Jumlah Kelas Menengah Turun, Ketimpangan Kekayaan Makin Lebar?
Nilai tabungan masyarakat kelas menengah bawah terus menurun. Sebaliknya, kekayaan kelompok kaya kian meroket.
Apa yang bisa Anda pelajari dari artikel ini?
1. Seperti apa distribusi kekayaan di Indonesia?
2. Mengapa tabungan masyarakat kelas bawah kian terkikis?
3. Mengapa kelas menengah Indonesia semakin rentan turun kelas?
4. Apakah kelas menengah Indonesia bisa bertahan tanpa perlindungan sosial yang memadai?
5. Bagaimana kebijakan pemerintah harus menjawab tantangan ketimpangan?
Seperti apa distribusi kekayaan di Indonesia?
Distribusi kekayaan di Indonesia sangat tidak merata, di mana sebagian besar kapital dikuasai oleh segelintir orang kaya. Data dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menunjukkan, pada April 2024, dana tabungan masyarakat yang terkumpul mencapai Rp 8.703 triliun. Dari jumlah tersebut, 53,9 persen atau Rp 4.691 triliun adalah milik sekitar 40.000 orang, yang memiliki tabungan lebih dari Rp 5 miliar. Ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh kekayaan di republik ini dikuasai oleh kelompok kecil masyarakat.
Ketimpangan ini diperparah oleh kenyataan bahwa tren pertumbuhan nilai simpanan hanya terjadi pada kelompok super kaya. Sementara itu, masyarakat kelas bawah justru mengalami penurunan nilai tabungan. Pada Desember 2017, rata-rata tabungan pada kelompok yang memiliki simpanan kurang dari Rp 100 juta adalah sekitar Rp 3,4 juta per rekening. Namun, pada April 2024, rata-rata tabungan mereka menurun menjadi hanya Rp 1,9 juta per rekening.
Ketimpangan dalam distribusi kekayaan ini memengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesempatan ekonomi. Ketika sebagian besar kekayaan dikuasai oleh segelintir orang, kesempatan untuk memperbaiki kehidupan dan mencapai kesejahteraan semakin sulit bagi masyarakat kelas bawah.
Baca juga: Sepotong Kue Rp 400.000 dan Jet Pribadi, Pertegas Ketimpangan Kekayaan di Indonesia
Mengapa tabungan masyarakat kelas bawah kian terkikis?
Masyarakat kelas menengah dan bawah di Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan dan meningkatkan kondisi ekonomi mereka. Sebagian besar pendapatan mereka habis untuk kebutuhan sehari-hari sehingga mereka kesulitan untuk menabung. Bahkan, tabungan yang mereka miliki cenderung terkikis untuk memenuhi kebutuhan yang terus meningkat. Fenomena ini tecermin dalam data yang menunjukkan bahwa rata-rata tabungan kelompok dengan simpanan kurang dari Rp 100 juta turun dari Rp 3,4 juta pada Desember 2017 menjadi Rp 1,9 juta pada April 2024.
Tren penurunan nilai tabungan ini menunjukkan bahwa masyarakat kelas menengah dan bawah semakin sulit untuk menjaga stabilitas finansial mereka. Berbeda dengan kelompok super kaya yang terus mengalami peningkatan nilai simpanan, kelompok ini justru semakin terdesak oleh kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan. Hal ini menandakan bahwa ekonomi yang ada saat ini lebih menguntungkan kelompok yang sudah kaya, sementara kelompok yang lebih rentan semakin terpinggirkan.
Fenomena ini juga mencerminkan sistem ekonomi yang ada saat ini belum mampu memberikan perlindungan yang memadai bagi masyarakat kelas bawah. Tanpa adanya intervensi kebijakan yang tepat, kesenjangan ini akan terus melebar, membuat masyarakat kelas bawah semakin sulit untuk keluar dari jerat kemiskinan.
Baca juga: Ketimpangan Akses Ekonomi dan Jebakan Negara Berpendapatan Menengah
Mengapa kelas menengah RI semakin rentan turun kelas?
