Rendahnya Rasio Pajak Bisa Persulit RI Gabung ”Klub Negara Maju”
Keuangan negara mesti kuat karena Indonesia tidak akan lagi menjadi negara penerima bantuan, tetapi pemberi bantuan.
Oleh
AGNES THEODORA
·4 menit baca
Pemerintahan Joko Widodo memiliki ”cita-cita” untuk menjadikan Indonesia anggota Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan (OECD) atau ”klub negara maju” dalam waktu tiga tahun. Keanggotaan di OECD diharapkan bisa mempermudah Indonesia untuk mencapai target menjadi negara berpendapatan tinggi pada tahun 2045 kelak.
Status Indonesia yang saat ini belum negara maju tentu membuat proses aksesi sebagai anggota OECD menjadi lebih sulit. Ada setumpuk pekerjaan rumah yang perlu dibenahi sejak saat ini untuk memenuhi standar negara maju yang dipegang oleh OECD.
Berdasarkan laporan ”Mengkaji Aksesi Indonesia Menuju OECD dalam Perspektif Masyarakat Sipil”, salah satu isu yang perlu dibenahi adalah perpajakan. Meski tren penerimaan meningkat secara nominal, rasio perpajakan (tax ratio) RI masih sangat jauh dari standar dan potensi semestinya.
Laporan yang disusun International NGO Forum on Indonesian Development (Infid) berkolaborasi dengan Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Migrant CARE, The PRAKARSA, Transparency International Indonesia, dan Publish What You Pay Indonesia itu menyebut Indonesia memiliki rasio pajak yang ”masih sekelas negara miskin”.
Selama 10 tahun terakhir alias di bawah rezim Jokowi, rasio perpajakan Indonesia hanya mampu menyentuh level 10 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Indonesia bahkan belum pernah mencapai rasio perpajakan 11 persen. Terakhir, pada tahun 2023, rasio perpajakan Indonesia adalah 10,31 persen dari PDB.
Rasio perpajakan adalah persentase penerimaan perpajakan (termasuk bea dan cukai) terhadap PDB nasional. Semakin tinggi nilainya, semakin mampu suatu negara melakukan pembangunan dengan sumber daya sendiri tanpa bergantung pada utang.
OECD dalam kajiannya pada tahun 2024 menggarisbawahi bahwa walaupun sebenarnya keadaan keuangan publik Indonesia masih baik, dengan tingkat utang yang relatif aman, tetapi rasio penerimaan pajak terhadap PDB-nya terhitung rendah, hanya sedikit di atas 10 persen.
Posisi rasio pajak Indonesia saat ini tragisnya berada di bawah negara-negara miskin dan hampir gagal tiga dekade lalu.
Peneliti The PRAKARSA, Victoria Fanggidae, mengatakan, berdasarkan studi empiris di China, Spanyol, Kolombia dan Nigeria, negara seperti Indonesia memerlukan rasio pajak sebesar paling tidak 12,8 persen atau 13 persen untuk keluar dari perangkap negara berpendapatan menengah (middle income trap).
”Penerimaan pajak Indonesia masih sangat jauh dari negara maju, bahkan dari sesama emerging economies yang berada di kisaran hampir 20 persen. Posisi rasio pajak Indonesia saat ini tragisnya berada di bawah negara-negara miskin dan hampir gagal (low income developing countries) tiga dekade yang lalu,” katanya, Rabu (24/7/2024).
Tidak lagi menerima bantuan
Menurut dia, menggenjot penerimaan pajak krusial dalam konteks aksesi Indonesia ke OECD. Pasalnya, Indonesia memerlukan penerimaan negara yang kuat untuk mendanai belanja sosial demi meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, seperti salah satu instrumen yang disoroti OECD dalam proses aksesi.
Selain itu, ada konsekuensi finansial pula yang harus ditanggung Indonesia dengan menjadi anggota OECD. ”Dengan bergabungnya Indonesia ke OECD, Indonesia harus siap untuk tidak lagi menjadi negara yang menerima bantuan pembangunan, tetapi sebaliknya jadi negara yang bertanggung jawab memberi bantuan (ke negara lain),” kata Victoria.
Selain itu, ada pula kontribusi wajib dan sukarela bagi anggota OECD, yang dihitung dengan skala perhitungan tertentu, seperti berdasarkan ukuran ekonomi negara tersebut (PDB) dan jumlah penduduknya. Melihat patokan ukuran tersebut, Indonesia berisiko membayar lebih besar dari beberapa negara Uni Eropa.
”Dengan ruang fiskal yang sudah cukup sempit, Pemerintah Indoensia perlu menaikkan penerimaan pajak juga untuk kepentingan aksesi dan pastinya untuk menaikkan derajat Indonesia sebagai negara yang setara untuk masuk klub negara maju,” ujarnya.
Direktur Eksekutif The PRAKARSA AH Maftuchan mengatakan, pemerintah Indonesia perlu upaya keras untuk memperbaiki rasio perpajakannya dengan melakukan perluasan basis perpajakan, memperbaiki administrasi perpajakan, dan penegakan hukum yang lebih kuat untuk meningkatkan ketaatan pajak.
”Pemerintah juga perlu membuka kemungkinan untuk pajak alternatif, seperti pajak atas warisan, pajak kekayaan, dan pengetatan aspek perpajakan dalam aktivitas perdagangan komoditas,” katanya.
Berbagai langkah reformasi itu diharapkan bisa menambah rasio pajak Indonesia sebesar 1,5 persen dari upaya reformasi administrasi, dan tambahan 3,5 persen lagi dari reformasi kebijakan. ”Sehingga, diharapkan ada total potensi kenaikan rasio pajak sampai 5 persen,” kata Maftuchan.
Dengan bergabungnya Indonesia ke OECD, Indonesia harus siap untuk tidak lagi menjadi negara yang menerima bantuan pembangunan.
Hampir memenuhi syarat
Analis Kebijakan Ahli Madya pada Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Eka Hendra Permana mengatakan, dari 260 standar yang harus dipenuhi Indonesia dalam proses aksesi, 23 standar di antaranya adalah terkait dengan perpajakan dan lima standar lainnya terkait dengan pengelolaan anggaran.
”Dalam diskusi dengan OECD, untuk taxini kabarnya kita sudah hampir memenuhi syarat karena memang kita sudah terlibat duluan dalam OECD Inclusive Framework (komitmen kerangka kebijakan perpajakan global),” katanya.
Dengan demikian, Eka meyakini,aturan perpajakan Indonesia sudah tidak terlalu jauh dari standar OECD. ”Tetapi, ini sedang kami identifikasi apa saja regulasi yang masih harus disesuaikan dengan standar OECD dan apa yang sudah baik karena 23 standar itu ada macam-macam poinnya,” ujar Eka.
Ia mengakui, Indonesia memang memiliki rasio perpajakan yang lebih rendah di antara standar ke-38 anggota OECD saat ini. Hal ini masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah.
”Memang, ini jadi komitmen untuk bagaimana kita bisa mengoptimalkan potensi penerimaan perpajakan. Namun, ini juga perlu dilihat pemerintah agar jangan sampai jadi disinsentif dan menghambat proses pembangunan,” kata Eka.