Usai Bergelut dengan Hidup, Kulari ke Ubud
Sebagai lumbung ”spiritualitas”, Ubud menyediakan berbagai sarana untuk memulihkan diri. Inilah ”healing” sebenarnya.
Sudah lama Ubud dikenal sebagai ”lumbung” spiritualitas. Warga dari penjuru dunia jauh-jauh datang ke Bali demi menyembuhkan batin dan terhubung kembali dengan alam semesta. Setelah babak belur bergelut dengan kehidupan, mereka pulih dan terlahir kembali di Ubud.
Perjalanan ke Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali, menempuh jarak sekitar dua jam naik mobil dari Bandara I Gusti Ngurah Rai yang ada di Kabupaten Badung. Jika jalanan macet, perjalanan bisa lebih lama. Tak ada yang bisa dilakukan selain berharap kaki tidak keram setelah menginjak pedal kopling dan rem terus-terusan.
Ubud kini memang padat. Turis tumpah ruah. Walakin, Ubud tetap menjadi magnet bagi kaum urban yang mencari kedamaian dan ingin memperdalam spiritualitas. Orang-orang bersuara lembut dan kalem—yang hampir bisa dipastikan rutin bermeditasi dan yoga—berkumpul di Ubud yang jadi pusat wisata kebugaran (wellness) di Bali.
Tak salah jika Ubud menjadi destinasi pemulihan jiwa dan raga. Menurut maknanya, Ubud berasal dari kata ubad atau obat. Obat yang dimaksud tak melulu merujuk ke hasil racikan farmasi atau pengobatan modern. Keseimbangan fisik, psikologi, dan emosi diyakini sebagai penyembuhan (healing) yang hakiki. Hal ini pula yang mungkin dicari Julia Roberts dalam film Eat, Pray, Love (2010).
Tanpa menyembuhkan batin yang terluka, fisik manusia akan ikut sakit. Dunia medis mengenal ini dengan istilah gangguan psikosomatis. Sejumlah pihak bahkan meyakini bahwa emosi negatif yang lama terkubur suatu hari akan menyebabkan kanker. Louise Hay, penulis buku You Can Heal Your Life, misalnya, didiagnosis menderita kanker serviks saat berusia 50-an tahun. Ia percaya penyakit ini muncul dari kegetirannya setelah diperkosa saat kecil.
Kian banyak orang yang menyadari pentingnya keseimbangan fisik dan psikologi untuk sehat. Itu pula yang mengantar hampir 2.000 orang ke BaliSpirit Festival (BSF) 2024 yang berlangsung di Yoga Barn, Ubud, pada 1-5 Mei 2024. BSF adalah festival yoga tahunan yang berlangsung sejak 2008. Setiap tahun, festival ini diikuti peserta dari rata-rata 60 negara seperti Amerika Serikat, China, Thailand, Swis, dan Korea Selatan.
Tahun ini, BSF menyediakan lebih dari 150 lokakarya yoga, meditasi, penyembuhan, dan pengembangan diri. Ada pula pertunjukan musik dunia dan seni.
Rasanya tak salah menyebut BSF sebagai ”keturunan” gerakan spiritualitas baru dari tahun 1960-an alias new age. Praktik new age mencakup, antara lain, yoga, meditasi, pembacaan tarot, dan ilmu astrologi. Namun, jangan dibayangkan bahwa ini semua praktik yang monoton dan usang. Sebaliknya, mereka berkembang sesuai zaman.
Yoga, misalnya, kini dikombinasikan dengan gerakan akrobatik dan mewujud jadi acroyoga. Meditasi juga berkembang, tak melulu harus dilakukan dalam senyap atau dengan pernapasan teratur.
Penyembuhan
Meditasi di kelas praktisi sound healing, Aga Salim, Kamis (2/5/2024), berlangsung dengan iringan bebunyian halus dari handpan, shamanic drum, singing bowl, gong, flute, hingga marakas. Bunyi itu diyakini dapat membawa seseorang masuk ke tingkat kesadaran yang lebih dalam. Ibaratnya seperti berjalan menelusuri alam batiniah.
Meditasi dimulai dengan duduk senyaman mungkin di lantai sambil menyadari napas. Mengikuti arahan Aga, sekitar 40 orang di ruangan mengambil napas dalam-dalam lewat mulut dan mengembuskannya lewat mulut pula.
Pernapasan mulut ini lama-lama menjadi semakin cepat hingga akhirnya peserta mengalami hiperventilasi (napas cepat). Hiperventilasi biasanya dialami orang yang mengalami gangguan kecemasan atau serangan panik. Saat panik atau cemas, hiperventilasi bisa terasa menakutkan. Namun, dalam sesi meditasi ini, hiperventilasi ”dipancing” untuk meredam aktivitas korteks prefrontal, yakni otak bagian depan yang mengatur logika.
