Dunia Sudah Rumit, Kita Jangan!
Manajemen stres adalah kunci menyiasati hidup yang tak mungkin bebas dari tekanan. Ini pula yang membuat orang tangguh.
Ujaran lama untuk fokus pada apa yang bisa kita kendalikan adalah mantra ampuh untuk kehidupan yang serba dinamis, tak bisa diprediksi, dan kadang gila. Agar tidak ikutan gila, kaum urban menepi dan melambatkan diri demi menggapai kedamaian.
”Dunia sekarang tidak baik-baik saja. Ada perang, ada isu politik. Aku tidak bisa apa-apa karena itu di luar kendaliku. Yang bisa kulakukan hanya mengendalikan pikiranku,” kata Ezgi Lu (30), wanita asal Turki yang kadang menetap di Bali, saat ditemui di sela BaliSpirit Festival 2024 di Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali, Jumat (3/5/2024).
Penari dan instruktur yoga ini percaya bahwa kedamaian tak harus diperoleh dari luar, melainkan dari dalam dirinya. Jika ia bisa memperoleh kedamaian, siapa tahu ia malah tak memperumit kehidupan. Dan jika ia bisa merasa damai, siapa tahu ia berkontribusi untuk mencapai kedamaian kolektif masyarakat.
Baca juga: Menikmati Hidup Tanpa Melakukan Apa-apa ala ”Niksen”
Kesadaran ini tak datang dalam semalam, tetapi lewat latihan yoga selama satu dekade. Mulanya ia menekuni yoga untuk mengolah tubuh dan pikirannya saat menari. Lama-lama yoga mengajarkan banyak hal lain, termasuk kesadaran (awareness) dan penerimaan diri.
Kedua hal ini yang kerap hilang dari diri manusia modern. Dunia yang serba cepat dan menuntut membuat manusia ngoyo atau memaksakan diri. Sinyal dari tubuh yang butuh istirahat diabaikan. Pikiran pun dipaksa terus bekerja hingga kelelahan.
Manusia seakan tak mengizinkan dirinya untuk mengambil jeda. Mengakui bahwa dirinya lelah, sedih, atau marah pun rasanya tak sempat. Kesadaran diri dimatikan dan tubuh ”disetel” seperti robot agar bisa menjalani keseharian.
Yoga membumikan kembali Lu yang mengaku ”berantakan” beberapa tahun lalu. Aktivitas fisik di yoga membuatnya mengenal kembali kekuatan dan batasan tubuhnya.
”Ada banyak physical activity di yoga. Kalau kita memaksakan diri, kita akan terluka. Ini mengajarkan kita untuk tak melakukan semua yang kita inginkan, tetapi fokus untuk melakukan yang terbaik,” ucapnya. ”Aku juga belajar bahwa proses itu tidak linear. Bisa saja hari ini aku handstand, tapi besok tidak bisa. Itu tidak apa-apa.”
Kalau kita memaksakan diri, kita akan terluka. Ini mengajarkan kita untuk tak melakukan semua yang kita inginkan, tetapi fokus untuk melakukan yang terbaik.
Pola pikir ini yang membantu Lu mengatasi stres sehari-hari. Ia mengelola stres dengan menerima kegagalan dan keberhasilan. Hasilnya efektif. Jika dulu ia stres akan sesuatu, misalnya, selama tiga jam, kini hanya jadi satu jam.
”Mengelola pikiran adalah kekuatan super yang bisa dimiliki manusia,” tutur Lu yang juga instruktur di salah satu lokakarya BaliSpirit Festival 2024.
Menata diri
Lain lagi dengan Iulia Goga (39), warga Romania, yang menekuni yoga selama dua tahun terakhir. Tatanan dunia yang sempat kacau akibat pandemi Covid-19 membuatnya berani berhenti dari pekerjaan yang penuh tekanan. Goga akhirnya punya waktu untuk menata dirinya.
Ia lantas memulai perjalanan untuk menghubungkan pikiran, tubuh, dan jiwanya (mind, body, soul). Perjalanan itu mengenalkannya pada yoga. Ia pernah mencoba berbagai jenis yoga, termasuk yoga nidra yang mengajarkan cara istirahat secara sadar.
Di bawah arahan instruktur yoga Emily Kuser, Goga belajar untuk melemaskan sendi tubuh yang kaku agar energi bisa mengalir dengan lancar. Saat energi mengalir, saat itu pula tubuh beristirahat dengan optimal. Kuser menambahkan, teknik ini membantunya beristirahat setelah repot mengurus anaknya yang berusia lima bulan.
Respons tubuh pada yoga nidra ini berbeda-beda. Beberapa peserta yoga tertidur pulas hingga mendengkur, sementara Goga merasa inderanya semakin awas. Ia menyadari bebunyian akibat tiupan angin di jendela, bahkan bunyi napas rekannya di sebelah.
