Memacu Pertumbuhan Ekonomi Tak Cukup dengan Jamu Manis Moneter
Agar ekonomi domestik kembali menggeliat, tidak cukup hanya dengan jamu manis BI. Kebijakan pemerintah juga dibutuhkan.
JAKARTA, KOMPAS – Meski memberikan sedikit kelegaan, pemangkasan bunga acuan oleh Bank Indonesia tidak serta-merta akan menggerakkan perekonomian domestik yang tengah dilanda pelemahan, terutama kelas menengah. Belanja masyarakat, terutama kelas menengah dapat didorong, antara lain melalui insentif fiskal.
Setelah mempertahan suku bunga acuannya pada level 6,25 persen selama empat bulan berturut-turut, Bank Indonesia (BI) akhirnya memberikan jamu manis alias menurunkan suku bunganya sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6 persen. Keputusan ini mempertimbangkan perkiraan inflasi yang tetap terjaga rendah pada 2024 dan 2025 dalam sasaran 1,5-3,5 persen, penguatan dan stabilitas nilai tukar rupiah, serta diperlukannya upaya untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi.
Baca juga: BI Pangkas Suku Bunga Acuan Menjadi 6 Persen
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual berpendapat, keputusan yang diambil oleh BI, antara lain, mempertimbangkan deflasi selama empat bulan berturut-turut dan pelemahan yang terjadi di sektor riil. Namun, permasalahan tersebut tidak bisa diselesaikan semata-mata melalui kebijakan moneter.
”Memang perlu ada kebijakan lain di luar penurunan suku bunga juga. Artinya, harus ada simultan dengan kebijakan lain di luar moneter,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (18/9/2024).
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Agustus 2024 mengalami deflasi secara bulanan sebesar 0,03 persen, berlanjut dari Mei 2024 sebesar 0,03 persen, Juni 2024 sebesar 0,08 persen, hingga Juli 2024 sebesar 0,18 persen. Selain itu, inflasi umum secara tahunan pada Agustus 2024 turun menjadi 2,12 persen dibandingkan Juli 2024 yang sebesar 2,13 persen.
Pelemahan ekonomi juga tecermin dari belanja masyarakat. Survei Konsumen BI pada Agustus 2024 menunjukkan, proporsi konsumsi terhadap pendapatan (average propensity to consume ratio) masyarakat turun 0,3 persen dibandingkan bulan lalu menjadi 73,5 persen. Bahkan, proprosi konsumsi tehadap pendapatan tersebut turun lebih dalam sebesar 2,1 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.
Selain itu, Survei Penjualan Eceran pada Juli 2024 mencatat, kinerja penjualan eceran terkontraksi 7,2 persen secara bulanan. Turunnya penjualan eceran tersebut, terutama disumbang oleh kelompok makanan, minuman, dan tembakau serta suku cadang, masing-masing terkontraksi 8,4 persen dan 4,9 persen.
Bisa dengan memberikan insentif (pajak), terutama untuk kelas menengah-atas untuk belanja, karena porsi belanja paling besar, sekitar 75-80 persen didongkrak oleh kelas menengah-atas. Lalu, jaga daya beli semua lapisan masyarakat, lalu kebijakan perdagangan dan investasi yang terbuka terhadap investasi domestik maupun asing, terlebih pada sektor-sektor padat karya.
David menjelaskan, kontraksi pada sektor belanja masyarakat, terutama belanja barang tahan lama dan pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor yang banyak menyerap banyak tenaga kerja memberikan gambaran situasi ekonomi domestik terkini. Oleh sebab itu, dibutuhkan sinergi antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal guna mendorong belanja masyarakat, khususnya kelas menengah.
”Bisa dengan memberikan insentif (pajak), terutama untuk kelas menengah-atas untuk belanja, karena porsi belanja paling besar, sekitar 75-80 persen didongkrak oleh kelas menengah-atas. Lalu, jaga daya beli semua lapisan masyarakat, lalu kebijakan perdagangan dan investasi yang terbuka terhadap investasi domestik ataupun asing, terlebih pada sektor-sektor padat karya,” ujar David.
Senada, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, momentum penurunan suku bunga acuan oleh BI diperkirakan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi tetap solid. Hal ini karena terdapat potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan melambat dalam jangka pendek.
Namun, penurunan suku bunga bukanlah solusi untuk semua permasalahan ekonomi, termasuk penurunan daya beli kelas menengah. Tren penurunan daya beli terjadi karena kondisi struktural perekonomian, mulai dari melambatnya industri padat karya, termasuk industri manufaktur, peningkatan tenaga kerja di sektor informal dan stagnansi pendapatan riil masyarakat.
”Justru, kebijakan fiskal yang memiliki peran besar dalam mengatasi penurunan daya beli masyarakat, melalui kebijakan yang mendorong penyerapan tenaga kerja, reformasi struktural dalam perekonomian, dan reindustrialisasi yang juga akan berdampak pada peningkatan pendapatan riil masyarakat sehingga pada akhirnya berdampak positif pada peningkatan daya beli masyarakat,” ujar Josua.
Baca juga: BI Pangkas Suku Bunga, Asing Masih Akan Banjiri Pasar Modal Nasional
Likuiditas dan ruang fiskal
Pemangkasan suku bunga acuan pada gilirannya diharapkan dapat memberikan angin segar bagi likuiditas serta ruang fiskal. Bagi perbankan, pelonggaran kebijakan moneter tersebut dapat menurunkan biaya dana, sehingga mendorong penurunan suku bunga kredit.
