Tambang Ormas Keagamaan: Mudah Diberikan, Tak Mudah Dijalankan
Kegiatan harus dimulai dari eksplorasi untuk menemukan sumber daya dan cadangan serta kualitasnya. Lalu studi kelayakan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memberi ”karpet merah” izin tambangbatubara bagi organisasi kemasyarakatan keagamaan, yang telah diterima oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Namun, pengoperasiannya tak mudah dan menantang meski ormas keagamaan dapat bermitra dengan perusahaan lain. Perlu kajian dan evaluasi agar pengelolaan sumber daya alam tak buntung secara multiaspek.
Privilese penawaran izin tambang oleh pemerintah kepada ormas keagamaan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP No 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Batubara. Ormas keagamaan diprioritaskan sebagai penerima penawaran wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) eks Perjanjian Karya Pengusaha Pertambangan Batubara (PKP2B).
Dalam aturan itu disebutkan, kegiatan usaha pertambangan dilakukan badan usaha pertambangan milik ormas keagamaan. Mereka bisa bermitra, tetapi kepemilikan saham ormas keagamaan pada badan usaha harus mayoritas dan menjadi pengendali, serta tak dapat dipindahtangankan dan/atau dialihkan tanpa persetujuan menteri. Juga dilarang bekerja sama dengan pemegang PKP2B sebelumnya.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli, dihubungi di Jakarta, Rabu (31/7/2024), mengatakan, menerima atau menolak tawaran privilese pengelolaan tambang dari pemerintah ialah hak setiap ormas keagamaan. NU dan Muhammadiyah dengan berbagai perhitungan dan pertimbangan menerima. Namun, ada juga ormas keagamaan yang menolak tawaran tersebut.
Di sisi lain, ada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menjadi pengawas terhadap praktik pertambangan yang benar (good mining practice), serta terkait pelestarian lingkungan. ”Semua harus patuh terhadap aturan dan regulasi yang ada. Lalu (perlu diperhatikan) masyarakat yang terkena dampak, baik dari sisi sosial, budaya, tenaga kerja, maupun lainnya,” kata Rizal.
Rizal menambahkan, perlu dipahami bahwa investasi di bidang pertambangan sarat dengan risiko (high risk). Namun, jika berhasil, akan memperoleh hasil yang besar juga. Kelayakan satu proyek ditentukan oleh tiga hal, yakni kelayakan teknis, secara komersial dapat memenuhi kriteria investasi, dan secara politik dapat diterima agar tambang dapat beroperasi dengan baik (lisence to operate).
Ia mengingatkan, kegiatan pertambangan bukan langsung menggali dan menjual seperti dipahami atau dibayangkan sebagian orang. ”Kegiatan ini harus dimulai dari eksplorasi untuk menemukan sumber daya dan cadangan, serta kualitasnya. Lalu dilanjutkan studi kelayakan untuk menentukan kelayakan secara tekno-ekonomi. Setelah itu, perlu analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan izin lingkungan,” ujarnya.
Selain itu, masa konstruksi juga diperlukan untuk membangun jalan angkut hingga sarana-prasarana, seperti kantor, mes, persemaian (nursery), jalan angkut, pusat pengolahan/pencucian batubara, dan pelabuhan muat. Semua itu membutuhkan dana besar dan waktu pengerjaan dalam beberapa tahun.
Di sisi lain, kata Rizal, perlu diingat bahwa wilayah hasil penciutan lahan eks PKP2B yang kemudian dikembalikan ke negara, lalu ditawarkan ke ormas-ormas keagamaan, umumnya adalah wilayah tambang yang kurang menarik baik secara geologi, teknis, ekonomi, maupun sosial.
”Untuk itu, NU-Muhammadiyah harus tetap melakukan kajian-kajian yang dimaksud untuk menjamin modal yang ditanam itu menguntungkan dan kembali sesuai harapan. Ini berbeda jika NU-Muhammadiyah hanya sebagai pemegang izin dan menyerahkannya kepada mitra atau investor lain untuk dikerjakan sehingga hanya mendapat fee atas IUPK tersebut. Tentu dengan cara seperti itu, risikonya minim sekali,” ujarnya.
Penuh persyaratan
Ketua Indonesian Mining & Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengatakan, persyaratan terkait kemampuan administrasi, finansial, sumber daya manusia, dan teknis haruslah tetap melekat. Begitu juga dalam pengelolaan lingkungan, mengingat tambang batubara sensitif terhadap potensi rusaknya lingkungan hidup.
Menurut dia, NU-Muhammadiyah perlu memperhatikan beberapa hal. Pertama ialah evaluasi rinci terhadap besarnya cadangan batubara, kualitas batubara, infrastruktur yang harus dibangun, dan asumsi mining cost serta potensi pasar batubara. Evaluasi itu penting mengingat wilayah hasil penciutan eks PKP2B banyak yang tak terkonsentrasi (terpisa-pisah). Jangan sampai wilayah yang didapat justru ”pepesan kosong”.
Dari sisi pasar, batubara akan berhadapan dengan kebijakan transisi energi negara lain, khususnya importir terbesar batubara Indonesia, yakni China dan India.
Kedua ialah terkait kompensasi data informasi (KDI) yang harus dibayarkan oleh badan usaha ormas keagamaan kepada pemerintah. Perhitungan harga/nilai KDI harus seimbang agar tidak merugikan baik untuk pemerintah maupun ormas keagamaan.
”Ketiga, ormas keagamaan harus mempersiapkan diri terkait kebutuhan dalam mengelola industri pertambangan batubara, seperti kemampuan administrasi/manajemen, teknis, dan pengelolaan lingkungan. Dengan memiliki persyaratan pengelolaan tambang, ormas keagamaan diharapkan dapat mengoperasikan tambang atas kaidah pertambangan yang benar,” kata Singgih.
Ia menambahkan, ormas keagamaan harus menyadari bahwa mengelola tambang batubara bukan hal mudah. Dari sisi keteknikan bisa saja menjalin kerja sama dengan profesional pertambangan. Namun, dari sisi pasar, batubara akan berhadapan dengan kebijakan transisi energi negara lain, khususnya importir terbesar batubara Indonesia, yakni China dan India.
”Maka, sebelum memutuskan untuk menerima penawaran prioritas dari pemerintah, (ormas keagamaan) harus tetap mempertimbangkan proyeksi jangka panjang batubara, baik sebagai komoditas maupun sebagai energi di tengah kebijakan transisi energi,” ujar Singgih.
Di sisi lain, kata Singgih, pemerintah perlu mengarahkan konservasi cadangan energi batubara lebih diperhitungkan. Misalnya, terkait dengan rasio produksi, mengingat nilai strategis batubara masih diperhitungkan ke depan. Apalagi, dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tiga tahun, produksi nasional di atas 900 juta ton per tahun. Dengan pemberian prioritas WIUPK kepada ormas keagamaan, produksi nasional bisa mencapai 1 miliar ton per tahun. Rasio cadangan terhadap produksi pun bisa hanya tersisa 30-35 tahun.
”Apa pun yang telah diputuskan pemerintah, harus dipahami bahwa terkait sumber daya alam, termasuk batubara, mineral right ada di tangan rakyat dan harus benar-benar diawasi. Pemerintah sebatas memiliki authority right dan swasta/ormas keagamaan sebatas memiliki mining right atau economic right,” ujar Singgih.