Catatan Setelah NU-Muhammadiyah Kompak Terima ”Karpet Merah” Izin Tambang
PP Muhammadiyah mengikuti jejak PBNU yang sedari awal menyatakan menerima privilese tawaran pengelolaan tambang.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, setelah melalui kajian serta pertimbangan, akhirnya menerima tawaran izin tambang dari pemerintah. Muhammadiyah mengikuti jejak Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang sedari awal menyatakan menerima serta mengelola izin usaha pertambangan khusus tambang batubara. Pengamat menilai, aspek legal menjadi catatan penting dalam terbitnya aturan-aturan terkait hal itu.
”Karpet merah” pengelolaan tambang dari pemerintah itu hangat diperbincangkan setelah terbit Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP No 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Batubara. Dalam aturan itu, wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) tambang batubara dapat ditawarkan secara prioritas kepada badan usaha milik ormas keagamaan.
Melalui aturan itu, badan usaha milik ormas keagamaan bisa memperoleh WIUPK tanpa harus mengikuti lelang. Aturan itu seakan menindih ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yakni izin prioritas diberikan hanya kepada badan usaha milik negara (BUMN) dan badan usaha milik daerah (BUMD). Selebihnya, swasta, harus melalui lelang.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyatakan sikap resmi pada Kamis (6/6/2024). Mereka mengklaim, badan usaha PBNU bakal menjalankan pertambangan yang ramah lingkungan. Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf melihat kesempatan yang diberikan pemerintah itu sebagai peluang lantaran dapat menjadi salah satu sumber pemasukan untuk membiayai organisasi.
Berbeda dengan NU, Muhammadiyah awalnya cenderung hati-hati dalam menyikapi tawaran izin tambang dari pemerintah. Pada Juni 2024, PP Muhammadiyah menyatakan tidak akan tergesa-gesa serta mengukur kemampuan diri agar pengelolaan tambang tidak menimbulkan masalah bagi organisasi, masyarakat, bangsa, dan negara. Pembahasan terkait itu akan dilakukan dengan saksama.
Barulah sekitar 1,5 bulan kemudian, Minggu (28/7/2024), di Convention Hall Masjid Walidah Dahlan Universitas Aisyiyah Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, PP Muhammadiyah menyatakan sikap menerima tawaran izin tambang. Keputusan itu diambil setelah mendengar masukan dari ahli pertambangan, ahli hukum, ahli lingkungan hidup, serta pengelola dan pengusaha tambang (Kompas.id, 28/7/2024).
Berbeda dengan PBNU yang menyatakan butuh untuk pembiayaan organisasi, PP Muhammadiyah mengklaim tak mengejar keuntungan. ”Kami tidak mengejar keuntungan. Karena kalau mikir diri sendiri, insya Allah, Muhammadiyah sudah cukup,” kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. Ia juga menyebut Muhammadiyah ingin mengelola yang pro-kesejahteraan masyarakat dan pro-lingkungan hidup.
Aspek legal
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Bisman Bhaktiar yang dihubungi Senin (29/7/2024) mengatakan, seperti disebutkan dalam Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Porsi pemanfaatannya selama ini memang lebih besar pada pelaku ekonomi.
Ia pun berpandangan niat pemerintah sebenarnya baik, yakni agar komoditas tambang tidak dikuasai sekelompok kecil pelaku ekonomi besar. ”Pemberian izin untuk ormas keagamaan baik dalam konteks pemerataan. Namun, seharusnya dilakukan dengan cara yang baik juga. Harus sesuai dengan aturan atau undang-undang. Sementara pemberian privilese ini menyisakan masalah pada aspek legal,” kata Bisman.
Setidaknya, Bisman melanjutkan, ada dua catatan penting yang mesti menjadi perhatian. Pertama ialah terbitnya PP No 25/2024 melanggar UU Minerba. Sebab, berdasarkan undang-undang, izin usaha pertambangan bisa diperoleh hanya dengan proses lelang.
Prioritas hanya diberikan kepada BUMN dan BUMD. Artinya, pemerintah telah melanggar undang-undang yang kemudian secara tidak langsung diamini saat ormas keagamaan menerima tawaran yang diberikan.
Kedua ialah terbitnya Peraturan Presiden No 76/2024 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No 70/2023 tentang Pengalokasian Lahan bagi Penataan Investasi.
Dalam regulasi itu, ada delegasi dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ke Menteri Investasi yang notabene sejajar. Padahal, menurut UU No 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, delegasi ialah pelimpahan kewenangan kepada pejabat/badan dengan posisi di bawahnya.
Bisman menambahkan, pemanfaatan batubara, yang notabene energi fosil, ke depan akan berkurang seiring transisi energi. Negara-negara maju pun terus memasifkan penggunaan energi terbarukan, yang nantinya bakal menurunkan permintaan batubara. Hal itu dapat membuat harga batubara turun. Sementara badan usaha ormas keagamaan baru bisa berproduksi, akan memerlukan waktu minimal 2-3 tahun.
Di sisi lain, badan usaha tersebut juga bakal harus berinvestasi, seperti untuk kompensasi data informasi serta studi kelayakan (feasibility study). ”Jadi, harus betul-betul tuntas dalam konteks kajian awal studi kelayakan, baik secara keekonomian mikro maupun makro. Juga dengan kajian hukumnya. Sebab, ada potensi konflik mengingat pengurus ormas keagamaan, kan, akan berganti-ganti. Sementara ini soal ’cuan’ sehingga hal-hal seperti ini mesti diantisipasi,” ujarnya.
Badan usaha ormas keagamaan baru bisa berproduksi, akan memerlukan waktu minimal 2-3 tahun.
Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar pesimistis terhadap keinginan ormas keagamaan untuk mengelola tambang dalam rangka mewujudkan keadilan serta kesejahteraan sosial. ”Prinsipnya akan sangat sulit (terwujud) mengingat dinamika sektor pertambangan yang tak jauh dari benturan politik serta kepentingan oligarki,” ucapnya.
Ia menambahkan, pada saat bersamaan, sebenarnya banyak pembiayaan alternatif berkelanjutan bagi ormas keagamaan. Misalnya, sektor-sektor yang bersentuhan langsung dengan sektor sosial ataupun alternative financing untuk pengembangan energi terbarukan.
Prinsipnya akan sangat sulit (terwujud) mengingat dinamika sektor pertambagan yang tak jauh dari benturan politik serta kepentingan oligarki.
Dalam catatannya, pengelolaan tambang oleh ormas memiliki dua sisi. Di sisi positif, ormas dapat memanfaatkannya untuk mengembangan infrastruktur lokal, seperti sekolah, rumah sakit, dan fasilitas umum. Juga perluasan kesejahteraan sosial melalui penciptaan lapangan kerja dan kesempatan ekonomi masyarakat lokal serta untuk program-program sosial, seperti bantuan sosial dan pengembangan komunitas.
Sementara di sisi negatif, aktivitas pertambangan sering kali menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan, seperti deforestasi, polusi air, dan degradasi ekosistem. Aktivitas pertambangan juga berpotensi memicu konflik sosial antara komunitas lokal, organisasi keagamaan, dan perusahaan pertambangan. Selain itu, pendapatan tambahan juga bisa memengaruhi pola hidup masyarakat menjadi lebih konsumtif atau bergaya hidup mewah.