Saat korteks prefrontal beristirahat, amigdala (bagian otak yang mengolah ingatan dan emosi) aktif. Menurut Aga, itulah saat ketika berbagai emosi negatif dan memori yang menyakitkan muncul. Tubuh diajak tidak melawan emosi, memori, dan trauma yang muncul. Terima saja dan luapkan jika perlu.
”Sebelum-sebelumnya ada yang nangis kejer, marah-marah, ada juga yang ketawa. Setiap orang merilis (emosinya) secara berbeda,” ucap Aga yang juga praktisi di pusat kebugaran Jivaraga. ”Kita masih menganggap nangis itu lemah, mengganggu. Kita tidak diizinkan mengeluarkan emosi sehingga itu tertahan dan tersimpan dalam tubuh.”
Bebunyian selama meditasi mengirim gelombang yang menggetarkan molekul tubuh. Menurut Aga, getaran itu turut membantu tubuh merilis emosi. Jalan kesembuhan terbentang lebar saat seseorang mau menengok dan mengobati luka batinnya.
Baca juga: Sengaja atau Tidak, Mereka Kini Jadi Selebritas
”Saat ada hal yang bikin tidak nyaman, orang cenderung memilih melupakan. Mereka berpikir, ‘Aku enggak mau berurusan dengan itu dulu. Aku mau pergi healing dulu ke Bali.’ Itu enggak menyelesaikan masalah,” katanya. “Time does not heal, but time makes you forget (waktu tidak menyembuhkan, tetapi waktu membuatmu lupa).”
Mungkin karena ingatan manusia kian pendek pula, orang lupa bahwa dirinya adalah kesatuan atas pikiran, tubuh, dan jiwa (mind, body, and soul). Akibat lupa, sebagian manusia hidup tanpa kesadaran (awareness). Keseharian dijalani dengan mode autopilot bagai robot sehingga kurang bermakna.
Minimnya kesadaran juga membuat manusia lupa mengenal dirinya. Intuisi menumpul karena terlalu sering diabaikan demi mengikuti arus zaman. Meminjam istilah Thomas L Friedman, hidup di era globalisasi itu datar.
”Kalau hidup mau lebih baik, mulai dengan awareness. Ibarat naik ojek online, kita harus tahu kita ada di mana supaya bisa dijemput. Awareness membuat kita tahu kita ada di mana agar bisa mencapai tujuan,” ucap CEO dan pendiri Jivaraga, Cindy Gozali.
Industri kebugaran
Kesadaran akan mind, body, and soul setelahnya menjadi ceruk untuk mengembangkan wisata kebugaran. Cofounder BaliSpirit Festival I Made Gunarta mengatakan, BSF mulanya diadakan untuk mengangkat pariwisata Bali seusai tragedi Bom Bali I pada 2002.
Pada saat yang sama, ia dan istrinya, Meghan Pappenheim, berpikir mendalami pariwisata kebugaran yang dulu belum berkembang di Bali. Kebetulan, akar masyarakat Bali—yang mayoritas beragama Hindu—senapas dengan praktik kebugaran ala new age, yakni yoga.
”Pada dasarnya, ini (BSF) bukan doktrin untuk agama tertentu. Kebetulan latar belakang yoga datang dari Hindu, tetapi kita tidak ambil sisi religiusnya. Kita ambil semangatnya,” ucap Made. “Itu salah satu cara kita hidup sehat. Yoga itu way of life (cara hidup).”
Wisata kebugaran rupanya diminati. Sebelum menyelenggarakan BSF, Made dan Meghan mendirikan The Yoga Barn yang menyediakan tempat serta kelas untuk yoga, meditasi, dan penyembuhan. Ini sukses menarik minat orang-orang dari berbagai penjuru dunia.
Menurut data Global Wellness Institute (GWI) 2020, nilai ekonomi sektor kebugaran secara global sebesar 436 dollar AS. Nilainya diperkirakan mencapai 700 miliar dollar AS pada 2023 dengan proyeksi pertumbuhan rata-rata 20 persen per tahun hingga 2025.
Baca juga: Lewat Nobar Kita Merayakan Harapan
Pertumbuhan industri kebugaran didukung pula oleh munculnya berbagai usaha makanan dan minuman sehat. Sayuri Tanaka, misalnya, mendirikan Sayuri Healing Food Café and Academy di Ubud. Kafenya menyediakan berbagai olahan makanan mentah (raw food), sementara akademinya mengajarkan publik untuk mengolah makanan mentah.
Makanan mentah—yakni makanan yang tidak dipanaskan dengan suhu tinggi—diyakini alami, organik, dan memiliki energi kehidupan. Energi itulah yang akan terpancar dari tubuh jika dikonsumsi.
”Ada energi cahaya bernama biofoton dalam makanan mentah. Itu adalah energi kehidupan,” ujar perempuan asal Prefektur Mie, Jepang, itu. ”You are what you eat,” tambahnya.
Ubud mapan dengan berbagai sarana untuk makan dan hidup sehat. Didukung alam yang mengirim getaran kesembuhan, tak salah jika orang-orang lari ke Ubud.