Dalam satu dekade terakhir, kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan yang signifikan, baik dari segi jumlah maupun daya beli. Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk kelas menengah turun dari 57,33 juta jiwa pada 2019 menjadi 47,85 juta jiwa pada 2024. Pandemi Covid-19 memainkan peran besar dalam penurunan ini, dengan banyaknya warga kelas menengah yang kehilangan pekerjaan atau beralih ke sektor informal. Scarring effect dari pandemi ini menyebabkan dampak jangka panjang pada perekonomian, di mana kelas menengah yang dulunya stabil kini menjadi lebih rentan.
Penurunan kelas menengah ini menunjukkan bahwa banyak dari mereka berada di ambang batas bawah kategori pengeluaran. Modus pengeluaran kelas menengah Indonesia hanya sedikit di atas batas bawah, yang berarti sedikit guncangan ekonomi saja dapat menyebabkan mereka jatuh ke kategori calon kelas menengah atau bahkan kelompok rentan. Dengan pengeluaran rata-rata hanya Rp 2.056.494 per kapita per bulan, mereka berada dalam posisi yang sangat rapuh, berbeda tipis dengan batas bawah kelas menengah.
Selain itu, upaya untuk naik kelas menjadi lebih sulit bagi kelas menengah. Untuk mencapai kelas atas, mereka harus meningkatkan pengeluaran hingga lebih dari Rp 7 juta per kapita per bulan, suatu pencapaian yang sulit diraih tanpa peningkatan pendapatan yang signifikan. Kondisi ini membuat kelas menengah Indonesia terjebak dalam siklus stagnasi, di mana mereka tidak bisa maju dan sangat rentan untuk jatuh.
Baca juga: Kelas Menengah RI Semakin Rentan, Cita-cita Negara Maju Dipertaruhkan
Apakah kelas menengah Indonesia bisa bertahan tanpa perlindungan sosial yang memadai?
Kelas menengah di Indonesia, meskipun jumlahnya besar, sering kali tidak mendapatkan perlindungan sosial yang memadai. Perlindungan sosial yang ada selama ini lebih diarahkan kepada kelompok miskin dan rentan, sementara kelas menengah yang menghadapi risiko seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) sering kali terabaikan. Program seperti Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang telah ada masih belum mencakup semua pekerja yang terkena dampak PHK, terutama mereka yang bekerja di sektor informal atau tidak terdaftar.
Dalam kondisi ekonomi yang tidak menentu, perlindungan sosial menjadi sangat penting bagi kelas menengah untuk menjaga stabilitas ekonomi mereka. Namun, minimnya akses terhadap program perlindungan sosial membuat banyak dari mereka harus mengandalkan tabungan atau aset yang dimiliki, yang sayangnya juga semakin tergerus akibat inflasi dan kenaikan biaya hidup.
Kebijakan pemerintah yang proaktif dalam menyediakan perlindungan sosial adaptif sangat diperlukan. Misalnya, memperluas cakupan jaminan sosial tidak hanya untuk mereka yang sudah tercatat dalam program-program pemerintah, tetapi juga bagi pekerja informal dan mereka yang rentan terkena dampak krisis ekonomi. Dengan demikian, kelas menengah bisa mendapatkan ”jaring pengaman” yang memadai untuk melindungi mereka dari risiko ekonomi yang tak terduga sehingga bisa terus berkontribusi positif bagi perekonomian nasional.
Baca juga: Tanpa Penguatan Kelas Menengah, Target Ekonomi 2025 Sulit Dicapai
Bagaimana kebijakan pemerintah harus menjawab tantangan ketimpangan?
Salah satu langkah yang perlu diambil adalah memastikan bahwa program bantuan sosial dan subsidi benar-benar tepat sasaran dan mampu membantu kelompok yang paling membutuhkan. Selain itu, perlu ada kebijakan yang mendorong inklusivitas dalam pertumbuhan ekonomi sehingga manfaat dari pertumbuhan tersebut dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Peran pemerintah dalam mengatasi ketimpangan ini sangat penting, terutama dalam menciptakan lapangan kerja yang berkualitas dan memberikan akses yang lebih baik terhadap pendidikan dan layanan kesehatan. Selain itu, kebijakan fiskal seperti penurunan pajak untuk kelompok menengah ke bawah dan peningkatan subsidi juga diperlukan.
Tanpa adanya langkah-langkah yang konkret dan terukur, ketimpangan yang ada tidak hanya akan terus bertahan, tetapi juga berpotensi semakin parah.
Baca juga: Kelas Menengah Turun Kelas, Kebijakan Apa yang Dibutuhkan?