lalu.
”Dalam dua tahun ini, capaian moratorium sawit tidak banyak bergerak dari satu tahun yang lalu. Perkembangan nasionalnya di Kemenko Perekonomian masih pada menyusun rekonsiliasi peta tutupan sawit, membentuk tim kerja, serta menetapkan konsolidasi data dan peta terintegrasi,” ujarnya.
Direktur Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) Indonesia Tiur Rumondang mengatakan, angka sertifikasi RSPO di Indonesia terus meningkat setiap tahun dan mencapai lebih dari 50 persen pada 2020. Namun, angka sertifikasi RSPO tidak merefleksikan keterhubungan dengan kebijakan moratorium sawit di Indonesia.
”Proses sertifikasi yang dilakukan oleh perusahaan atau petani dimotori oleh anggota-anggota RSPO yang sudah mendapat kejelasan hukum atas status lahan. Jadi, mereka memang berlokasi di luar hutan yang ditetapkan pemerintah Indonesia,” ujarnya.
Peningkatan sertifikasi RSPO juga diiringi dengan peningkatankonflik tentang lahan, terutama dari kasus masa lalu yang dialami anggota RSPO. Hal ini karena konflik masa lalu belum diakomodasi dalam upaya penyelesaian oleh kebijakan moratorium sawit saat ini.
Menurut Tiur, moratorium sawit di Indonesia hanya bisa dipandang positif oleh berbagai pihak jika sejumlah pilar atau substansi capaian dapat disampaikan secara luas kepada publik. Ia mencontohkan sejumlah pilar keberhasilan dalam RSPO, seperti produktivitas dan transformasi pasar, penurunan dampak negatif terhadap lingkungan, serta peningkatan kesejahteraan petani.
Selain itu, keterbukaan juga dinilai belum tampak dalam proses moratorium sawit. Bahkan, informasi terkait evaluasi hak guna usaha (HGU) perkebunan sawit masih kerap ditutupi oleh sejumlah lembaga negara dan kementerian. Padahal, informasi tersebut sangat dibutuhkan oleh sejumlah pihak di luar pemerintahan untuk mempromosikan sawit yang baik di Indonesia.
”Di zaman sustainable ini, keterbukaan memang menjadi suatu kunci. Kami mengharapkan tonggak capaian semacam ini dapat ditunjukkan oleh kebijakan moratorium dalam ukuran real-nya. Tujuannya untuk memenuhi maksud dari kebijakan itu sendiri,” ungkapnya.
Kebijakan moratorium sawit tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. Inpres tersebut menyatakan penghentian sementara izin perkebunan sawit selama masa tiga tahun atau hingga 2021.
Di Papua
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Boven Digoel, Papua, Djukmarian mengakui bahwa transparansi atau keterbukaan informasi terkait pelaksanaan kebijakan moratorium sawit masih minim. Hal tersebut terjadi karena sejumlah faktor, seperti lemahnya jaringan informasi dari pemerintah daerah ke media, khususnya di Papua.
Namun, Djukmarian menegaskan bahwa mayoritas izin perkebunan sawit di wilayahnya telah dikeluarkan sebelum ada kebijakan moratorium. Evaluasi HGU kemudian segera dilakukan setelah Presiden menerbitkan Inpres No 8/2018.
Sejumlah langkah yang telah dilakukan dari hasil evaluasi adalah mengalihkan seluruh proses perizinan secara manual menjadi elektronik melalui online single submission (OSS) dan aplikasi cerdas layanan perizinan publik. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pengecekan data dari daerah sampai ke pusat.
Selain itu, pemda juga memastikan terlaksananya laporan kegiatan penanaman modal (LKPM) bagi para pelaku usaha. Pemerintah Kabupaten Boven Digoel juga memastikan pelaksanaan kewajiban perusahaan terhadap masyarakat, terutama yang memiliki hak ulayat.