Pelajaran Karier dari Sikap Presiden Joe Biden Selama Debat Capres AS 2024
Eskalasi komitmen yang buruk hampir terjadi di semua tempat kerja.
Setelah kinerja yang sangat buruk dalam debat calon presiden 27 Juni 2024, petahana Presiden Amerika Serikat Joe Biden menghadapi tekanan yang semakin besar agar keluar dalam kontestasi pemilu tahun 2024. Rasa frustrasi meningkat di partainya sendiri, yakni Partai Demokrat. Partai bahkan telah memintanya untuk mundur.
Jajak pendapat menunjukkan bahwa mayoritas warga Amerika Serikat, dan malahan anggota Partai Demokrat, menganggap Biden, 81 tahun, terlalu tua untuk menjalani masa jabatan kedua. Akan tetapi, sejauh ini, dia tetap pada keinginannya untuk maju sebagai capres.
Terlepas dari situasi politik di Amerika Serikat saat ini, apa yang menjadi sikap Biden bisa diambil sebagai pelajaran manajemen organisasi dan lebih-lebih pelajaran perjalanan karier.
Psikolog organisasi terkenal dari Wharton School Universitas Pennsylvania, Adam Grant, dalam artikel opininya di The New York Times, Rabu (3/7/2024), menyebutkan, istilah untuk sikap yang alih-alih memikirkan ulang rencana setelah menghadapai serangkaian bukti-bukti kegagalan — seperti yang jadi sikap Biden— adalah eskalasi komitmen buruk atau bias komitmen. Eskalasi komitmen buruk bisa juga diartikan sebagai tendensi oleh pengambil keputusan untuk bertahan atau mengeskalasi serangkaian tindakan yang gagal.
Kebanyakan orang, kata Grant, seringkali melakukan eskalasi komitmen buruk. Rasanya lebih baik menjadi seorang pejuang daripada seorang yang ”mudah” menyerah. Namun, Grant menyampaikan mental seperti itulah yang akhirnya menjadi salah satu tragedi dalam kehidupan manusia. Manusia seringkali menggunakan otak besarnya bukan untuk membuat keputusan rasional, melainkan merasionalisasikan keputusan yang telah dibuat.
Baca juga: Survei PwC: Karyawan Makin Stres akibat Tuntutan Kerja Menggunung tetapi Apresiasi Minim
Beberapa keputusan kepemimpinan bisnis terburuk dapat ditelusuri akarnya, yakni dari eskalasi komitmen buruk atau bias komitmen. Sebagai contoh, Blockbuster bangkrut karena alih-alih membeli Netflix, para pucuk pimpinan perusahaan justru meningkatkan komitmen mereka untuk menyewa video fisik.
Contoh lainnya adalah Kodak yang lebih memilih menggandakan penjualan kamera film dibandingkan beralih ke kamera digital. Mengutip laman World Economic Forum, pada saat awal kemunculan kamera digital, manajemen Kodak malahan fokus mencari kelemahan kamera digital, seperti bobotnya yang besar, waktu pemrosesan yang lambat, dan resolusi yang rendah. Mereka tidak dapat melihat masa depan manfaat teknologi kamera digital yang cukup baik bagi jutaan calon konsumen.
Penelitian selama puluhan tahun yang dipimpin oleh psikolog organisasi Barry Staw telah mengidentifikasi beberapa kondisi yang membuat orang cenderung bertahan di jalur yang tidak menguntungkan. Salah satu kondisi yaitu terjadi ketika seseorang secara langsung bertanggung jawab dan terikat pada suatu keputusan yang berangkat dari perjalanan yang panjang.
Dengan memakai pendekatan eskalasi komitmen buruk, Grant menduga bahwa kebanyakan pemimpin, bukan hanya pemimpin organisasi bisnis, yang seringkali enggan melepaskan cengkeraman kekuasaan karena takut kehilangan tempat di dunia. Ego dan harga diri mereka akan terluka.
