Di Balik Teror Pertanyaan “Kapan Nikah”
Pertanyaan “kapan nikah” trending di media sosial saat silaturahmi Lebaran. Dibutuhkan kesadaran diri agar tidak terpancing amarah atau rasa tertekan ketika menghadapi pertanyaan itu.
Semakin matangnya usia menikah di masyarakat tidak mengurangi pertanyaan ”kapan nikah” yang sering dilontarkan saat silaturahmi Lebaran. Meskipun hanya basa-basi, pertanyaan itu menjadi cerminan ekspektasi sosial terhadap status pernikahan seseorang. Para lajang harus selalu bersiap menghadapinya.
Bagi sebagian orang, momen Lebaran membuat waswas. Masalahnya, ketika bersilaturahmi dengan keluarga, pertanyaan bersifat personal, seperti ”kapan nikah”, tidak terhindarkan. Tidak peduli seberapa muda yang ditanya, ketika mereka diketahui belum memiliki pasangan, pastilah pertanyaan itu muncul.
Meskipun sering kali hanya basa-basi, pertanyaan itu tak jarang membuat kesal dan bingung menjawabnya. Karena menjadi keresahan bersama kaum lajang dan belum menikah, berbagai konten media sosial berkaitan dengan pertanyaan ”kapan nikah” bersebaran di media sosial jelang Lebaran. Mulai dari lelucon, motivasi, hingga berbagai tips untuk menjawabnya.
Fenomena tersebut bukan hal baru lagi. Meskipun zaman berubah, pertanyaan sama masih terus muncul ketika bertemu kerabat atau keluarga, tidak hanya saat silaturahmi Lebaran. Padahal, perubahan-perubahan yang terjadi di tatanan sosial semakin menegaskan bahwa pernikahan bukan lagi hal utama yang ingin dicapai.
Pergeseran prioritas dengan ragam pertimbangan membuat sebagian orang tidak lagi buru-buru menikah. Hal ini tampak dari data tren median usia seseorang ketika pertama kali menikah atau melakukan perkawinan 1991-2017. Pada wanita yang berumur 25-49 tahun dan pernah melakukan perkawinan, usia saat melakukan perkawinan pertama semakin matang.
Sebagai perbandingan, pada tahun 1991, median usia saat kawin pertama kelompok wanita pada rentang usia tersebut adalah 17 tahun. Enam tahun setelahnya, usia saat wanita melakukan perkawinan pertama kali bertambah menjadi 18,6 tahun. Pada 2017, usia kawin pertama meningkat menjadi 21,8 tahun.
Hal ini menunjukkan pernikahan di usia muda atau di bawah 20 tahun semakin tidak diminati. Alih-alih menikah muda, para pemuda pemudi cenderung memilih menikah pada usia 21-25 tahun. Preferensi usia ideal untuk menikah tersebut tecermin dari 66,3 persen responden milenial dalam survei yang dilakukan IDN Times dan Alvara Research pada 2019.
Dalam survei yang sama, sebanyak 28,1 responden bahkan ingin menikah pada usia 26-30 tahun. Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin, perempuan cenderung memilih menikah pada usia yang lebih muda karena pertimbangan biologis.
Perubahan tren
Pergeseran preferensi menikah di usia yang lebih matang ini juga ditunjukkan dari tren status perkawinan kaum muda Indonesia. Berdasarkan data 2011 hingga 2021, tampak bahwa pemuda-pemudi Indonesia berusia 16 hingga 30 tahun yang berstatus lajang cenderung meningkat.
Sebagai perbandingan, pada 2011 sebanyak 51,98 persen dari kelompok muda ini berstatus lajang. Pada 2021, proporsinya meningkat menjadi 61,09 persen.
Sebaliknya, pemuda-pemudi yang berstatus kawin atau sudah menikah berangsur menurun. Pada 2011, proporsinya 46,5 persen, sementara pada 2021 hanya 37,69 persen kaum muda Indonesia yang sudah menikah.
Perubahan tren usia menikah ternyata tidak terjadi baru-baru saja. Menurut jurnal berjudul Tingkat, Pola dan Determinan Usia Kawin Wanita dan Pria (1995), pendewasaan usia saat menikah sudah terjadi sejak 1970-an dan 1980-an. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Dalam jurnal itu disebutkan bahwa terjadi peningkatan rata-rata usia kawin pertama di Indonesia dalam periode 1970-1990. Pada 1971, rata-rata usia kawin pertama di Indonesia tercatat 19,6 tahun dan pada 1990 menjadi 21,9 tahun.
Perubahan persepsi dan nilai-nilai tentang pernikahan mendorong pilihan menikah pada usia-usia yang lebih matang. Merujuk jurnal What Does It Mean to Be Single in Indonesia? Religiosity, Social Stigma, and Marital Status Among Never-Married Indonesian Adults (2018), setidaknya ada tiga hal yang mendorong perubahan persepsi budaya tentang pernikahan.
Pertama, akses pendidikan dan karier antara laki-laki dan perempuan yang lebih adil dan merata. Dengan akses pendidikan yang lebih mudah dan kesempatan berkarier lebih besar, perempuan memiliki lebih banyak pilihan selain menikah di usia muda.
