Izin Tambang Ormas Keagamaan, PBNU Diberi Jatah Konsesi Bekas Grup Bakrie
Izin tambang untuk Pengurus Besar Nahdlatul Ulama terbit pekan depan. Pemerintah menampik itu untuk balas jasa politik.
Oleh
AGNES THEODORA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tetap tancap gas dengan kebijakan penawaran izin tambang bagi organisasi kemasyarakatan keagamaan. Pekan depan, izin untuk badan usaha Pengurus Besar Nahdlatul Ulama akan diterbitkan. Ormas keagamaan besar itu mendapat jatah tambang batubara bekas PT Kaltim Prima Coal milik grup usaha Bakrie di Kalimantan Timur.
Wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) yang akan dikelola oleh ormas keagamaan itu berstatus eks perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B). Lahan tersebut adalah hasil penciutan yang telah dikembalikan lagi kepada negara dan belum memiliki izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia mengatakan, izin bagi PBNU untuk mengelola lahan bekas tambang milik PT Kaltim Prima Coal (KPC) itu ditargetkan keluar pekan depan. Ia belum bisa membuka informasi perihal seberapa besar cadangan batubara yang terkandung dalam lahan bekas milik Bakrie itu.
”Berapa cadangannya, nanti tanyakan ke mereka (PBNU) begitu izin sudah kita kasih. Urusannya minggu besok ini sudah selesai. Setelah itu kita akan kasih lagi ke (ormas keagamaan) yang berikutnya. Yang jelas kami menawarkan. Kalau ada (ormas) yang menolak, tidak bisa kami paksa,” kata Bahlil dalam konferensi pers, Jumat (7/6/2024).
Sejauh ini, dari berbagai ormas keagamaan yang ada di Indonesia, baru badan usaha PBNU yang dengan cepat mengajukan permohonan izin tambang dengan lokasi di Kaltim. Ormas lainnya belum mengajukan permohonan, bahkan cukup banyak ormas yang ragu-ragu dan menolak privilese tersebut.
Beberapa yang tegas menolak di antaranya Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Ada pula ormas keagamaan yang masih ragu-ragu, seperti Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Persatuan Gereja Indonesia, serta Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Saat ditanya jika pemerintah akan memberikan jatah lahan tambang yang setara untuk ormas keagamaan lain, Bahlil mengatakan, pemberian WIUPK untuk ormas lain akan diberlakukan secara proporsional. ”Berdasarkan jumlah penduduknya terhadap warganya (penganut agama tersebut). Kita mau semuanya baik dan adil,” katanya.
Kalau soal politik, kita cuma kasih ke NU. Namun, ini kita kasih ke semua, toh? Memangnya semua dukung Prabowo?
Menurut dia, nilai suatu lahan tambang tidak ditentukan berdasarkan luas arealnya, tetapi cadangan mineral yang terkandung di dalamnya. ”Kalau arealnya besar, cadangannya sedikit, untuk apa? Jadi tidak ada yang rugi di sini. Ini semua (lahan) eks PKP2B. Kami carikan kontraktor yang terbaik untuk dimitrakan dengan ormas-ormas itu,” ujar Bahlil.
Bukan balas jasa politik
Sebelumnya, keputusan pemerintah untuk memberikan izin tambang bagi ormas keagamaan mendapat banyak kritik. Hal itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP No 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Batubara.
Lewat PP tersebut, pemerintah dapat memberikan penawaran WIUPK secara prioritas kepada badan usaha yang dimiliki ormas keagamaan. Banyak pihak mengkritik kebijakan tersebut. Muncul kecurigaan PP itu merupakan balas jasa politik pemerintah terhadap ormas keagamaan tertentu, seperti PBNU, yang mendukung Prabowo Subianto di pemilihan umum.
Di luar nuansa politik, kekhawatiran lain mengenai standar tata kelola pertambangan yang kurang profesional juga mengemuka. Ormas keagamaan diragukan bisa mengelola lahan tambang dan berujung menjadi ”broker” yang menjual konsesi ke perusahaan lain. Secara aturan tata hukum, PP tersebut juga dinilai bertentangan dengan undang-undang di atasnya.