”Aku merasa lelah sekali sebelumnya. Tapi yoga nidra ini membuat energiku pulih. Kesadaran atas lingkungan sekitarku juga meningkat,” tutur Goga.
Jalan panjang untuk menata diri juga dilakukan praktisi kebugaran (wellness) asal Spanyol, Jordi Jules. Beberapa tahun sebelumnya, Jules adalah pejabat di industri perhotelan. Kariernya sukses, tapi penuh tekanan. Batinnya juga tak lantas puas dengan pekerjaan itu.
Jules lantas mencoba berbagai praktik kebugaran untuk mengelola stres dan agar bisa bekerja dengan lebih baik. Setelah menjajal yoga, ia mencoba qigong, yaitu teknik menggerakkan qi atau energi dalam tubuh. Ia juga mencoba quantum flow yang juga berfungsi mengolah tubuh.
Baca juga: BaliSpirit Festival 2024 Datangkan Ribuan Wisatawan
”Aku tak lagi jadi orang yang stres dan pemarah. Aku lebih tenang, tidurku lebih nyenyak, dan caraku berbicara juga jadi berbeda. Rekan-rekan kerjaku sampai terkejut,” tutur Jules.
Ada banyak praktik kebugaran yang bisa dipilih sesuai dengan preferensi masing-masing. Jules, misalnya, merasa quantum flow cocok dan berdampak baik untuk dirinya. Sementara itu, Goga lama-lama menemukan bahwa yoga yang dilakukan dengan iringan musik adalah yang paling cocok untuknya, khususnya musik berfrekuensi tinggi.
Mengelola stres
Menurut pendiri pusat kebugaran Jivaraga, Cindy Gozali, sebagian stres yang dialami masyarakat di zaman modern terjadi karena diri sendiri. Pikiran yang tidak mampu mengelola stres hingga kekhawatiran berlebih pun membuat masalah tampak lebih besar dari aslinya. Hal ini pada akhirnya menghambat orang untuk mencari solusi.
”Kebanyakan adalah self-created problem. Kita suka drama. Kalau di Jakarta (atau kota besar lain), masalahnya banyak bersumber dari tekanan (sosial) dan perbandingan dengan orang lain. Misalnya, umur segini kita merasa seharusnya sudah begini dan begitu, tapi lupa untuk melihat apa yang benar-benar kita inginkan atau apa yang terbaik buat diri kita,” tutur Cindy yang juga CEO Jivaraga.
Sebagian orang lantas mengadopsi laku hidup generasi new age untuk mengatasi isu ini. Praktik kebugaran—baik yoga, meditasi, qigong, quantum flow, ataupun lari—menjadi sarana untuk mengolah kecemasan menjadi kesadaran.
Jika tak dikelola dengan baik, stres dapat menyebabkan kecemasan, gangguan panik, hingga depresi. Hal ini tak hanya bikin hati dan pikiran capek sendiri. Produktivitas individu pun ikut menurun.
Berdasarkan data Organisasi Buruh Internasional (ILO) tahun 2022, diperkirakan ada 12 miliar hari kerja yang hilang setiap tahun akibat depresi dan kecemasan. Kerugian jutaan dollar AS tak terhindarkan. Amerika Serikat, misalnya, merugi sekitar 300 juta dollar AS tiap tahun akibat stres di tempat kerja (Kompas, 14/10/2023).
Baca juga: Bertahan dalam Intaian Stres
Keterampilan untuk mengelola stres menjadi sangat penting di zaman sekarang. Selain layanan konsultasi psikologi yang kian akrab dengan masyarakat, industri kebugaran pun ikut tumbuh. Sejumlah pusat kebugaran dibuka untuk mengakomodasi kaum urban yang ada di ambang stres.
Aktor sekaligus instruktur yoga Anjasmara pun tak ketinggalan membuka studio yoga Asmaradana Sanctuary di Jakarta. Studio ini didirikan setelah ia menekuni yoga selama 10 tahun. Baginya, yoga membantunya tenang serta sadar diri. Dengan mendirikan studio yoga, siapa tahu ia bisa membagi hal itu ke publik.
”Saat ada masalah, saya jadi tahu jalan keluar yang mesti diambil dan bisa berpikir secara jernih,” ujarnya. ”Saya memang tidak bisa mengusir stres, tapi saya bisa mengelola stres. Saya jadi tetap bisa tersenyum walau cicilan menumpuk dan ada banyak tugas. Ha-ha-ha.”
Anjasmara benar. Stres adalah keniscayaan yang tak terelakkan. Daripada menyalahkan keadaan, mungkin kitalah yang mesti membenahi pikiran. Dunia sudah kepalang mumet, kita jangan ikut-ikutan.