Sebab, selama ini pernikahan memang sering dijadikan jalan keluar dari permasalahan kemiskinan masyarakat. Hal ini sangat berdampak bagi wanita yang sering kali menjadi obyek dari pernikahan sebagai solusi kemiskinan ini. Dengan modal pendidikan dan karier, setidaknya perempuan terhindar dari hal itu.
Kedua, pernikahan bukan lagi menjadi satu-satunya sarana untuk memenuhi kebutuhan emosional dan biologis. Banyaknya pilihan untuk memenuhi kebutuhan emosional dan biologis di luar pernikahan sering menjadi alasan mengapa banyak orang menunda atau bahkan memilih tidak menikah.
Selain itu, hadirnya internet turut berdampak terhadap pilihan menunda untuk menikah. Sejumlah studi mengungkapkan bahwa internet membuka luas kesempatan pencarian pasangan atau jodoh sesuai kriteria yang diinginkan. Dengan ini, para lajang menjadi lebih terbuka dan tidak tergesa-gesa menetapkan pilihannya. Namun, di sisi lain, kemudahan komunikasi dari internet membuat para lajang lebih terkoneksi dan merasa cukup atas kehidupannya tanpa pasangan.
Tekanan sosial
Sayangnya, perubahan nilai tentang pernikahan yang umum terjadi di kalangan muda ini masih sulit diterima masyarakat, khususnya generasi sebelumnya. Meskipun kondisi sosial, budaya, ekonomi terus berubah, pernikahan masih menjadi urusan sosial masyarakat. Tidak heran, pertanyaan ”kapan nikah” sering kali bukan hanya basa-basi belaka, melainkan menyiratkan ekspektasi sosial atas status pernikahan seseorang.
Hal ini tidak dapat dilepaskan dari persepsi dan budaya masyarakat bahwa normal dan sah-sah saja menanyakan atau mengurusi urusan personal seseorang, termasuk usia dan status pernikahan. Berbeda dengan masyarakat di negara Barat, di mana urusan personal bukan menjadi konsumsi publik sehingga ada batasan dan rasa hormat akan informasi yang bersifat pribadi.
Karena itu, seseorang yang masih lajang ataupun memilih untuk tidak menikah dianggap tidak memenuhi ekspektasi sosial budaya masyarakat. Bahkan, status lajang berkepanjangan dan pilihan tidak menikah dianggap sebagai sebuah kegagalan dan inkompeten sosial. Meskipun sebagian masyarakat terutama kaum muda melihat pernikahan adalah sebuah pilihan personal, di masyarakat pernikahan tetap menjadi semacam cultural demand atau tuntutan budaya.
Pasalnya, bagi sebagian masyarakat, pernikahan menjadi salah satu tujuan hidup yang harapannya dapat membuat hidup lebih bahagia. Narasi-narasi melalui konten hiburan ataupun media sosial tentang pernikahan selama ini menawarkan gambaran pernikahan yang bahagia sehingga menimbulkan keinginan untuk mencapai hal serupa.
Dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat pun tampaknya kebahagiaan pernikahan mengaburkan fakta-fakta problematika rumah tangga yang sesungguhnya tidak mudah dijalani. Hal ini tecermin dari hasil survei Indeks Kebahagiaan Indonesia 2021.
Berdasarkan survei tersebut, orang yang sudah menikah cenderung merasa lebih bahagia dibandingkan dengan para lajang dan orang yang sudah bercerai. Meskipun dilihat dari skornya, selisihnya tidak begitu jauh, yakni 72,1 untuk kelompok masyarakat yang sudah menikah dan 71,58 untuk kelompok lajang.
Menyadari bahwa budaya masyarakat Indonesia serta tuntutan sosial terhadap status pernikahan seseorang tidak dapat dihindari, para lajang diharapkan dapat menerima realita sosial ini. Alih-alih mengeluh terus tentang pertanyaan ”kapan nikah” yang kerap terucap baik sengaja maupun tidak sengaja, para lajang harus bersiap menghadapinya.
Dibutuhkan kesadaran diri agar tidak terpancing amarah atau rasa tertekan ketika pertanyaan itu muncul. Menurut dosen Fakultas Psikologi Universitas Bina Nusantara, Jakarta, Pingkan CB Rumondor, kesadaran yang dimaksud adalah bahwa keputusan menikah, menunda pernikahan, atau tidak menikah merupakan putusan pribadi, bukan orang lain. Perkataan orang lain tentang status kita seharusnya tidak mengubah keberhargaan diri kita.
Para lajang juga perlu membekali diri dengan pengenalan sikap dan nilai diri tentang pernikahan. Dengan pengenalan ini, kemantapan diri tentang nilai yang diyakini dapat mematahkan keraguan dari pertanyaan-pertanyaan orang lain. Sebisa mungkin jangan sampai terjadi memutuskan untuk menikah hanya karena tekanan atau tuntutan dari orang lain dan lingkungan masyarakat. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Jadi Kapan Nikah? Entar Aja...