Bahlil menampik anggapan bahwa pemberian penawaran izin tambang untuk ormas keagamaan itu sebagai bentuk balas jasa politik atas dukungan di pemilu. ”Politik sudah selesai. Pak Prabowo sudah menang. Sudah mau pelantikan kabinet baru. Tidak ada urusannya ini sama politik. Mohon maaf, ini terlalu lebai,” katanya.
Menurut dia, pemberian penawaran izin tambang bagi ormas keagamaan itu itikad baik pemerintah untuk menghargai jasa dan kontribusi ormas keagamaan kepada negara. Kebijakan itu juga diharapkan bisa membantu ormas keagamaan memiliki modal untuk menjalankan program keumatan dan kemasyarakatan.
”Kalau hanya persoalan politik, kita cuma kasih ke NU. Namun, ini kita kasih ke semua, toh? Memangnya semua dukung Prabowo?” ujar Bahlil.
Permintaan Jokowi
Adapun asal-usul kebijakan pemberian penawaran izin pengelolaan tambang untuk ormas keagamaan ini muncul atas perintah Presiden Joko Widodo. Bahlil mengatakan, Presiden meminta agar izin usaha pertambangan (IUP) jangan hanya dikuasai oleh perusahaan dan investor besar.
”Dalam berbagai perjalanan dinas Presiden ke daerah, dia menerima aspirasi tentang bagaimana ormas-ormas keagamaan ini juga dilibatkan. Atas dasar aspirasi yang muncul itu, pemerintah lalu mencoba mencarikan jalannya yang sesuai dengan aturan,” tutur Bahlil.
Selama ini berbagai kasus lubang tambang yang memakan korban dibiarkan begitu saja, tanpa penegakan hukum.
Cantolan hukum perlu dicari karena berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Minerba, hanya badan usaha milik negara (BUMN) dan badan usaha milik daerah (BUMD) yang mendapat penawaran prioritas IUPK. Jika keduanya tak berminat, baru ditawarkan ke swasta. Adapun ormas keagamaan bukan bagian dari ketiga instansi itu.
Pada akhirnya, tutur Bahlil, celah hukum pun ditemukan, yaitu dalam Pasal 6 Ayat 1 huruf j dalam UU Minerba. Disebutkan, pemerintah pusat dalam pengelolaan minerba berwenang melaksanakan penawaran WIUPK secara prioritas. ”Dari situ, kita mengubah PP untuk mengakomodasi pemberian WIUPK kepada ormas keagamaan yang punya badan usaha,” kata Bahlil.
Proses pembuatan PP melibatkan kajian akademis dan diskusi mendalam antarkementerian-lembaga yang disepakati dalam rapat terbatas (ratas) kabinet yang dihadiri menteri-menteri dan dipimpin Presiden Jokowi. ”Jadi, tidak perlu ada lagi pertanyaan soal hukum. Yang membuat hukum, kan, pemerintah dan DPR,” ujarnya.
Secara terpisah, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Melky Nahar, meragukan pemberian konsesi tambang bagi ormas keagamaan itu bisa menyejahterakan masyarakat. ”Ini salah satu bentuk kebijakan rezim Jokowi yang mengobral kekayaan alam. Regulasi diutak-atik hanya supaya kebijakan terlihat legal,” kata Melky.
Ia menegaskan, watak ekonomi pertambangan sangat rapuh, tidak berkelanjutan, dan jauh dari kesejahteraan masyarakat. Selama ini, pengelolaan izin tambang di Indonesia yang sudah mencapai hampir 8.000 izin dengan luas konsesi lebih dari 10 juta hektar pun telah memunculkan banyak masalah lingkungan, sosial, dan kesehatan.
Obral izin tambang bagi ormas keagamaan hanya akan menambah panjang masalah tersebut. ”Selama ini berbagai kasus lubang tambang yang memakan korban dibiarkan begitu saja, tanpa penegakan hukum. Kompleksitas masalah ini tidak akan pernah diselesaikan di bawah rezim Jokowi, hanya akan menjadi tumpukan warisan utang sosial-ekologis,” ujar Melky.