Kepala daerah dengan kepemimpinan lemah berpotensi memunculkan peraturan problematik yang menghambat iklim berusaha.
Oleh
AGNES THEODORA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Kepastian hukum sangat penting untuk menjaga iklim berusaha dan pertumbuhan ekonomi nasional. Pelaku usaha berharap Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat konsisten mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi dan membatalkan revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah sesuai janji.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani mengatakan, pengusaha membutuhkan kepastian hukum dalam menjalankan bisnisnya. Dinamika politik yang terjadi beberapa hari terakhir ini pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal revisi UU Pilkada membuat iklim berusaha menjadi tidak pasti.
Ia menegaskan, pengusaha memang tidak terlibat dalam urusan politik. Pengusaha juga sebenarnya menghormati pandangan yang berbeda dari tiap lembaga negara seperti MK, Pemerintah, serta DPR. Namun, ia mengatakan, dalam negara hukum (rule of law), hukum semestinya memegang kedudukan tertinggi dalam penyelenggaraan negara.
”Kami hormati lembaga-lembaga yang punya pandangan sendiri, tetapi yang pasti adalah kita harus mengedepankan rule of law yang ada. Sama dengan berbisnis kita juga beretika, tentu saja berpolitik juga ada ininya (etikanya) sendiri,” kata Shinta dalam konferensi pers tentang penyelenggaraan Rapat Kerja dan Konsultasi Nasional (Rakerkonas) Apindo di Jakarta, Jumat (23/8/2024).
Rakerkonas yang akan digelar Apindo pada 28-30 Agustus 2024 di Surabaya, Jawa Timur, itu kebetulan juga akan mengangkat isu utama seputar masalah kepastian hukum dan isu tumpang-tindih regulasi yang selama ini sering menghambat perizinan berusaha dan iklim berinvestasi di tingkat pusat maupun daerah.
Shinta mengapresiasi keputusan pemerintah dan DPR yang akhirnya memutuskan untuk membatalkan revisi UU Pilkada dan menyatakan akan mengikuti putusan MK. Ia pun berharap gonjang-ganjing tentang aturan mencalonkan diri di Pilkada tidak berlanjut lagi.
Pemerintah dan DPR diharapkan konsisten mengikuti aturan yang ada sehingga seluruh tahapan Pilkada dapat berjalan dengan aman dan lancar.
”Kami apresiasi ini bisa diselesaikan dalam waktu singkat dan langsung ada keputusan dalam satu hari kemarin. Harapan kami, ini tidak akan berkelanjutan lagi. Sudah selesai. Sudah jelas aturan mana yang akan diikuti, agar kita bisa menjalankan Pilkada yang jujur dan adil,” kata Shinta.
Kami sangat berharap tidak akan ada akrobat politik lagi.
Senada, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Sarman Simanjorang berharap tidak ada lagi gonjang-ganjing politik yang bisa memunculkan ketidakpastian hukum menjelang tahapan pilkada.
”Kami sangat berharap tidak akan ada akrobat politik lagi. Kita lihat sendiri aksi unjuk rasa kemarin sudah membuat IHSG dan mata uang kita terkoreksi. Sangat mahal harga yang harus dibayar jika ada gonjang-ganjing lagi. Bukan hanya soal iklim berusaha yang terganggu, tapi juga masa depan ekonomi negara kita,” katanya.
Terlebih, tahapan pilkada masih panjang sebelum benar-benar berakhir pada Februari 2025 nanti. ”Kami apresiasi elite yang telah merespons aspirasi masyarakat dan menetapkan putusan MK sebagai landasan pilkada serentak. Kami harap suasana yang kondusif bisa terjaga sampai tahap akhir pilkada,” ucap Sarman.
Hasil pilkada menentukan
Gejolak yang sempat muncul pasca langkah DPR dan pemerintah ”melawan” putusan MK tidak hanya berdampak aspek kepastian berusaha secara umum. Aturan pencalonan Pilkada yang diutak-atik juga akan melahirkan kepala daerah tanpa integritas dan kapasitas yang mengganggu iklim berusaha serta menghambat kemajuan ekonomi di daerah.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman, kepala daerah yang terpilih dalam pilkada menentukan kualitas peraturan dan kebijakan yang akan dijalankan di daerah kelak.
Berdasarkan kajian KPPOD, yang merupakan organisasi di bawah naungan Apindo, peraturan daerah (perda) yang problematik dan menghambat iklim berusaha kerap muncul di daerah yang kepala daerahnya tidak memiliki kapasitas untuk memimpin, serta di daerah-daerah yang dikuasai dinasti politik.
"Daerah yang dipimpin oleh hasil politik dinasti itu juga adalah daerah-daerah yang juga memiliki kantong kemiskinan luar biasa," kata Armand.
Penelitian ”Desentralisasi, Dinasti Politik dan Kemiskinan di Indonesia” pada tahun 2015 oleh Sujarwoto dari Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, misalnya, menunjukkan konsekuensi buruk dinasti politik terhadap pembangunan dan pengentasan warga dari kemiskinan.
Penelitian itu menganalisis korelasi antara dinasti politik, pembangunan ekonomi, dan kemiskinan dengan menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Badan Pusat Statistik. Hasilnya, kemiskinan di daerah yang dikuasai dinasti politik tertentu lebih tinggi 5 persen dibandingkan dengan daerah yang tidak dikuasai dinasti politik.
Daerah yang dipimpin oleh hasil politik dinasti adalah daerah-daerah yang juga memiliki kantong kemiskinan luar biasa.
Itulah sebabnya, ujar Armand, pihaknya mendukung penuh putusan MK yang membuka ruang kompetisi lebih lebar dalam Pilkada. ”Agar tidak ada peluang untuk mengonsentrasikan dukungan hanya kepada satu calon. Sebab, kalau sudah seperti itu, sama saja kita memberi ruang kepada oligarki dan dinasti politik,” ujarnya.
Selama 24 tahun terakhir penerapan otonomi daerah, kondisi sistem yang tercipta belum solid. Sehingga, pada kenyataannya, berbagai produk kebijakan dan peraturan di daerah akan sangat bergantung pada komitmen politik, kapasitas, serta integritas kepala daerah.
”Artinya, ketika kepala daerahnya medioker saja, kepemimpinannya lemah, dan melayani kepentingan politik segelintir kelompok, pelayanan publik dan pembangunan di daerah juga akan terhambat," kata Armand.
Ketidakpastian hukum di Indonesia masih menjadi masalah besar yang menghambat pelayanan perizinan berusaha di berbagai daerah. Praktik pembuatan undang-undang yang "diam-diam" tanpa melalui konsultasi publik seperti yang dipertontonkan pemerintah dan DPR juga terjadi di daerah.
Armand mengatakan, perda yang strategis kerap tidak melibatkan konsultasi dengan berbagai elemen masyarakat. Misalnya, pelaku usaha, masyarakat adat, dan pegiat usaha mikro kecil (UMK).
"Kerap kali, ada konsultasi dan partisipasi publik, tetapi hanya formalitas. Kami coba tes di balik pengesahan berbagai perda bermasalah, ternyata dalam penyusunannya ada konsultasi publik, tetapi yang dipilih adalah orang-orang dan kelompok yang sudah pasti mendukung perda tersebut," kata Armand.