Sadar Bukan Bidangnya, KWI dan PGI Tidak Akan Terima Izin Tambang
Sebagai lembaga keagamaan, bidang-bidang teknis termasuk industri pertambangan bukan wilayah yang diurusi.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Konferensi Waligereja Indonesia dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia sama-sama tidak akan menerima tawaran pemerintah akan privilese izin tambang untuk ormas keagamaan. Alasannya, sebagai lembaga keagamaan, bidang-bidang teknis termasuk industri pertambangan bukanlah wilayah yang diurusi oleh keduanya.
Sekretaris Eksekutif Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Pastoral Migran Perantau (KKPMP) Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Pastor Marthen LP Jenarut Pr, Rabu (31/7/2024), mengatakan, sejak awal hingga sekarang, sikap KWI tidak berubah. Pertambangan bukan bidang yang diurusi mereka.
”KWI tetap tidak menerima tawaran pemerintah untuk mendapatkan izin/konsesi usaha pertambangan. Alasannya juga tidak berubah. Bukan domain KWI, sebagai lembaga keagamaan, berurusan dengan hal-hal teknis seperti itu,” ujar Marthen melalui pesan singkat.
Adapun Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pdt Jacky Manuputty menuturkan, PGI belum berbicara dengan pemerintah terkait tawaran izin tambang serta belum dihubungi pihak mana pun secara formil untuk membicarakan hal itu. Namun, seiring perkembangan polemik izin tambang untuk ormas keagamaan, Majelis Pekerja Harian (MPH) PGI membentuk tim kajian yang serius mengkaji terkait hal itu.
Dari hasil kajian itu, PGI mensyukuri berlimpahnya sumber daya alam Indonesia yang selama ini telah dikelola pemerintah serta dimanfaatkan untuk kemakmuran masyarakat. Dengan demikian, PGI mengapresiasi niat baik pemerintah untuk melibatkan ormas keagamaan dalam hal itu.
Di sisi lain, PGI mempertimbangkan panggilan serta mandat pelayanan sosial-ekologis PGI sebagaimana termuat dalam dokumen Pokok-pokok Tugas dan Panggilan Bersama PGI (PPTB PGI). Salah satunya terkait dengan tanggung jawab untuk memelihara dan melestarikan ciptaan Allah.
Bukan domain KWI, sebagai lembaga keagamaan, berurusan dengan hal-hal teknis seperti itu.
”Berdasarkan mandat-mandat yang dimaksud, PGI berkewajiban mengusahakan dan memelihara secara bertanggung jawab sumber-sumber daya alam dan lingkungan hidup. Sikap PGI seirama dengan keprihatinan gerakan oikumene global yang sejak beberapa dekade silam serius mendorong gereja-gereja untuk bersikap kritis terhadap dampak industri ektraktif bagi kelestarian lingkungan dan kehidupan sosial,” tutur Jacky.
PGI mendukung penuh pemerintah untuk mempercepat realisasi konsep pertumbuhan hijau dan ekonomi hijau. Dicermati juga bahwa pengelolaan industri ekstraktif seperti pertambangan selalu bertindihan dengan masalah sosial dan lingkungan lainnya. Di antaranya terkait hak-hak masyarakat adat, jender, disabilitas, akses terhadap air, dan perubahan iklim.
Tak memiliki kapasitas
Selain itu, PGI mempelajari kompleksitas pengelolaan usaha pertambangan beserta implikasi-implikasi ikutannya, baik yang dikelola secara langsung maupun melalui rekanan. Atas dasar itu, PGI menilai bahwa sebagai ormas keagamaan, PGI tak memiliki kompetensi serta kapasitas untuk mengelola usaha pertambangan.
”Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut, MPH PGI memutuskan bahwa PGI tidak akan mengambil bagian dalam pengelolaan usaha pertambangan,” ucap Jacky.
Adapun privilese penawaran izin usaha pertambangan khusus (IUPK) oleh pemerintah kepada ormas keagamaan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP No 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Batubara. Ormas keagamaan diprioritaskan sebagai penerima penawaran wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) eks Perjanjian Karya Pengusaha Pertambangan Batubara (PKP2B).
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) lebih dulu menyatakan sikap menerima tawaran pengelolaan pertambangan dari pemerintah, salah satunya karena butuh untuk pembiayaan organisasi. Kemudian, akhir pekan lalu, Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengikuti langkah PBNU dengan menyatakan menerima tawaran pemerintah. Namun, Muhammadiyah menyatakan tak mencari untung dari pengelolaan tambang itu.
Pada Juni 2024, Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf mengemukakan, pertambangan yang akan mereka jalankan ramah lingkungan. ”NU memberanikan diri untuk masuk saja dulu, nanti kita lihat. Apa pun juga NU ini punya kesadaran akan tanggung jawab moral terkait lingkungan hidup dan kemaslahatan masyarakat umum,” ujarnya (Kompas.id, 6/6/2024).
Muhammadiyah juga menyatakan akan mengelola pertambangan yang pro-kesejahteraan masyarakat dan pro-lingkungan hidup. ”Apabila kita pada akhirnya menemukan bahwa pengelolaan tambang itu lebih banyak mafsadatnya, artinya banyak keburukannya untuk lingkungan sosial, lingkungan hidup, dan berbagai aspek lainnya, kita juga secara gentlemen dan bertanggung jawab untuk mengembalikan IUP,” kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir (Kompas.id 28/7/2024).
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli, dihubungi di Jakarta, Rabu, mengatakan, menerima atau menolak tawaran privilese pengelolaan tambang dari pemerintah ialah hak setiap ormas keagamaan. Di sisi lain, ada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menjadi pengawas terhadap praktik pertambangan yang benar (good mining practice)serta terkait pelestarian lingkungan. ”Semua harus patuh terhadap aturan dan regulasi yang ada. Lalu (perlu diperhatikan) masyarakat yang terkena dampak, baik dari sisi sosial, budaya, tenaga kerja, maupun lainnya,” kata Rizal.
Rizal menambahkan, perlu dipahami bahwa investasi di bidang pertambangan sarat dengan risiko (high risk). Namun, jika berhasil, akan memperoleh hasil yang besar juga. Kelayakan satu proyek ditentukan oleh tiga hal, yakni kelayakan teknis, secara komersial dapat memenuhi kriteria investasi, dan secara politik dapat diterima agar tambang dapat beroperasi dengan baik (lisence to operate).
Ia mengingatkan, kegiatan pertambangan bukan langsung menggali dan menjual seperti dipahami atau dibayangkan sebagian orang. ”Kegiatan ini harus dimulai dari eksplorasi untuk menemukan sumber daya dan cadangan, serta kualitasnya. Lalu dilanjutkan studi kelayakan untuk menentukan kelayakan secara tekno-ekonomi. Setelah itu, perlu analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan izin lingkungan,” ujarnya.
Selain itu, masa konstruksi juga diperlukan untuk membangun infrastruktur pertambangan seperti jalan angkut hingga sarana-prasarana, seperti kantor, mes, persemaian (nursery), pusat pengolahan/pencucian batubara, dan pelabuhan muat. Semua itu membutuhkan dana besar dan waktu pengerjaan dalam beberapa tahun.
Di sisi lain, lanjut Rizal, perlu diingat bahwa wilayah hasil penciutan lahan eks PKP2B yang kemudian dikembalikan ke negara, lalu ditawarkan ke ormas-ormas keagamaan, umumnya adalah wilayah tambang yang kurang menarik, baik secara geologi, teknis, ekonomi, maupun sosial.