Grant dalam siniar di Ted berjudul ”How Rethinking A Bad Decision”pada Maret 2021 sudah menyinggung bagaimana eskalasi komitmen buruk seperti sikap Biden itu juga terjadi di hampir semua tempat kerja. Karyawan yang terlalu banyak berinvestasi dalam sebuah proyek yang sejak awal berpotensi gagal, ”terjebak” dalam pekerjaan yang menyedihkan, dan harus berjuang untuk menjauh dari atasan yang kejam atau budaya perusahaan yang toksik.
Pemicu yang paling kuat bukanlah faktor ekonomi, melainkan emosional.
Akan tetapi, cerita-cerita karyawan seperti itu kerap kali tidak ada berakhir bahagia karena mereka memilih ”terperangkap”, atau mencurahkan diri ke dalam keputusan yang buruk. Ternyata, hasil penelitian selama puluhan tahun menunjukkan bahwa pemicu yang paling kuat bukanlah faktor ekonomi, melainkan emosional.
Takut dinilai
Founder dan Managing Director Headhunter Indonesia Haryo Suryosumarto, Sabtu (13/7/2024), mengatakan, dari pengalamannya mendampingi sejumlah profesional ditemukan ada perasaan takut dinilai sebagai pecundang, padahal situasi tempat bekerja sudah tidak kondusif. Komitmen seperti ini justru kerap kali membawa mereka tidak mengalami karier yang progresif.
Di tengah situasi ekonomi yang semakin tidak pasti dan inovasi teknologi yang bergerak semakin cepat, tampaknya jebakan mental eskalasi komitmen buruk harus dihindari. Pemimpin organisasi bisnis harus lebih peka dan terbuka terhadap perubahan. Mereka harus mampu menciptakan lingkungan yang secara psikologi aman bagi karyawan, terutama untuk menyarankan perbaikan tanpa takut akan konsekuensi negatif.
Baca juga: Bertahan Hidup dengan Terus Bekerja
Sementara bagi karyawan, mereka semestinya proaktif dalam usaha mencari kejelasan tentang peran mereka dan masa depan perusahaan sehingga dapat mengurangi kekhawatiran akan masa depan yang memang harus diakui penuh dengan ketidakpastian.
Dengan kata lain, pucuk pimpinan ataupun karyawan harus bisa berkolaborasi untuk mengantisipasi dan menyikapi berbagai perubahan yang mungkin terjadi. Semuanya harus punya kemampuan beradaptasi yang tinggi, komunikasi dua arah yang terbuka, dan evaluasi strategi yang sudah direncanakan secara terus-menerus tanpa harus terlalu banyak berpikir dan mencari kelemahan.
Masih dari sisi karyawan, profesor klinis inovasi dan kewirausahaan di Kellogg School of Management Northwestern University, Carter Cast, dalam artikel opininya di Harvard Business Review, 19 Januari 2018, mengatakan, karyawan sekarang tidak berada di era pengembangan karier mandiri (do it yourself) . Mereka tidak berada di zaman dulu, di mana perusahaan mau berinisiatif besar. Agar berhasil secara profesional, karyawan di semua tingkatan harus terus-menerus belajar mengidentifikasi kelemahan mereka, memberi nilai untuk setiap keterampilan, serta fokus saja pada waktu dan energi pada bidang yang paling ingin ditingkatkan. Terakhir, jika memungkinkan, karyawan harus menemukan ”mentor” yang membantunya berkembang.
Tidak ada jalan pintas, selain kerja keras, ketekunan, dan menormalkan kegagalan. Menolak untuk berhenti tidak selalu merupakan tindakan ketahanan yang heroik. Hal-hal seperti itu jika dilakukan dapat membantu, baik pemimpin maupun individu karyawan, mengurangi komitmen mereka terhadap keputusan yang buruk. Lalu, mereka memfokuskan energi mereka pada keputusan yang lebih baik.
Baca juga: Praktik PHK Sepihak Masih Warnai Pengaduan Pelanggaran Ketenagakerjaan