Josua menjelaskan, penurunan suku bunga acuan akan direspons oleh penurunan suku bunga Pasar Uang Antar-Bank (PUAB) yang selanjutnya akan berpengaruh pada penurunan suku bunga perbankan, termasuk suku bunga kredit. Umumnya, penurunan suku bunga deposito membutuhkan waktu sekitar 1 bulan, sedangkan transmisi pada suku bunga kredit sekitar 3-6 bulan, tergantung dari kondisi likuiditas dan risiko kredit perbankan.
”Penurunan suku bunga perbankan diperkirakan akan mendorong solidnya permintaan kredit mempertimbangkan penurunan cost of borrowing. Bila dilihat dari dampak terhadap PDB (produk domestik bruto) Indonesia, dapat dikatakan transmisi penurunan tingkat suku bunga terhadap perekonomian riil mempunyai tenggat waktu (time lag),” tutur Josua.
Dengan demikian, kombinasi antara pelonggaran kebijakan moneter dan stance kebijakan makroprudensial yang tetap longgar berpotensi mendorong permintaan kredit perbankan dan mendukung fungsi intermediasi perbankan pada sektor riil.
Josua memperkirakan, suku bunga acuan BI akan berada pada kisaran 5,5-5,75 persen pada akhir 2024 seiring arah kebijakan Bank Sentral AS, Federal Reserve (The Fed), yang diperkirakan dapat memangkas bunga acuan 75-100 bps hingga akhir 2024.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, menambahkan, penurunan suku bunga acuan sebesar 25 bps berpengaruh ke penurunan imbal hasil Surat Berharga Nagara (SBN) hingga 25 bps. Artinya, penurunan tersebut akan membuat pasar secara otomatis bergejolak, sehingga pemerintah menurunkan imbal hasil SBN sesuai dengan penurunan suku bunga.
”Kalau market masih menginginkan suku bunga yang tinggi, tidak bisa terealisasi. Ini berarti tambahan utang akan mengikuti harga yang baru, sehingga beban bunga atau imbal hasil yang dibayarkan per bulan otomatis semakin berkurang untuk tahun berjalan. Ini akan menguntungkan pemerintah, terutama dalam penerbitan utang tahun ini sehingga memberikan ruang fiskal,” ujar Tauhid dihubungi terpisah.
Selain itu, kewajiban-kewajiban Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mempunyai utang atau pembiayaan lain yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara floating, juga otomatis akan berkurang bebannya. Meski penurunan suku bunga acuan berdampak positif bagi likuiditas, dampaknya tidak terlalu signifikan.
Menurut Tauhid, pemangkasan bunga acuan menjadi 6 persen terbilang masih membuat likuiditas cenderung ketat. Sebab, penyaluran kredit oleh sektor perbankan tidak hanya berdasarkan bunga acuan, melainkan juga mengikuti permintaan dari pasar.
”Kalau demand kurang, sedangkan penurunan suku bunga tidak signifikan, masih akan seret untuk likuiditas. Ekonomi dari sisi demand harus dibangkitkan, sehingga likuiditas yang seret bisa semakin lancar. Kalau demand tinggi, walau suku bunga masih relatif tinggi, perbankan dapat menyalurkan kredit lebih tinggi, bisa jadi bantuan sosial, atau program-program pemerintah lainnya di luar sektor perbankan,” kata Tauhid.
Kami perkirakan Fed Fund Rate (suku bunga acuan The Fed) akan turun tiga kali tahun ini dan tahun depan adalah empat kali. Perkiraan kami berdasarkan asesmen terbaru, kemungkinannya turun pada September, November, dan Desember tahun ini, masing-masing 25 basis poin.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, BI sudah menakar probabilitas pemangkasan suku bunga acuan negara maju, sehingga tidak perlu lagi menunggu keputusan The Fed. Selain itu, penguatan nilai tukar rupiah, terjaganya tingkat inflasi dalam sasaran target 1,5-3,5 persen, kebutuhan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, serta pemberian ruang fiskal dan likuiditas perbankan mendorong BI menurunkan suku bunga acuannya menjadi 6 persen.
Ke depan, lanjut Perry, BI akan terus mencermati ruang penurunan suku bunga kebijakan sesuai dengan prakiraan inflasi yang tetap rendah, nilai tukar rupiah yang stabil dan cenderung menguat, serta pertumbuhan ekonomi. BI memperkirakan, pertumbuhan ekonomi nasional pada 2024 akan berada pada kisaran 4,7-5,5 persen dengan titik tengahnya sebesar 5,1 persen.
”Kami perkirakan Fed Fund Rate (suku bunga acuan The Fed) akan turun tiga kali tahun ini dan tahun depan adalah empat kali. Perkiraan kami berdasarkan asesmen terbaru, kemungkinannya turun pada September, November, dan Desember tahun ini, masing-masing 25 basis poin,” katanya dalam konferensi pers di Gedung BI, Jakarta, Rabu (18/9/2024).
Deputi Gubernur BI Juda Agung menambahkan, pertumbuhan kredit pada Agustus 2024 tercatat sebesar 11,4 persen atau melambat dibandingkan Juli 2024 yang sebesar 12,4 persen. Hal ini, terutama, disebabkan oleh kredit valuta asing akibat apresiasi nilai tukar rupiah.
Secara industri, total kredit yang disalurkan telah mencapai 51 persen dari rencana bisnis bank-bank. Dengan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar 7 persen, alat likuid yang dimiliki oleh bank masih besar, ekspansi fiskal pemerintah pada triwulan IV-2024, serta pendanaan bank dari luar negeri memberikan ruang ekspansi kredit perbankan hingga akhir 2024.
”Penurunan suku bunga acuan tentunya akan mendorong demand for credit (permintaan kredit) dan juga membuat cost of fund (biaya dana) semakin murah,” tutur Juda.
Baca juga: Kondisi Dunia Usaha Terpuruk, Penurunan Suku Bunga Acuan Genting