JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pengamat menilai polemik yang terjadi dalam tubuh Kamar Dagang dan Industri atau Kadin Indonesia belakangan tidak lepas dari konflik kepentingan antara pebisnis dan pemerintah. Oleh sebab itu, butuh batas yang jelas antara kepentingan bisnis dan kepentingan politik agar persoalan serupa tidak berulang di masa depan.
Polemik dalam organisasi para pengusaha tersebut mengemuka saat beberapa perwakilan Kadin provinsi menggelar musyawarah nasional luar biasa (munaslub) yang menetapkan Anindya Bakrie sebagai ketua umum baru. Di sisi lain, posisi tersebut masih dijabat oleh Arsjad Rasjid selama periode 2021-2026 berdasarkan musyawarah nasional (munas) di Kendari, Sulawesi Tenggara, 2021.
Peneliti Senior Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Deni Friawan, berpendapat, perpecahan di dalam Kadin terjadi akibat konflik kepentingan, baik dari sisi pengusaha di dalam Kadin maupun pemerintah. Di satu sisi, kebanyakan para pengusaha cenderung bergantung kepada pemerintah, terutama terkait perizinan dan pembagian proyek dari pemerintah.
”Biasanya, itu (perizinan) harus punya kedekatan politik. Makanya, Kadin sebagai organisasi usaha digunakan untuk melobi pemerintah dan mendapatkan daya tawar,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Senin (16/9/2024).
Di sisi lain, Deni melanjutkan, pemerintah juga memiliki kepentingan tersendiri dengan para pelaku usaha, misalnya terkait dengan kebijakan yang akan diambil atau terkait biaya politik untuk modal pencalonan dalam pemilihan umum (pemilu). Atas dasar itu, pemerintah kemudian ”cawe-cawe” alias ikut campur dalam kepengurusan Kadin.
Menurut Deni, kepengurusan di dalam Kadin selama ini tidak pernah lepas dari keterlibatan unsur pemerintah, termasuk dalam pemilihan ketua umum.
Harusnya ada pemisahan antara bisnis dan politik, setidaknya dalam sistem politiknya harus terang benderang, siapa yang membiayai, transparansi dan akuntabilitas, seperti pembiayaan partai politik, pemilihan kepala daerah, serta pemilihan umum.
Deni menambahkan, banyak di antara pebisnis terlibat dalam partai politik dan bahkan membuat partai politik guna bisa mendekati kekuasaan. Upaya tersebut dilakukan guna memperlancar usahanya sehingga memperoleh keuntungan, baik melalui perizinan maupun proyek-proyek yang diberikan pemerintah.
Celah kedekatan antara pemerintah dan para pebisnis terbuka ketika sistem demokrasi, sistem kepartaian, serta sistem pemilihan yang berjalan mensyaratkan biaya besar. Dari situlah, para pebisnis terlibat dalam politik, baik dengan turun langsung sebagai calon pemimpin maupun berperan di balik layar sebagai pemodal calon-calon pemimpin.
”Setelah itu, mereka (para pebisnis) akan mendapat bagiannya, karena tidak ada makan siang gratis, itu konsekuensi dari yang ada sekarang. Harusnya ada pemisahan antara bisnis dan politik, setidaknya dalam sistem politiknya harus terang benderang, siapa yang membiayai, transparansi dan akuntabilitas, seperti pembiayaan partai politik, pemilihan kepala daerah, serta pemilihan umum. Tanpa itu, akan begini terus,” kata Deni.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal mengatakan, Kadin yang semestinya mewakili kepentingan para pelaku usaha justru sering kali diasosiasikan memiliki akses terhadap keputusan politik pemerintahan. Hal ini menimbulkan bias antara kepentingan pelaku usaha dan pengambil keputusan di pemerintahan.
Konflik kepentingan tersebut, Faisal melanjutkan, pernah disampaikan oleh Kunio Yoshihara, penulis buku The Rise of Ersatz Capitalism in Southeast Asia. Ia menggambarkan, sistem ekonomi yang dijalankan di Indonesia adalah ersatzkapitalisme, yang artinya batas-batas antara pelaku usaha dan pengambil kebijakan itu sering kali tidak jelas.
”Kalau kita melihat di negara-negara Asia Timur yang sukses membangun ekonominya, memang ada kerja sama antara pelaku usaha/pebisnis dan pemerintah. Akan tetapi, mereka menyekat dengan jelas antara pelaku usaha dan pemerintah. Nah, di Indonesia sering kali batas-batas ini menjadi blur, menjadi kabur,” tutur Faisal.
Ia menyebut, tidak adanya batasan jelas tersebut berpotensi menghambat laju pertumbuhan ekonomi. Sebab, pengambilan keputusan dipengaruhi oleh kepentingan kelompok bisnis tertentu.
Di sisi lain, kepentingan bisnis yang diwadahi dalam organisasi menjadi tidak murni merepresentasikan kepentingan para pelaku usaha. Situasil ini pada gilirannya dapat mengurangi kepercayaan para pelaku usaha dan pelaku pasar terhadap Kadin.
Perpecahan
Sebagaimana diberitakan Kompas.id sebelumnya, perpecahan dalam tubuh Kadin telah melahirkan dua kubu yang saling mengklaim telah mengikuti ketentuan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Kadin Indonesia dalam hal penentuan ketua umum. Kubu Anindya selaku ketua umum baru yang dihasilkan munaslub di Jakarta, Sabtu (14/9/2024), sedangkan kubu Arsjad menolak munaslub tersebut.
Pemilihan Anindya dianggap kuorum karena telah dipilih oleh 28 perwakilan Kadin dari total 35 perwakilan Kadin tingkat provinsi serta 25 utusan asosiasi organisasi pengusaha tingkat nasional di bawah naungan Kadin. Adapun pergantian ketua itu dilakukan guna melancarkan koordinasi dan relasi dengan pemerintahan baru, rezim Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (Kompas.id, 15/9/2024).
Di sisi lain, kubu Arsjad menyebut, munaslub itu bersifat ilegal karena tidak memiliki dasar penyelenggaraan karena munaslub hanya dapat digelar apabila ketua umum melakukan pelanggaran dan menerima dua kali peringatan tertulis yang tidak diindahkan. Munaslub dianggap tidak sah lantaran terdapat 21 perwakilan Kadin daerah yang tetap mendukung Arsjad sebagai ketua umum dan menolak penyelenggaraan munaslub (Kompas.id, 15/9/2024).
Sebelumnya, Ketua Kadin Arsjad Rasjid mengaku sedih dengan aksi perorangan dan kelompok yang hendak menguasai Kadin secara paksa. Namun, pihaknya tetap berkomitmen mendorong pertumbuhan ekonomi. Menurut dia, kita semua punya tugas berat mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen dalam 5 tahun ke depan agar Indonesia menjadi negara maju 2045.
”Agar tidak ada lagi rakyat yang hadapi kemiskinan dan stunting. Pembangunan tanpa meninggalkan siapa pun,” ujarnya, Minggu (15/9/2024).
Arsjad juga menjelaskan, pihaknya juga sudah membuat semacam peta jalan bernama ”White Paper” berisi usulan kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.