Agar Sawit Tak Redup seperti Komoditas Perkebunan Lainnya
Di tengah tantangan perkebunan, sawit tetap jadi kontributor utama ekonomi. Namun, regulasi harus diperbaiki.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
Di masa lalu, Indonesia pernah berjaya di kancah dunia sebagai penghasil utama berbagai komoditas perkebunan, mulai dari cengkeh, pala, tebu, karet, dan teh. Namun, seiring waktu, kejayaan berbagai komoditas perkebunan Indonesia merosot, meninggalkan sawit sebagai penopang utama ekonomi. Mari menjaga sawit agar tetap berjaya dan bertahan tidak seperti komoditas perkebunan lainnya.
Ketua Dewan Pengawas Indonesia Palm Oil Strategic Studies (IPOSS) Darmin Nasution mengatakan, Indonesia sejak abad ke-15 adalah gudangnya primadona komoditas perkebunan, seperti cengkeh dan pala. Keanekaragaman rempah-rempah itulah yang menarik kolonialis datang ke Tanah Air berusaha mengusai hasil kekayaan alam itu
Sampai sekitar abad ke-20, lanjut Darmin, Indonesia masih pemasok utama berbagai komoditas perkebunan di pasar dunia. Namun, seiring berjalannya waktu kinerja ekspor berbagai komoditas perkebunan Indonesia kian merosot. Alih-alih jadi eksportir, Indonesia malah jadi importir berbagai komoditas perkebunan. Kini, salah satu komoditas perkebunan yang masih cukup berjaya adalah sawit.
Sejatinya, pohon sawit bukanlah endemik asli Indonesia. Baru pada 1848, bibit kelapa sawit dikirim ke Tanah Air dari Afrika melalui Amsterdam dan Mauritius. ”Tanaman sawit kemudian menjadi berkah yang luar biasa bagi Indonesia,” ujar Darmin saat memberikan sambutan dalam acara peluncuran buku Sawit, Anugerah yang Perlu Diperjuangkan di Jakarta, Kamis (5/9/2024).
Industri sawit dan turunannya memberikan lapangan pekerjaan bagi 16 juta orang di seluruh penjuru Tanah Air. Sawit juga menjadi salah satu kontributor terbesar ekspor Indonesia. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor komoditas lemak dan minyak hewani/nabati dengan kode harmomisasi (harmonized code/HS) 15 pada periode Januari-Juli 2024 mencapai 14,04 miliar dollar AS atau berkontribusi 9,54 persen dari total ekspor nasional.
Namun, menurut Darmin, industri sawit mengalami sejumlah tantangan yang berat, baik dari dalam maupun luar negeri. ”Ini perlu ditanggulangi agar sawit bisa tetap berjaya supaya tidak meredup seperti komoditas lainnya,” ujar Darmin yang juga merupakan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian 2015-2019 ini.
Wakil Ketua Dewan Pengawas IPOSS Sofyan Djalil mengatakan, tantangan industri sawit saat ini adalah soal tata kelola. Industri sawit tengah menghadapi stagnasi produksi di kisaran 50 juta ton per tahun.
Salah satu penyebab stagnasi produksi karena persoalan kepastian hukum dan regulasi soal kepemilikan lahan sawit. Tumpang tindih lahan sawit dengan lahan lain terjadi akibat regulasi yang sering berubah. Dampaknya, produksi petani dan pengusaha sawit tidak dapat optimal.
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University Sudarsono mengatakan, selama ini industri sawit dihadapkan pada narasi sebagai pelaku deforestasi atau penggundulan hutan. Padahal, menurut dia, data penggunaan hutan kerap tidak akurat sehingga tidak betul-betul menghasilkan output ekonomi yang optimal. Sementara lahan sawit walau terbatas sudah berkontribusi nyata terhadap perekonomian.
Narasi ini sering digunakan oleh negara-negara Eropa untuk membatasi perdagangan sawit Indonesia di pasar mereka. Menurut dia, salah satu penyebab sawit dicap sebagai pelaku deforestasi lantaran adanya definisi yang berbeda yang diterapkan Uni Eropa dengan Indonesia.
Baik Sofyan maupun Sudarsono sependapat, dengan menyelesaikan soal kepastian lahan sawit yang tumpang tindih bisa meningkatkan produktivitas panen sawit. ”Ketika persoalan di hulu sudah selesai, produksi di hilir juga bisa lebih ditingkatkan,” ujar Sofyan yang juga merupakan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional 2015-2016.
Ketua Umum Gapki Eddy Martono mengatakan, yang dibutuhkan petani dan pengusaha adalah kepastian regulasi. Menurut dia, semua pelaku usaha sawit pasti menginginkan lahannya punya status hak guna usaha (HGU) yang kuat dan mengikat. Namun, perubahan regulasi yang sering terjadi menyebabkan masalah dalam status hukum lahan mereka.
”Kami membutuhkan kepastian dan kenyamanan usaha,” ujar Eddy Martono.
Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDKS) Eddy Abdurrachman mengatakan, untuk mendorong produktivitas panen sawit, perlu peremajaan pohon-pohon baru sawit. Dengan intensifikasi yang tepat, produktivitas panen bisa meningkat.
Dengan luas lahan sawit sekitar 16,3 juta hektar, jika produktivitas bisa digenjot menjadi 5 ton per hektar, dalam setahun total produksi sawit nasional bisa mencapai 81,5 juta ton. Dengan intensifikasi dan peremajaan yang tepat, produksi bisa meningkat bahkan tanpa perlu membuka lahan baru.